All Chapters of Kesempatan Kedua? (Aku, Kau dan Rahasia) : Chapter 11 - Chapter 20

Selalu ada hari pertama dalam hidup. Begitu juga bagi Reya, Sky dan Wendy. Hari ini, hari pertama mereka di Jakarta hampir berakhir, ditutup dengan makan malam sederhana dan obrolan hangat. Meja makan penuh dengan nasi hangat, tumis sayur, ikan goreng dan juga sambal, sesuatu yang jarang mereka temui di Kanada. Aroma gurih dan sedikit pedas menguar mengisi ruangan.Reya menyendok nasi ke piringnya, tapi matanya melihat ke arah Sky. “How’s your first day been? Fun or what?” tanyanya lembut. Ia berusaha terlihat santai, tapi Sky juga tahu bahwa ibunya merasa agak khawatir.Alis Sky terangkat. “Not bad. Just a normal day at school. And…I made a new friend.” Ia tersenyum. “Bagus dong. Siapa namanya?” Wendy menyahut sambil meletakkan daging ikan yang telah dia bersihkan durinya ke piring Sky.“Elio….” Sky menyuap nasi bersama ikan yang Wendy berikan, sambil mengunyah ia terlihat berfikir, “Sama Bian,” imbuhnya dengan nada lebih pelan. Yah, Bian mungkin belum bisa dikatakan sebagai teman S

Wendy sengaja datang lebih pagi dari yang diminta, jadi ketika ia tiba, belum ada siapa-siapa di studio. Salah seorang staf produksi bilang kalau Sagara, bos Wendy, sedang meeting pagi bersama kepala divisi yang lain. Staf itu juga yang akhirnya mengarahkan Wendy untuk menunggu di studio Saga, tempatnya akan bekerja nanti.Bau kayu dari panel akustik dan sedikit bau elektronik hangat dari peralatan menyambut Wendy ketika ia mendorong pintu tebal ruang studio itu. Lampu warm white redup menggantung di langit-langit dan beberapa lampu sorot mengarah ke meja mixing memberikan kesan yang cenderung serius dan fokus. Wendy melihat area mixing di ujung ruangan dan booth rekaman di sisi kanan. Di sisi kiri, sedikit kebelakang, ada meja tambahan lengkap dengan laptop dan headphone. Staf yang tadi mengantarnya bilang bawa meja itu akan jadi meja kerja Wendy di sini.Pintu studio terbuka. Seorang pria berkulit pucat masuk tanpa menoleh, wajahnya datar, langkahnya mantap. Dengan pakaian serba hi

Ruang latihan Skywave sore itu terasa padat. Beberapa anak muda duduk tegang di kursi lipat, masing-masing memegang lembar partitur yang sudah kusut. Di ujung ruangan, Orion sudah bersandar santai di kursi, laptop terbuka di depannya, earphone melingkar di leher. Hari ini jadwal seleksi pegawai baru untuk posisi music production assistant, alias asisten untuk Sagara. Lalu dimana Sagara? Tidak ada. Ironis sekali. Tapi mau bagaimana lagi, sejak awal pria yang hampir selalu menunjukkan ekspresi dingin itu sudah memberi mandat bahwa dia tidak mau ikut dalam rangkaian seleksi.“Gue males ngurus beginian. Ribet. Kalian aja.” begitu katanya. Tentu saja dengan lebih dulu memberikan rincian kriteria yang dia mau. Kriteria yang sebenarnya menurut Orion cukup mustahil untuk diwujudkan. Harusnya Orion bersama Langit, tapi sang CEO Skywave itu mendadak ditarik rapat dengan klien. Jadilah Orion menanggung beban ini sendirian.“Kalau bukan Bang Saga yang minta, udah cabut gue dari tadi,” gumamnya

Ingat kata-kata populer, hari sial tidak ada di kalender. Ia bisa datang kapan saja tanpa aba-aba.Hari ini sesuai jadwal, Reya bersama tim harus menghadiri rapat pertama dengan Skywave. Dari data yang Reya dapat, perusahaan ini sangat menjanjikan. Pertumbuhannya pesat, reputasinya bagus dan semua analisis bisnis menunjuk ke arah yang sama, Skywave adalah mitra potensial yang tidak bisa diabaikan. “Saya jadi deg-degan deh, Bu,” bisik Rania disampingnya. Mereka baru saja masuk lift menuju lantai 12 diantar salah seorang frontliner Skywave. Pak Aditya berbincang ringan dengan karyawan Skywave itu sementara Reya dan Rania berdiri sedikit ke belakang. Reya menoleh, alisnya terangkat sedikit, “Kan saya yang presentasi, kenapa kamu yang deg-degan?”Sekretaris Reya itu mengibaskan tangannya pelan, “Bukan soal presentasinya, Bu. Tapi…soal ketemu CEO-nya.”Sudut bibir Reya tertarik, menahan geli. Masih saja Rania membahas tentang masalah itu. Reya jadi tergelitik untuk menanggapi. “Emang seg

Setiap dari kita mungkin pernah jatuh lalu punya lunga menganga yang berdenyut nyeri hingga kita menangis kesakitan. Kita obati luka itu, meniupnya pelan, memberinya obat, berharap ia akan segera kering dan sembuh. Lalu esoknya mungkin kita melihatnya membaik. Nyerinya masih, tapi lukanya tak lagi menganga. Hanya ada permukaan kulit yang menghitam. Ah, akhirnya aku sembuh. Begitu yang kita pikirkan. Lalu kita akan tergoda untuk menyentuhnya, menarik lapisan itu pelan, berharap akan melihat kulit baru yang bersih. Sayangnya, seringkali kita salah. Luka itu belum benar-benar sembuh. Di bawah sana, dia masih berdarah. Dan ketika kita membukanya paksa, sakitnya lebih menyiksa karena datang bersama penyesalan.Reya mempercepat langkahnya. Nafasnya tersengal. Matanya buram dengan air mata yang siap tumpah kapan saja.Dia pikir sudah sembuh. Reya pikir meski pertemuannya dengan Langit membuatnya merasa dikuliti dan di tikam habis-habisan, ia akan bisa melewatinya. Ternyata tidak.“Seharusny