Lahat ng Kabanata ng Terjerat Nafsu Kakak Tiri: Kabanata 51 - Kabanata 60

Kanara masih terbaring di sofa, tubuhnya lemas bukan karena lelah, melainkan karena hampa. Bibirnya masih terasa perih akibat ciuman yang terlalu dalam, kancing bajunya setengah terbuka, rambutnya berantakan. Tapi yang paling meninggalkan jejak adalah kalimat dingin yang Arga ucapkan sebelum pergi."Jangan pernah melibatkan perasaan apa pun saat bersamaku."Kanara menelan ludah, matanya berair tapi tak satu pun tetes jatuh. Ia menegakkan tubuhnya perlahan, merapikan bajunya dengan tangan yang sedikit gemetar. Rasa terhina merayap ke setiap inci dirinya. Ia merasa diperlakukan seolah-olah tak lebih dari objek sesaat, seseorang yang bisa Arga cium dengan penuh nafsu, lalu di tinggalkan begitu saja tanpa penjelasan.Namun di balik luka itu, ada sesuatu yang lebih kuat berdenyut. Kanara mengepalkan tangannya. Tidak. Aku tidak akan membiarkan ini berakhir begitu saja.Ia menatap pintu yang tadi ditutup Arga, tatapannya penuh tekad. “Kau pikir aku akan diam saja, Arga?” gumamnya, bibirnya m

Bab 53 Yang Tak TerucapKanara masih berbaring diam, menatap kosong langit-langit putih yang terasa menekan. Sunyi. Tidak ada tanda-tanda Arga di ruangan itu. Sekejap, hatinya dicekam pikiran buruk. Apa setelah membawaku ke sini… dia pergi menemui Sandrina? Dadanya sesak membayangkan kemungkinan itu. Ditolong hanya untuk kemudian ditinggalkan begitu saja.Suara pintu terbuka membuatnya menoleh cepat. Arga.Pria itu masuk tergesa, wajahnya tegang. Ia buru-buru menyelipkan ponsel ke dalam saku, lalu menghampiri sisi ranjang. Tatapannya menyapu seluruh tubuh Kanara seolah ingin memastikan tidak ada luka lain.“Bagaimana keadaanmu? Aku panggilkan dokter dulu—” Arga hendak berbalik.“Tidak perlu,” potong Kanara cepat. Suaranya lemah tapi tegas, menahan langkah Arga. “Aku baik-baik saja.”Arga terdiam sejenak, menatapnya. Ada sorot lega di matanya, meski ia tidak mengucapkan apa-apa. Kanara sendiri harus berjuang keras menahan senyum yang hampir terbit. Jadi dia tidak pergi ke Sandrina. Dia

Pagi itu Kanara membuka mata dengan malas. Ia tidak langsung bangun, hanya berbaring sambil menatap langit-langit kamar apartemen. Sekilas pikirannya kembali ke ruang perawatan rumah sakit kemarin. Bau obat yang menyengat, suara alat medis, dan kesan dingin yang tidak bisa hilang meski kamar itu adalah VIP.Kini, untuk pertama kalinya sejak insiden itu, ia merasa nyaman. Ranjang ini, kamar ini, jauh lebih menenangkan.Ia menarik napas panjang sebelum bangkit. Begitu membuka pintu kamar, aroma masakan langsung menyambutnya. Matanya berkerut bingung.“Jangan bilang… Arga yang masak?” gumamnya pelan, nyaris tidak percaya.Langkahnya pelan menuju dapur, dan benar saja. Di sana Arga berdiri dengan wajah serius, sedang mengaduk sesuatu di dalam panci. Adegan itu terlalu asing, bahkan sedikit lucu bagi Kanara.“Kau bisa masak?” tanya Kanara akhirnya, suaranya datar tapi matanya penuh rasa ingin tahu.Arga terlonjak, hampir menjatuhkan sendok kayu di tangannya. Ia menoleh cepat, jelas tidak m

“Kau masih belum bisa melepaskan perempuan murahan itu.” Suara Sandrina terdengar tajam begitu mereka cukup jauh dari unit apartemen. Senyum manisnya hilang, berganti wajah asli yang dipenuhi amarah. Pandangannya menusuk punggung lebar Arga yang berjalan di depannya.Arga menghentikan langkah. Ia berbalik, menatap Sandrina dengan sorot mata berat. “Aku sudah menuruti keinginanmu. Kita bertunangan, Sandrina.”Sandrina mendengus, bibirnya bergetar menahan emosi. “Dan kau pikir ada perempuan yang rela tunangannya menyimpan kekasih gelap di belakangnya?”Arga mengusap wajahnya kasar, napasnya terdengar berat. “Jangan kekanak-kanakan.”“Arga!” suara Sandrina meninggi, matanya memerah, antara marah, kesal, dan tersakiti. “Kau harus meninggalkannya!”Arga menahan tatapannya, suaranya merendah tapi tetap tegas. “Dia adik tiriku.”Sandrina terdiam sejenak, lalu tertawa pendek penuh sinis. “Teruslah sembunyi di balik alasan itu. Tapi jangan lupa, aku bukan orang yang akan diam saja melihatmu me

Kanara balas memeluk Arga tak kalah erat. Tubuhnya melebur dalam dekapan itu, seakan hanya di sana ia bisa bernapas lega. Ia menyandarkan kepala di ceruk leher Arga, membiarkan aroma tubuh pria itu menenangkan guncangan di dadanya.Napasnya hangat, berembus di kulit Arga. Sesaat kemudian, Kanara mengecup pelan lehernya—ringan, nyaris seperti bisikan yang tak terucap.“Kalau kau tidak bisa kembali lagi…” suaranya lirih di antara dekapan itu, “…biarlah aku jadi alasannya.”Arga terdiam kaku mendengar bisikan itu. Jemarinya yang menahan punggung Kanara meremas sedikit, seperti ingin memastikan kenyataan yang baru saja ia dengar.Kanara tidak menunggu jawaban. Ia hanya mempererat pelukannya, seolah ingin menyampaikan bahwa untuk pertama kalinya, ia tak lagi takut akan apa pun selama Arga tetap bersamanya.***Keesokan paginya, Kanara terbangun dengan posisi tubuh Arga yang masih terbaring di sampingnya. Lengan pria itu melingkar erat di pinggangnya, napasnya teratur, matanya masih terpeja