Lahat ng Kabanata ng Skandal Terlarang Bersama Mertuaku: Kabanata 41 - Kabanata 50

“Dokter Laras!” Suara lantang pria terdengar. Ia yang berada di dekat Laras sigap menangkap gadis itu sebelum jatuh membentur kerasnya lantai. Semua mata menatap ke arah mereka. Termasuk Laras yang masih cukup sadar melihat pria tampan di hadapannya. “Brankar!” teriak pria itu. Perawat segera mendorong brankar ke arahnya “Dokter Dashel?” gumam Laras, tubuhnya terasa melayang dan lemah. Rasa pening menjalar dari pelipis ke kepala bagian belakangnya. Sebelum Dashel berhasil membaringkan Laras di atas brankar, hentak sepatu boots kulit menggema di lantai. Ujung jas putihnya berkibar berlawanan dengan langkahnya yang mantap. “Dia di bawah tanggung jawab saya, bukan kamu.” Suara dinginnya membuat merinding. Dirga langsung merebut Laras. “Dokter Dirga?” lirih gadis itu yang saat ini ada di pelukan hangat dengan aroma Woody spicy candunya. Pemandangan ini membuat beberapa staf berbisik dan sebagian pasien menoleh penasaran, menambah suasana makin pengap. Namun, Dirga tak acuh. Tanp

Sampai di rumahnya, Amanda mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Tangannya mengepal hingga urat-uratnya menonjol. Ia memukuli bantal, menggigit guling, dan menggeram dengan tangisnya yang memilukan.“Kenapa aku harus kalah dari anak kecil itu? Liat aja kamu, Laras, tamat riwayatmu!” teriaknya, tertahan. “Aku butuh seseorang yang bisa bikin aku lupa sakit hati ini,” gerutunya, lalu buru-buru meraih ponsel di saku training. Menekan kontak seseorang yang tak pernah ia simpan namanya.Panggilan tersambung.“Iya, Dok, ada apa telepon malam-malam?” Suara parau nan hangat menyahut dari seberang.“Ke rumah sekarang juga! Lewat pintu belakang kayak biasa!” perintahnya, kemudian memutus telepon secara sepihak. Rumah Amanda memang agak jauh dari permukiman warga lainnya.Tangannya masih gemetar memegang telepon genggam. Tatapannya tertuju pada pantulan dirinya di cermin samping ranjang. Senyum kecut mengukir bibir merahnya yang basah oleh air mata.“Dirga … aku tuh cinta sama kamu. Dari dulu kena

Laras membalas tatapan sinis Amanda padanya. Wanita itu masih berdiri dengan percaya diri di samping Dirga dan jajaran dokter spesialis lain. Lebih tepatnya menempel lekat pada Dokter Tampan itu. Sementara ia harus berpuas diri di kejauhan. Bersama para dokter junior dan staf administrasi. Meskipun ia bisa melihat bahwa Dirga tak sekalipun mengindahkan keberadaan Amanda di dekatnya. Pria itu sedang memberi pengarahan kepada semua staf. Hingga pada akhirnya sebagai penutup, Dirga menoleh. “Manda, sampaikan beberapa kata untuk perpisahan.” Tangan kanan Dirga terulur, mempersilakan. “Terima kasih, Dokter Dirga.” Amanda tersenyum kecil. Ia menyampaikan beberapa patah kata yang membuat staf terisak, termasuk Laras. Sungguh menyentuh memang. Sampai pada kalimat terakhir yang seolah menyudutkan. “Jaga diri kalian sendiri, jangan sampai diperlakukan tidak adil karena orang lain.” Senyum manis Amanda ditujukan pada semua orang, tetapi tatapan nyalangnya masih terkunci pada Laras. Semua st

Semalam Dirga menemani Laras sampai listrik menyala lagi. Pria itu kemudian pulang bersamaan dengan suara motor Darma, ia keluar lewat pintu belakang.Pagi ini Laras terperanjat mendengar teriakan Dinda. Terpaksa ia meninggalkan jemurannya di belakang rumah.“Ras, cepetan ke sini!” ulang Dinda yang merasa Laras begitu lama melangkah.“Aduh, suara kamu kenceng banget, sih. Ada apa?” Sambil berjalan, Laras menutup daun telinganya. Pandangannya tertuju pada Dinda yang memegang sapu.“Tuh, liat. Ada paket payung sama lampu emergency. Pesenan lu ‘kan? Tapi masa iya ada kurir nganterin pagi buta gini?” Dinda menatap sekitarnya yang masih gelap, bahkan gerimis. Matanya bergerak ke atas, mengingat-ingat bahwa semalam tidak ada benda apa pun di teras.Tangan Laras sempat gemetar saat menyentuh ujung payung dan lampu itu. Bibirnya mengulum senyum, pipinya memerah, dan badannya bergoyang pelan. Benaknya teringat pada percakapan semalam dengan Dirga.‘Makasih, dokterku’, gumamnya dalam hati. Ia m

“Kamu datang bulan?” gumaman Dirga terdengar jelas. Untuk sesaat Laras mematung, ucapan itu mengempas kegundahan yang menjamur dalam dada. Senyum kecil terukir pada bibirnya. Tidak apa membuat Dirga berpuasa selama seminggu asalkan benih pria itu tidak tumbuh di rahimnya. “Apa? Oh … tadi belum,” lirihnya. Dengan cepat ia duduk dan memeriksa celana dalamnya, ternyata benar … ada setetes bercak darah merah muda. Biasanya memang seperti ini menjelang beberapa hari menstruasi. Itu normal bagi Laras. “Maaf, ya, Dok. Siklus saya memang berantakan,” katanya dengan nada yang dibuat manja. Berbeda dengan Laras yang tengah bereuforia, wajah tampan Dirga justru menekuk dan kusut. Pria itu memperhatikan gadisnya lekat-lekat seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Merasa ada yang salah dengan tatapan Dirga dan untuk menenangkannya, Laras merangkum rahang dengan model janggut five o’clock itu. Ia menempelkan puncak hidung mereka. “Jadi … saya pulang aja, nih? Atau mau pijat plus-plus?” Kelo