Home / Fantasi / PESONA KAKA IPAR / BAB-4 Batas Yang Tak Terucap

Share

BAB-4 Batas Yang Tak Terucap

Author: jarumkecil
last update Last Updated: 2025-09-02 15:12:51

Sona duduk di kursi yang sama, tempat terakhir kali ia meninggalkannya. Sore itu seperti mengulang waktu—udara lembab, langit abu-abu, dan secangkir teh yang kini dibuat olehku, bukan dia.

“Ternyata, yang paling sulit bukan pergi,” katanya pelan. “Tapi kembali… dengan perasaan yang masih sama.”

Aku tidak langsung menjawab. Hanya duduk di sampingnya, menjaga jarak aman. Batas yang tak terlihat, tapi terasa sangat nyata.

“Pernah terpikir nggak,” aku akhirnya bicara, “kalau kita ini bukan sedang jatuh cinta, tapi cuma sedang kesepian di waktu yang sama?”

Dia tersenyum, pahit. “Pernah. Tapi kenyataannya… bahkan saat aku tidak sendiri, aku tetap memikirkan kamu.”

Aku menahan napas. Kata-katanya sederhana, tapi dalam. Seperti lubang kecil yang perlahan menarik semua pertahananku.

“Makanya aku pulang,” lanjutnya. “Bukan untuk kita. Tapi untuk mengingatkan diri… bahwa ini bukan tempatku menaruh hati.”

Kami saling menatap. Tidak ada yang menangis. Tidak ada yang memohon. Tapi dari cara kami diam, kami tahu:

Perasaan ini ada.

Nyata.

Tapi tidak untuk dimiliki.

Dan mungkin, itulah yang paling menyakitkan.

“Kalau suatu hari aku terlihat menjauh…” ucapku perlahan, “itu bukan karena aku berhenti merasa. Tapi karena aku ingin menjaga kamu. Dan diriku.”

Dia mengangguk. “Sama. Aku juga.”

Lalu sore itu berakhir seperti biasa. Tanpa pelukan. Tanpa kata cinta.

Tapi untuk pertama kalinya… kami benar-benar saling mencintai—dengan cara yang paling dewasa:

tidak saling memiliki.

Setelah percakapan sore itu, segalanya terasa berbeda—bukan karena perasaan itu menghilang, tapi karena kami mulai memilih diam yang lebih tertata.

Bukan lagi diam yang penuh tanya, melainkan diam yang sadar diri.

Kami masih tinggal di rumah yang sama. Masih sesekali bertemu di dapur, atau berpapasan saat pagi. Tapi kini tak ada lagi teh sore. Tak ada lagi tatapan lama yang menggantung di udara.

Sona lebih banyak menghabiskan waktu di kamarnya. Dan aku… mencoba menata ulang pikiranku, meski kenyataannya hatiku tak semudah itu ditata.

Kadang aku mendengar langkahnya di malam hari. Langkah pelan yang berhenti sejenak di depan kamarku, lalu berlalu. Entah ia hanya lewat… atau ragu.

Aku pun pernah berdiri di depan kamarnya. Menyentuh gagang pintu. Tapi tak pernah kubuka. Karena aku tahu, sekali saja aku masuk… aku mungkin tak akan bisa keluar dengan perasaan yang sama.

Kami saling menjaga jarak. Tapi di kepala kami, masih saling hadir.

Dan itulah ironi paling tajam dalam cerita ini:

Bukan cinta yang ditolak, tapi cinta yang harus diam karena tahu diri.

Pada suatu malam, saat aku hendak keluar membeli makan, kami bertemu di ruang tamu. Sama-sama kaget. Sama-sama diam.

Sona menunduk, lalu berkata pelan, “Aku mulai belajar… bahwa rasa, tak selalu harus dibawa ke mana-mana. Kadang cukup disimpan saja. Dalam hati. Untuk dikenang.”

Aku menatapnya. “Tapi rasa yang disimpan… bukankah perlahan bisa jadi luka?”

Dia menatap balik, matanya tenang. “Tidak, kalau kamu tahu kenapa kamu harus menyimpannya.”

Dan malam itu aku mengerti.

Kami bukan sedang kehilangan…

Kami sedang menyelamatkan.

Hari itu, hujan turun sejak pagi.

Rinai kecil membasahi jendela, mengaburkan pandangan ke luar, tapi justru memperjelas apa yang terjadi di dalam: hati yang belum sembuh, tapi dipaksa berhenti berdetak terlalu keras.

Aku duduk di ruang tengah, membaca buku yang tak benar-benar kubaca. Sona lewat tanpa bicara, membawa cucian.

Rambutnya dikuncir longgar, wajahnya tanpa riasan. Tapi justru begitu… dia terlihat paling jujur.

“Kamu nggak kerja hari ini?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk. “Lagi hujan, jalanan becek.”

Dia mengangguk, lalu duduk di seberang. Jarak aman. Jarak yang sudah kami sepakati tanpa pernah dibicarakan.

Kami bicara sedikit. Tentang cuaca. Tentang pekerjaan Kak Arman yang katanya mungkin akan ke luar kota beberapa hari. Semua topik aman. Semua netral.

Tapi di sela-sela kata itu, aku menangkap sesuatu yang masih menggantung di matanya. Sesuatu yang tak berubah—meski kami sudah sepakat untuk tidak menatap terlalu lama.

“Aku mau cari kerja juga,” katanya tiba-tiba. “Biar nggak terlalu sering di rumah.”

Aku mengangguk. Tak berani bertanya lebih.

“Mungkin nanti aku akan lebih jarang kelihatan. Itu… lebih baik, kan?”

Kalimat itu seperti pisau. Bukan karena aku tak paham maksudnya, tapi karena aku tahu:

Dia sedang mencoba pergi tanpa benar-benar meninggalkan.

“Kalau itu buat kamu merasa lebih tenang, aku nggak akan menahan,” jawabku.

Sona mengangguk. Lalu diam.

Dan di antara diam itu, kami tahu:

Kami bukan sedang menyelesaikan apa-apa…

Kami hanya sedang memilih, untuk tidak menambah luka yang sudah kami rawat diam-diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 11: Pergi yang Tidak Sungguh Pergi

    Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan

    Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-9 RUMAH YANG TAK LAGI PULANG

    Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-8 Lapu-Lapu yang tertinggal

    Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 7: Pecah yang Pelan

    Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-6 Hadir Tapi Tak Ada

    Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status