Home / Fantasi / PESONA KAKA IPAR / BAB-5 Kebetulan Yang Tidak Kita Minta

Share

BAB-5 Kebetulan Yang Tidak Kita Minta

Author: jarumkecil
last update Last Updated: 2025-09-02 15:21:36

Hari itu, aku pulang lebih larut dari biasa.

Motor sempat mogok di tengah jalan, hujan turun, dan tubuhku menggigil—lebih karena lelah, daripada dingin.

Aku membuka pintu pelan. Rumah gelap. Kukira semua sudah tidur. Tapi dari sela dapur, terlihat cahaya kecil. Sona.

Dia duduk sendiri di lantai, punggung bersandar ke lemari es. Matanya sembab, tangannya memegang gelas air putih yang nyaris kosong.

Aku terdiam.

Dia juga.

“Kenapa belum tidur?” tanyaku, mencoba netral.

Dia tak langsung menjawab. Menatapku sebentar, lalu menunduk lagi.

“Arman nggak pulang,” katanya akhirnya.

“Aku tahu,” jawabku.

Ada jeda. Sunyi lagi.

“Aku cuma… ngerasa sendirian malam ini,” bisiknya.

“Dan aku cuma... capek.”

Kata itu—capek—terdengar sederhana. Tapi dari suaranya, aku tahu itu bukan sekadar lelah badan. Tapi lelah hati. Lelah menahan.

Aku meletakkan tasku di lantai, duduk tak jauh darinya. Tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk bisa mendengar nafasnya yang berat.

“Aku juga,” kataku.

“Capek… nahan semuanya sendiri.”

Dia mengangguk pelan. Lalu, untuk pertama kalinya, dia menyandarkan kepalanya ke dinding… dan menatapku tanpa berkata apa-apa. Tapi aku mengerti.

Kami saling butuh malam itu.

Bukan untuk apa-apa.

Bukan untuk mencintai.

Bukan untuk melampaui.

Tapi hanya… untuk tidak merasa sendiri.

Dan kadang, itu saja sudah cukup menyakitkan—karena saat kau membutuhkan seseorang yang tak seharusnya kamu miliki,

seluruh dunia terasa ikut menghakimi… bahkan saat kamu hanya duduk diam di lantai yang dingin.

Pagi harinya, kami tak bicara tentang malam itu.

Sona sudah bangun lebih dulu, menyapu halaman seperti biasa. Dan aku… berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dari jauh seperti sebelum semua ini dimulai.

Tapi ada yang berbeda.

Dia membuat teh pagi ini. Bukan sore. Tanpa berkata apa-apa, dia meletakkan cangkir kedua di meja, lalu berlalu ke dapur. Diam, tapi penuh makna.

Aku meminumnya. Tak banyak. Tapi cukup untuk membuatku mengerti bahwa—walau tak diucapkan—ada sesuatu yang bertahan di antara kami.

Hari-hari setelah itu berjalan biasa. Kami tetap menjaga jarak, tapi kini…

ada bentuk perhatian kecil yang tak pernah dibicarakan.

Sona tak lagi menghindar sepenuhnya. Kadang dia meninggalkan handuk bersih di depan kamarku saat hujan turun. Kadang aku meletakkan roti panggang di piring kecil untuknya di pagi hari, saat aku tahu dia belum makan.

Semua dilakukan tanpa bertatapan. Tanpa bicara.

Tapi kami tahu.

Dan justru karena tak ada kata, semuanya terasa lebih… jujur.

Suatu malam, saat aku hendak keluar rumah, aku melihatnya berdiri di jendela—jendela yang dulu selalu dia isi dengan tatapan diam.

Kami sempat bertatapan. Lama.

Lalu dia tersenyum tipis. Bukan senyum bahagia. Tapi senyum seseorang yang sedang berusaha kuat di tengah badai yang tak pernah benar-benar reda.

Aku membalasnya. Sama. Tipis. Lelah. Tapi tulus.

Dan malam itu, aku sadar…

Perasaan kami masih sama.

Yang berbeda hanyalah cara kami menyimpannya.

Ada yang berubah, tapi tak terlihat.

Sejak malam itu, kami seperti dua orang yang sama-sama tahu arah angin—tahu harus berjalan ke mana, tahu harus sejauh apa. Tapi tak bisa membohongi satu hal: kehadiran masing-masing mulai menjadi bagian dari rutinitas yang tak bisa dielakkan.

