All Chapters of Menantu Bayangan : Istri Simpanan Pewaris Tersembunyi: Chapter 111 - Chapter 120

Perjalanan pulang terasa seperti duduk di dalam gelembung kaca—sunyi, rapuh, hanya ada suara mesin dan lampu kota yang bergeser cepat di kaca jendela.Keinarra menatap ke luar mobil.Jakarta malam hari seharusnya indah, tapi pandangannya kabur—bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan sejak pintu besar rumah Ridwan Mahendra tertutup.Ia menang.Ia berdiri tegak.Ia tidak jatuh.Tapi kemenangan seperti itu … berat.Setiap napas terasa seperti menarik seluruh luka masa lalu keluar permukaan.Tanpa suara, air mata akhirnya jatuh.Dipungut oleh sunyi.Bayangan tentang kejadian di meja makan tadi masih menempel di benak Keinarra.Wanita yang telah melahirkannya, dengan tega memojokkannya setelah semua fitnah keji yang membuat Keinarra frustrasi.Alih-alih meminta maaf, Nadya malah terus ingin menjatuhkannya.Demi Tuhan, Keinarra tidak pernah minta dilahirkan di dunia ini.Dan kalaupun boleh memilih, Keinarra tidak akan memilih Nadya menjadi ibunya.Reyhan sekilas

Setelah hampir dua jam berendam di kolam air panas Ciater—bau belerang, uap hangat, dan sedikit kekacauan kecil akibat dua pria iseng yang mencoba mendekati Keinarra—rombongan kecil itu akhirnya bersiap keluar.Keinarra menyampirkan handuk, pipinya hangat karena air panas dan sedikit karena tatapan Reyhan yang belum berhenti memeluknya sejak kejadian “dua pria tadi”.“Mas enggak usah peluk-peluk gini, Mas posesif banget,” gumam Keinarra sambil berjalan ke arah meja dengan empat kursi tempat mereka meletakkan barang.“Punya alasan jelas,” balas Reyhan santai. “Ada dua orang yang hampir kehilangan giginya tadi,” kata Reyhan lagi setengah mengancam.“Mas, sumpah ya. Aku enggak akan nolongin Mas kalau Mas kenapa-kenapa sama mereka.”Reyhan menahan tawa—senyum miringnya muncul, berbahaya dan manis sekaligus.Dari belakang, Widhy dan Argo datang, mereka baru selesai berganti pakaian juga.Senyum di bibir Widhy belum juga hilang, wajahnya pun merah tapi karena air hangat sementara Arg

Semakin larut, udara Lembang kian menusuk seperti jarum-jarum kecil yang malas tapi konsisten menggigit kulit.Di ruang televisi villa, lampu warm-white dibiarkan menyala redup, membuat ruangan tampak seperti bioskop mini yang ditinggal pemiliknya.Argo menarik selimut tipis yang disediakan villa, tapi jelas tidak cukup untuk menahan dingin udara pegunungan di malam hari yang sampai berada di bawah dua belas derajat Celcius.Di luar, angin merayap lewat celah jendela, membawa aroma hutan lembap dan udara malam yang membekukan tulang.Argo menggigil kecil.Dada bidangnya naik turun cepat—bukan karena panik, tapi karena kedinginan parah.“Kenapa selimutnya kayak tisu basah begini…,” gumamnya pelan sambil memeluk bantal sebagai usaha terakhir melawan suhu dingin.Ia hampir memutuskan untuk bergulung seperti sushi ketika suara pintu kamar di ujung koridor terbuka perlahan.Ceklek.Argo refleks duduk tegak seperti prajurit yang sedang inspeksi.Punggung lurus, tangan di lutut, ma

Pagi di Lembang datang seperti embusan napas hangat yang malas. Matahari baru naik setengah, mencium pucuk-pucuk pinus dan meninggalkan garis-garis keemasan di dinding kaca villa.Keinarra menguap kecil saat membuka pintu kamar. Rambutnya terurai sedikit basah habis mandi, tapi masih tampak sayu karena baru bangun. Reyhan keluar tepat di belakangnya, memasang jam tangan sambil tersenyum tipis—senyum “aku tidur nyenyak semalam, terima kasih”.Tapi sebelum mereka berdua sempat melangkah ke area lounge kecil villa, pintu kamar satunya lagi tiba-tiba terbuka.Dan muncullah dua sosok.Widhy dan Argo keluar bersamaan.Dengan langkah mengendap-ngendap seperti maling ayam belum menyadari kehadiran Keinarra dan Reyhan.Begitu mata empat orang itu saling bertemu seketika sunyi selama lima detik.Lalu—Widhy spontan merapikan rambut. “Eh… pagi .…”Argo langsung menegakkan punggung, raut wajahnya dibuat serius saat menyapa Keinarra dan Reyhan. “Tuan…

Pagi terakhir di Lembang membuat mereka berempat enggan kembali ke Jakarta.Sinar matahari yang hangat menembus tirai tipis di kamar menggantikan udara dingin yang pekat tadi malam.Wangi tanah basah dan aroma kopi dari dapur kecil villa mengisi ruangan seperti salam selamat pagi yang penuh kenangan.“Kopinya Nyonya.” Argo menyimpan dua gelas kopi di atas meja.“Makasih ….”Lalu Argo masuk ke dalam villa kembali,Keinarra yang sedari tadi berdiri di balkon meraih mug hangat itu dan menggenggamnya menggunakan kedua tangan.Sweater lilac tebal membalut tubuhnya dan celana panjang khusus musim dingin menghangatkan tubuh Keinarra.Rambutnya diikat ke belakang, dan tatapannya tertuju pada lembah hijau yang diselimuti kabut tipis.Suara burung dan desir angin di pepohonan pinus menjadi latar sempurna untuk pagi terakhir itu.Reyhan keluar dengan rambut basah habis mandi.Dia langsung menyambar kopi bagiannya. “Americano kamu, dengan takaran gula yang enggak terlalu manis,” ujar