ログインHening membentang panjang usai pergulatan penuh hasrat itu.Seperti salju pertama yang jatuh ke tanah.Sesudah tubuh mereka sama-sama melebur dalam kehangatan, Reyhan masih memeluk Keinarra dari belakang, napasnya teratur di tengkuk istri tercintanya.Selimut tebal menutupi pinggang mereka, kulitnya masih saling menyentuh tanpa penghalang.Keinarra terdiam.Tapi Reyhan merasa—bahunya tidak setegang tadi, dan jari Keinarra yang menyentuh punggung tangannya terasa lebih lembut.“Mas,” bisiknya akhirnya, pelan sekali.Reyhan membuka mata, menunduk sedikit. “Hm?”Kemudian mengecup kepala Keinarra.Keinarra tidak menoleh.Ia menatap jendela besar yang memantulkan lampu-lampu kota Bandung seperti bintang jatuh yang berkelap-kelip indah di atas bumi.“Kenapa Mas bisa berubah jadi mencintai aku?”Suara itu lirih, takut, nyeri dan kecewa masih tersimpan baik di sana.Pertanyaan yang sering Keinarra lontarkan dan dia belum juga merasa puas dengan jawaban Reyhan. Reyhan tidak lang
Semakin larut, udara Lembang kian menusuk seperti jarum-jarum kecil yang malas tapi konsisten menggigit kulit.Di ruang televisi villa, lampu warm-white dibiarkan menyala redup, membuat ruangan tampak seperti bioskop mini yang ditinggal pemiliknya.Argo menarik selimut tipis yang disediakan villa, tapi jelas tidak cukup untuk menahan dingin udara pegunungan di malam hari yang sampai berada di bawah dua belas derajat Celcius.Di luar, angin merayap lewat celah jendela, membawa aroma hutan lembap dan udara malam yang membekukan tulang.Argo menggigil kecil.Dada bidangnya naik turun cepat—bukan karena panik, tapi karena kedinginan parah.“Kenapa selimutnya kayak tisu basah begini…,” gumamnya pelan sambil memeluk bantal sebagai usaha terakhir melawan suhu dingin.Ia hampir memutuskan untuk bergulung seperti sushi ketika suara pintu kamar di ujung koridor terbuka perlahan.Ceklek.Argo refleks duduk tegak seperti prajurit yang sedang inspeksi.Punggung lurus, tangan di lutut, ma
Udara Lembang malam itu dingin—dingin yang halus, membungkus kulit seperti kabut lembut yang malas turun dari pegunungan.Villa mewah dua lantai itu berdiri di lereng bukit, dinding kaca lebar menghadap hamparan lampu-lampu Bandung yang berkelip seperti lautan bintang yang tersesat ke bumi.Keinarra melangkah masuk pertama kali. Aroma kayu manis dari diffuser menyambutnya. Reyhan menyusul di belakang—membawa dua koper sekaligus seolah bobotnya tak ada apa-apanya.Widhy sibuk melongok tiap sudut ruangan dengan mata berbinar, sementara Argo mengikutinya dengan langkah pelan—seperti bodyguard yang tidak resmi tapi juga seperti lelaki yang sedang diam-diam jatuh hati.“Gila… tempat ini aesthetic banget,” gumam Widhy sambil memotret view balkon.“Kalau mau foto di luar jangan sendirian, jalannya licin,” ucap Argo otomatis. Romantis sekali.Widhy menatapnya. “Kamu selalu ngomong kayak gitu ke semua perempuan?”“Enggak.” Argo langsung menyahut.“Kok lancar banget, kaya sudah biasa gi
Setelah hampir dua jam berendam di kolam air panas Ciater—bau belerang, uap hangat, dan sedikit kekacauan kecil akibat dua pria iseng yang mencoba mendekati Keinarra—rombongan kecil itu akhirnya bersiap keluar.Keinarra menyampirkan handuk, pipinya hangat karena air panas dan sedikit karena tatapan Reyhan yang belum berhenti memeluknya sejak kejadian “dua pria tadi”.“Mas enggak usah peluk-peluk gini, Mas posesif banget,” gumam Keinarra sambil berjalan ke arah meja dengan empat kursi tempat mereka meletakkan barang.“Punya alasan jelas,” balas Reyhan santai. “Ada dua orang yang hampir kehilangan giginya tadi,” kata Reyhan lagi setengah mengancam.“Mas, sumpah ya. Aku enggak akan nolongin Mas kalau Mas kenapa-kenapa sama mereka.”Reyhan menahan tawa—senyum miringnya muncul, berbahaya dan manis sekaligus.Dari belakang, Widhy dan Argo datang, mereka baru selesai berganti pakaian juga.Senyum di bibir Widhy belum juga hilang, wajahnya pun merah tapi karena air hangat sementara Arg
Pagi buta Jakarta masih sejuk ketika suara klakson pendek terdengar di depan gedung kos Widhy.“Keiii! Aku bawah koper kecil aja ya, takut Mas Reyhan kira aku mau kabur nikah sama idol Korea,” seru Widhy sambil menyeret koper mini bermotif awan.Argo turun dari sisi kemudi, langsung menyambut koper itu. “Saya bawakan.”Widhy mengerjap. “Eh iya makasih … Mas Argo.”“Sama-sama.” Pria itu tersenyum manis,Rasanya Widhy kehilangan gravitasi sedetik.Reyhan menyandar di samping mobil SUV mewah warna hitamnya, celana chino krem, hoodie charcoal, sneaker putih; kasual tapi kelihatan mahal. Keinarra berdiri di samping pria itu, long cardigan coklat muda, jeans, kacamata hitam nertemgger di hidung mancungnya di.“Wuiiih, Pak Reyhan keren juga pakaian casual-nya.” Widhy memuji.Cari muka, karena trip ini disponsori pria itu.“Cari mukaaaa,” timpal Keinarra.Widhy mendekat sambil tertawa lalu memeluk Keinarra.“Akhirnya kita liburan.” Dia berbisik.“Siap?” tanya Reyhan.“Siap banget
Perjalanan pulang terasa seperti duduk di dalam gelembung kaca—sunyi, rapuh, hanya ada suara mesin dan lampu kota yang bergeser cepat di kaca jendela.Keinarra menatap ke luar mobil.Jakarta malam hari seharusnya indah, tapi pandangannya kabur—bukan karena hujan, melainkan air mata yang ia tahan sejak pintu besar rumah Ridwan Mahendra tertutup.Ia menang.Ia berdiri tegak.Ia tidak jatuh.Tapi kemenangan seperti itu … berat.Setiap napas terasa seperti menarik seluruh luka masa lalu keluar permukaan.Tanpa suara, air mata akhirnya jatuh.Dipungut oleh sunyi.Bayangan tentang kejadian di meja makan tadi masih menempel di benak Keinarra.Wanita yang telah melahirkannya, dengan tega memojokkannya setelah semua fitnah keji yang membuat Keinarra frustrasi.Alih-alih meminta maaf, Nadya malah terus ingin menjatuhkannya.Demi Tuhan, Keinarra tidak pernah minta dilahirkan di dunia ini.Dan kalaupun boleh memilih, Keinarra tidak akan memilih Nadya menjadi ibunya.Reyhan sekilas







