Anli berdiri, merapikan meja, menyelipkan buku catatan kecil dengan tanda timbul ke laci. Catatan itu bukan huruf, melainkan sistem titik yang ia buat sendiri—hanya bisa dibaca lewat rabaan jemari. Isinya singkat: jam makan Xiumei, minum ramuan, reaksi setelah teh. Rapi, presisi, tanpa keluhan.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Pelayan tua tadi menunduk sopan. “Nyonya Muda, Madam Li titip pesan. Katanya besok pagi Anda tidak perlu datang ke kamar beliau, cukup kirim air hangat ke meja makan. Beliau ingin sarapan di aula.”“Terima kasih,” ucap Anli.Pelayan itu ragu, lalu menambahkan lirih, “Dan… maafkan saya, Nyonya Muda. Tadi siang saya ikut tertawa saat orang lain berbicara. Itu… keliru.”Anli menatap samar, lalu menggeleng. “Besok saja kita letakkan cangkirnya di sisi kanan. Agar tidak tertukar.”Pelayan tua itu tertegun, lalu menunduk lebih dalam. “Baik.”Ia pergi, menyisakan kamar yang kembali senyap. Anli mematikan lampu utama, menyisakan lampu kecil bergaya retro di meja. Ia mel
Last Updated : 2025-08-26 Read more