Dia tak lagi sepenuhnya menjauh. Tapi juga tidak pernah mendekat.

Aku pun begitu. Tidak pernah menunggu, tapi diam-diam merasa lega saat melihat lampu di kamarnya masih menyala.

Tanda dia masih ada.

Masih di sini.

Suatu sore, aku pulang lebih cepat dari biasa. Hujan gerimis turun, dan aroma tanah basah menyambut langkahku.

Di meja makan, sudah ada semangkuk sup hangat.

Tidak ada catatan. Tidak ada ucapan. Tapi aku tahu… itu darinya.

Aku hanya berdiri di sana, menatap mangkuk itu lama, sebelum akhirnya duduk dan memakannya perlahan.

Supnya hambar. Tapi rasanya menenangkan.

Beberapa menit kemudian, dia lewat. Membawa cucian ke halaman belakang. Kami hanya saling menoleh sebentar.

Tak ada senyum. Tak ada sapaan. Tapi cukup.

Dan di malam yang sunyi, aku menulis satu kalimat di buku catatanku:

“Seberapa lama dua orang bisa bertahan dengan saling menyayangi, tanpa pernah saling memiliki?”

Aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku tahu…

Kalau ini berlangsung terlalu lama, aku akan lupa rasanya jatuh cinta secara normal.

Karena bagaimana bisa aku membuka hati untuk yang lain,

kalau hatiku sudah penuh oleh seseorang yang bahkan tak pernah benar-benar menjadi milikku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 11: Pergi yang Tidak Sungguh Pergi

    Hari itu, aku berkemas lebih cepat dari biasanya. Bukan karena terburu-buru. Tapi karena aku takut, kalau aku terlalu lama berdiri di kamar ini, aku akan berubah pikiran. Kakakku sedang di kantor. Kak Arman ada di kamar, entah tidur atau hanya berpura-pura. Tak ada perpisahan. Tak ada penjelasan. Hanya koper kecil, jaket tipis, dan langkah pelan menuruni tangga. Aku sempat berhenti di depan dapur. Meja itu masih sama. Gelas-gelasnya juga. Dan kenangan yang tertinggal di sela percakapan yang tidak pernah selesai. --- Ibu menatapku lama saat aku tiba di rumahnya. “Bukan libur biasa, ya?” tanyanya, seperti tahu. Aku menggeleng. “Aku cuma… butuh tempat yang tidak terlalu banyak kenangan.” Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya membuatkan teh manis, lalu duduk di sampingku tanpa kata. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… diam itu cukup. --- Hari-hari di rumah Ibu berjalan lambat. Pagi diisi dengan menyapu teras. Siang bantu di toko. Malam duduk bersama

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan

    Bab 10: Jeda yang Tidak Diucapkan Sejak hari itu, tak banyak yang berubah. Piring di meja makan masih berkurang satu. Suara-suara di dalam rumah jadi lebih tenang—bukan damai, hanya... kosong. Kak Arman tetap pulang setiap malam, tepat waktu. Tapi ia tak lagi menanyakan apa aku sudah makan. Tak lagi duduk di dapur dengan dua gelas kopi. Ia seolah mengerti, bahwa batas-batas yang pernah kami abaikan kini sedang coba diperbaiki. Tapi diam itu menyiksa. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Seperti, "Kamu baik-baik saja?" Atau "Kenapa kamu terlihat lelah meski tidak berkata apa-apa?" Tapi aku takut. Takut kalau percakapan kecil akan membuka celah yang lebih dalam. Dan aku tahu, celah itu terlalu mudah terisi oleh rasa yang salah. --- Suatu malam, aku turun ke dapur. Hanya ingin mengambil air, tapi langkahku terhenti. Dia berdiri di sana, memunggungiku. Mengaduk sesuatu di panci kecil. "Belum tidur?" tanyanya, tanpa menoleh. Aku ragu menjawab. Sudah lama kami tidak berbicar

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-9 RUMAH YANG TAK LAGI PULANG

