All Chapters of Kontrak Cinta Sang CEO: Chapter 21 - Chapter 30

Ia mengangguk pelan. “Aku keluar. Aku mencoba meninggalkan semuanya, memulai hidup baru, menjadi orang biasa—seorang CEO, seorang pria normal yang bisa kau kenal tanpa curiga. Tapi ternyata, masa lalu tidak pernah benar-benar melepaskanku.” Aku terdiam. Tanganku gemetar hebat. Arkana melangkah mendekat, menatapku dengan penuh rasa bersalah. “Aku tahu kau pasti takut padaku sekarang. Aku bahkan tidak akan menyalahkanmu kalau kau pergi malam ini juga. Tapi satu hal yang harus kau tahu, Nadine… semua yang kulakukan setelah bertemu denganmu—setiap langkah, setiap keputusan—semua untuk melindungimu. Bahkan kalau aku harus menukar nyawaku.”Air mataku jatuh begitu saja. Rasanya ingin marah, ingin menamparnya karena menyembunyikan semua ini. Tapi di sisi lain, hatiku sakit melihat wajahnya yang penuh penyesalan itu. Aku menggeleng, lalu melangkah mendekat meski ia sempat mundur lagi. “Jangan berani-beraninya bilang aku harus pergi, Arkana. Aku sudah ada di sini. Kalau memang ada bahaya

Arkana memasukkan ponsel ke saku, lalu menatapku dengan mata tajam penuh api. “Ya. Dan aku harus menghadapi mereka. Tapi kali ini… aku tidak sendirian. Kau ada di sisiku.” Aku menggenggam tangannya erat, meski tubuhku masih gemetar. Dalam hati aku tahu, apa pun yang menunggu di depan akan jauh lebih berbahaya. Tapi anehnya, ada kekuatan baru yang muncul—karena aku tak lagi hanya berjuang demi diriku sendiri, melainkan juga demi pria yang kini kucintai dengan seluruh hatiku. Malam itu, di balik ketakutan, aku sadar: pertarungan kami baru saja dimulai.Malam itu terasa panjang, lebih panjang daripada malam-malam sebelumnya. Aku tidak bisa tidur. Setiap suara kecil dari luar membuatku tersentak. Degup jantungku terus berpacu, seolah aku sedang berdiri di tepi jurang. Arkana duduk di ruang tamu, matanya tajam memperhatikan layar ponselnya. Sesekali ia berbicara singkat dengan orang-orangnya. Wajahnya tegas, penuh fokus, tapi aku bisa

Arkana mengusap wajahku lembut. “Bukan bersembunyi. Aku hanya memastikan kau aman, sebelum aku menyelesaikan urusan dengan orang itu.” “Arkana… jangan tinggalkan aku sendiri,” pintaku lirih, hampir seperti anak kecil. Ia menggenggam tanganku erat. “Aku tidak akan pernah benar-benar pergi. Kalau aku tidak lakukan ini sekarang, dia akan kembali dan ancaman itu akan lebih besar. Kau harus percaya padaku.” Air mataku menetes lagi, tapi aku mengangguk. Arkana lalu meraih daguku, menunduk perlahan, dan untuk sesaat bibirnya hampir menyentuh keningku. Tapi ia menahan diri, hanya menempelkan dahinya pada dahiku. “Aku bersumpah, Nadine… aku akan menuntaskan semua ini. Demi kita.” --- Beberapa menit kemudian, kami sudah dalam perjalanan dengan mobil hitam yang dikawal ketat oleh

Benturan pertama terdengar keras. Tinju Arkana menghantam pergelangan tangan Revan yang mencoba menusukkan pisau kecil ke arahnya. Suara logam beradu dengan keras, pisau itu terlempar ke lantai, berputar hingga berhenti di tengah ruangan. Pertarungan itu seperti pertarungan dua singa lapar. Gerakan mereka cepat, brutal, dan penuh kebencian yang sudah dipendam bertahun-tahun. Setiap pukulan membawa dendam, setiap tendangan mengandung luka masa lalu yang belum sembuh. “Kenapa kau selalu menghalangiku, Arkana?!” Revan meraung, tangannya menghantam dada Arkana hingga pria itu terhempas mundur beberapa langkah. Arkana mengusap darah di sudut bibirnya, lalu tersenyum sinis. “Karena kau selalu salah jalan. Kau pikir dengan kekerasan, dengan kekuasaan, kau bisa dapatkan apa saja? Kau hanya menghancurkan dirimu sendiri.” Aku berdiri di sisi ruangan, dadaku berdegup kencang. Aku ingin menolong, tapi tubuhku se

Aku mengangkat wajahku yang penuh air mata. “Jadi apa yang harus kita lakukan?” Reno menatap Arkana yang terbaring lemah, lalu kembali menatapku. Matanya penuh tekad, tapi juga ada luka yang dalam. “Kita harus bersatu. Untuk Arkana. Untuk mengakhiri semuanya.” Aku menelan ludah, menatap Reno dalam-dalam. Di dalam hatiku, aku tahu… pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.Malam semakin larut, tapi pikiranku tidak bisa tenang. Aku duduk di sisi ranjang, memandangi Arkana yang kini tertidur dengan wajah pucat. Selang infus menempel di lengannya, dadanya naik turun pelan tapi teratur. Aku masih bisa mendengar denyutnya—tanda bahwa ia masih hidup, dan itu cukup untuk membuatku bertahan. Reno berdiri di dekat jendela, bersandar dengan tangan terlipat di dada. Dari caranya menarik napas panjang, aku tahu dia juga lelah, tapi tetap menahan diri agar tidak terlihat rapuh. “Sudah kubilang di