Sore itu langit tampak muram. Angin mengetuk jendela-jendela tua rumah ini dengan pelan, seolah ingin menyampaikan pesan yang tak pernah sempat terucap.
Aku duduk di teras, sendiri, hanya berdua dengan secangkir kopi yang sudah tak lagi hangat. Mataku kosong, tapi pikiranku penuh. penuh oleh dia. Langkah kakinya pelan terdengar dari dalam. Sona. Tapi aku tak langsung menoleh. Aku hanya tahu, itu dia. "Aku buatkan teh," katanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan tipis. Dia meletakkan cangkir kecil itu di meja tanpa menatapku. Jemarinya dingin sedikit menyentuh kulitku tanpa sengaja—atau mungkin sengaja—aku tak yakin lagi. "Aku nggak tahu kamu suka teh melati," ucapnya, masih tanpa menatap. "Aku juga nggak tahu... sampai kamu yang buat." Dia tersenyum, kecil. Sekilas. Lalu diam lagi. Tatapan kami bertemu sebentar, lalu sama-sama menghindar—seakan sadar, bahwa mata bisa bicara lebih banyak dari kata-kata. Kami duduk dalam hening, hanya suara hujan yang menjadi latar. Rasanya nyaman, tapi juga menyakitkan. Ada ruang antara kami yang begitu sempit, tapi juga terasa jauh. Ruang itu bukan jarak fisik, melainkan batas tak kasat mata bernama ‘kesadaran’. Kami tahu ini salah. Tapi kami juga tahu… ini bukan sekadar salah paham. "Aku sering duduk di sini... sendirian," katanya akhirnya. Aku tak menjawab. Karena sebenarnya, aku pun sering memperhatikannya dari jauh—juga sendirian. Dia tak bicara banyak, hanya duduk di sampingku. Jarak kami cukup sopan, tapi sunyinya terlalu dekat. Dan di saat itulah aku sadar... Kadang, perasaan tak butuh sentuhan untuk terasa begitu nyata. Hanya cukup tatapan, diam, dan satu cangkir teh yang tidak pernah sepahit kenyataan. Senja mulai merambat gelap. Kami masih duduk dalam diam, hanya suara sendok kecilnya yang mengaduk teh pelan, beradu dengan gelas porselen yang terlalu cantik untuk dibiarkan kosong. “Aku dulu sering duduk begini dengan Arman,” katanya tiba-tiba. Aku menoleh, pelan. Dia masih menatap langit, bukan aku. Tapi ucapannya jatuh begitu saja ke dalam hatiku. “Dulu?” tanyaku pelan. “Iya... dulu,” jawabnya sambil tersenyum, tapi tak ada bahagia di sana. Hanya kenangan yang mulai memudar. Aku ingin bertanya kenapa kini tidak lagi. Tapi pertanyaan itu tertahan di tenggorokan. Bukan urusanku, bukan hakku. Tapi kenapa terasa sesak? Sona memeluk tubuhnya sendiri, seperti kedinginan, padahal angin hanya sepoi. Aku hampir ingin melepas jaket dan memberikannya—hampir. Tapi aku tahu, sekali saja aku terlalu dekat, semuanya bisa berubah. "Aku tidak kesepian,” katanya tiba-tiba. Aku diam. “Tapi ada hari-hari… di mana aku merasa sendirian, bahkan saat duduk di sebelah seseorang.” Aku mengerti maksudnya. Mungkin bukan hanya dia yang merasa begitu. “Sona…” Dia menoleh, perlahan. Untuk pertama kalinya, mata kami bertemu lebih lama dari biasanya. Tidak ada senyum. Tidak ada malu. Hanya dua pasang mata yang sama-sama lelah menahan. “Aku akan masuk dulu,” katanya akhirnya, pelan. Lalu ia pergi, meninggalkan aroma tehnya yang masih tertinggal… seperti rasa yang belum selesai kita bicarakan. Dan aku tetap duduk di sana, membiarkan malam turun bersama sesuatu yang tak bisa kusebut: rindu, mungkin. Tapi terlalu awal. Atau... terlalu salah. Sudah hampir satu jam sejak dia masuk ke dalam. Aku masih di sini, di kursi yang sama, dengan gelas teh yang sudah dingin dan langit yang semakin gelap. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, tapi tak ada satu pun cahaya yang bisa menghangatkan dada ini. Kupikir dia akan kembali keluar, seperti sebelumnya. Tapi tidak. Kali ini tidak. Sona benar-benar menghilang ke dalam sunyinya. Dan anehnya, aku merasa bersalah. Padahal tak ada yang kulakukan. Hanya duduk. Hanya bicara. Hanya menatap. Tapi mungkin… justru karena itu. Tatapan kami terlalu lama. Kata-kata kami terlalu jujur. Dan diam kami—terlalu dekat. Pintu belakang terbuka perlahan. Aku menoleh spontan. Bukan dia. Tapi hanya suara angin yang membuka daun pintu yang tak terkunci. Kecewa itu datang dengan cara paling sunyi. Aku masuk, membereskan gelasnya, gelasku. Perlahan. Seolah dengan menyibukkan tangan, aku bisa menyembunyikan apa yang bergemuruh di dalam dada. Saat aku melangkah melewati ruang tamu, aku melihatnya berdiri di depan jendela. Punggungnya menghadapku, rambutnya tergerai, dan tubuhnya nyaris tak bergerak. Seperti sedang menyatu dengan malam. Aku ingin bicara. Tapi apa? Untuk apa? Kadang, menyapa orang yang sedang menyendiri justru terasa egois. Jadi aku hanya berdiri di belakang, dalam diam. Tiba-tiba dia bicara, tanpa menoleh. “Kalau besok aku tidak berdiri di balik jendela lagi, jangan dicari.” Hatiku mencelos. Kalimat itu tidak panjang. Tapi cukup untuk mematahkan satu harapan yang belum sempat tumbuh utuh. “Aku tidak pergi. Tapi aku butuh diam.” “Untuk tidak salah lebih jauh.” Dan malam itu, kami hanya dipisahkan beberapa langkah. Tapi rasanya seperti dunia yang berbeda.Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama
Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar
Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me
Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi
Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi
Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh