All Chapters of Tuan Dingin & Nyonya Luka: Chapter 11 - Chapter 20

Senja baru saja merayap di langit kota ketika Dila, dengan amarah yang ditahan-tahan, menelepon dua pria yang sangat dikenalnya: Kenan dan Bayu. Wajahnya pucat, matanya memerah. Ia meminta mereka segera pulang. Ada hal besar yang harus diselesaikan.Tak lama kemudian, suara langkah kaki menggema di halaman rumah keluarga besar mereka. Kenan tiba lebih dulu, duduk di kursi kayu depan rumah, matanya menatap kosong ke arah halaman, dingin seperti biasanya. Tak berselang lama, Bayu menyusul. Ia hanya menunduk, duduk tanpa kata.Dila menghampiri Kenan dengan emosi yang meledak-ledak. Di tangannya tergenggam kertas yang sudah kusut. Ia melemparkan kertas itu ke dada Kenan."Apa benar kamu menyuruh Jifanya menggugurkan kandungannya? Apa kamu sejahat itu, Mas? Lalu untuk apa kamu menikahinya?" suaranya mengguncang udara petang itu.“Aku... tidak tahu,” jawab Kenan, pelan namun tegas. Ekspresinya tetap datar, namun matanya menyimpan badai.“Pak Kenan, Pak Polisi yang terhormat!” Dila mencemooh

Senja menggantung di langit desa, membentuk siluet keemasan di ujung sawah yang membentang tenang. Angin berembus pelan, membawa harum jerami basah dan kenangan yang menggantung di antara pepohonan. Di belakang rumah tua milik almarhumah neneknya, Jifanya berdiri, memandang kosong ke arah matahari yang mulai tenggelam. Di sampingnya, Kenan berdiri dalam diam. Tempat yang sama di mana dulu Jifanya dan sang nenek sering duduk bercengkrama, kini hanya menyisakan sunyi.‘Oma, dia datang bersamaku seperti permintaanmu. Tapi sayang, kamu tidak bisa melihatnya. Justru mereka datang karena kepergianmu…’ batin Jifanya pilu.Nenek Jifanya pernah berkata, ia akan bahagia jika suatu hari cucunya pulang bersama sang suami. Tapi nyatanya, keinginan itu hanya menjadi mimpi yang tertinggal di antara batu nisan."Kenapa kamu ingin menghilangkan anak itu? Padahal selama ini kamu berjuang untuk anak-anak." Suara Kenan pecah dalam kesunyian. Wajahnya tetap dingin, sorot matanya dalam, seolah menelisik is

Waktu terus berputar tanpa belas kasih. Sejak Bayu bekerja bersama Jifanya di restoran kecil di sudut kota, hari-hari mereka seperti perang dingin yang tak kunjung padam. Tiap gesekan kecil di antara mereka mampu memantik bara, seolah masa lalu yang penuh luka enggan padam. Bayu, dengan sikap kekanak-kanakan dan rasa bersalah yang tak pernah bisa ia sembunyikan, seringkali mencoba menarik perhatian Jifanya—sayangnya dengan cara yang salah. Ia bahkan ikut bekerja di restoran demi bisa membantu Jifanya.Sore itu restoran cukup ramai. Lampu neon berpendar lemah di langit-langit, suara piring beradu dengan denting sendok, aroma tumisan bercampur suara teriakan koki. Para pelanggan datang silih berganti, membuat ruang sempit itu semakin sesak oleh riuh kehidupan.Di tengah kesibukan, Jifanya tengah mengantar pesanan. Saat ia hendak duduk sejenak, kursi yang akan ia duduki tiba-tiba ditarik Bayu. Nampan di tangannya nyaris terlepas, tubuhnya hampir terpeleset.“Apa yang kamu lakukan?!” hard

Malam semakin larut di Jakarta. Udara yang lembap merayap masuk lewat jendela kost sederhana berlantai tiga, membawa aroma aspal panas yang baru saja disiram hujan sore tadi. Di kejauhan, suara kendaraan perlahan menghilang, meninggalkan kota dalam keheningan yang mencekam. Namun, keheningan itu tidak pernah benar-benar sampai ke dalam hati Bayu.Di kamar sempitnya yang diterangi lampu redup, Bayu berbaring terlentang. Matanya menatap langit-langit kusam yang penuh bercak, sementara pikirannya berkecamuk. Sudah berulang kali ia mencoba memejamkan mata, tetapi amarah dalam dadanya menolak padam. Kata-kata Jifanya siang tadi masih terngiang—berandalan.Kata itu bagai belati yang ditusukkan berulang-ulang ke dalam harga dirinya. Ia hanya ingin membantu, melindungi, bahkan sekadar menunjukkan kepeduliannya. Namun, balasannya selalu dingin, selalu menusuk.“Kenapa selalu aku yang salah? Apa hatinya sekeras itu sampai tak bisa melihat ketulusanku?” gumamnya lirih, suara itu hilang ditelan d

Malam Jakarta kembali menyelimuti dengan langit kelabu yang dipenuhi awan menggantung. Jalanan lengang, hanya beberapa motor lalu lalang menembus kesunyian. Dari jendela mobil yang melaju pelan, wajah Jifanya tampak sayu. Matanya kosong menatap kerlip lampu kota, seakan semua cahaya itu tak mampu menembus kegelapan dalam hatinya.Di sampingnya, Kenan duduk dengan wajah khasnya yang dingin. Lelaki itu bagai pahatan batu; sorot matanya sulit ditebak, ucapannya sering hemat. Di balik kekakuan itu, tersimpan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa Jifanya baca.Ketika mobil berhenti di depan sebuah bangunan kost eksklusif tiga lantai, Jifanya segera membuka pintu tanpa berkata apa pun.“Jifanya,” suara Kenan menahan, datar tapi berat. Wanita itu berhenti, tangannya menggenggam tas erat. “Apa kamu yakin tidak pulang ke rumah?” tanyanya.Jifanya berbalik perlahan. Wajahnya murung, bibirnya bergetar menahan ribuan kata yang ingin ia lontarkan. Tidak bisakah kamu, Kenan, sedikit saja memelu