    Pagi itu, suara TV sudah menyala sejak jam enam. Kak Arman duduk di ruang tamu, masih memakai pakaian tidur, matanya belum sepenuhnya bangun. Tapi ekspresinya tajam—bukan karena marah, tapi karena siaga. Sona keluar dari dapur dengan celemek masih terikat di pinggang. “Aku mau ke toko Ibu sebentar, nitip pesanan tetangga juga,” ucapnya datar. Tapi Kak Arman menoleh cepat. “Kenapa nggak besok aja? Hari ini kamu di rumah. Temenin aku.” Nadanya terdengar manis, tapi kaku. Seperti seseorang yang ingin terdengar lembut, tapi lupa caranya mencintai tanpa mengontrol. Sona terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Iya, besok aja.” Sepanjang hari, Kak Arman lebih sering di rumah. Ia mulai bertanya lebih sering, kadang soal masakan, kadang soal handphone Sona yang mulai jarang terlihat. “Aku lihat kamu sering keluar sendiri. Sekarang banyak laki-laki iseng di luar. Aku cuma jaga-jaga,” katanya saat makan malam. Sona tidak menjawab. Tapi dari cara dia mengunyah pelan dan me

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-8 Lapu-Lapu yang tertinggal

    Sudah hampir dua minggu Sona mulai jarang bicara. Dia tetap melakukan semua kewajibannya, tetap bangun pagi, tetap memasak, tetap menyapu halaman. Tapi tidak ada lagi kalimat-kalimat ringan yang dulu sering mengisi ruang makan. Dan Kak Arman mulai menyadarinya. “Makan bareng, Son,” katanya suatu malam. Sona hanya menoleh, lalu menjawab, “Nanti nyusul. Lagi lelah.” Itu bukan jawaban yang aneh. Tapi bagi seseorang yang terbiasa didengar tanpa diminta, jawaban sesingkat itu terasa seperti tamparan. “Sekarang kamu sering lelah, ya?” Arman bertanya lagi, kali ini dengan nada yang mulai berubah. Sona tidak menjawab. Ia hanya berlalu masuk ke kamar. Aku memperhatikan dari ruang tengah, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Tapi aku tahu, detik itu juga, sesuatu di dalam diri Kak Arman mulai retak—bukan karena curiga, tapi karena egonya terusik. Sona bukan lagi perempuan yang sama. Malamnya, aku mendengar suara mereka dari balik tembok. Tidak keras. Tapi cukup untuk membuatku tak bi

  • PESONA KAKA IPAR   Bab 7: Pecah yang Pelan

    Aku mulai bangun lebih siang dari biasa. Bukan karena lelah fisik, tapi karena aku takut menghadapi pagi. Takut menghadapi tatapan mata yang kuhindari, tapi kucari. Tatapan Sona. Beberapa hari ini, aku mulai menjauh. Tak sarapan bersama. Tak duduk di ruang tengah terlalu lama. Bahkan sengaja menutup pintu kamar lebih sering. Aku pikir, dengan menarik diri, semuanya akan perlahan kembali normal. Bahwa jika aku berhenti hadir di hidupnya, dia akan kembali ke tempat yang seharusnya. Ke sisi Kak Arman. Ke rumah ini sebagai istri, bukan sebagai perempuan yang pernah duduk diam bersamaku di tengah sunyi. Tapi ternyata… aku yang patah duluan. Rasanya kosong. Bukan karena kehilangan, tapi karena menahan diri dari hal yang paling ingin kutanyakan: “Apa kamu juga sesak, seperti aku?” Sore itu, aku pulang lebih awal. Tidak sengaja. Dan kudapati Sona menangis pelan di ruang tamu, punggungnya membelakangi jendela. Tangannya menutupi wajah. Tubuhnya berguncang, tapi tak bersuara. Aku berdi

  • PESONA KAKA IPAR   BAB-6 Hadir Tapi Tak Ada

    Beberapa minggu terakhir, Kak Arman mulai lebih sering pulang lebih awal. Tidak lagi ada perjalanan dinas, tidak lagi lembur sampai malam. Tapi rumah ini… tetap terasa kosong. Setiap sore, ia duduk di depan TV dengan mata lelah yang tak benar-benar melihat. Kadang memainkan ponsel, kadang tertidur di sofa. Sona menyajikan makanan seperti biasa, duduk di sebelahnya, menanyakan hal-hal kecil… yang tak pernah dijawab dengan utuh. Dan aku hanya memperhatikan dari jauh. Dari ruang tengah. Dari dapur. Dari lorong kamar. Selalu dari tempat yang tidak terlalu dekat, tapi juga tak pernah benar-benar jauh. “Dia nggak berubah,” bisik Sona padaku suatu malam, saat kami secara tidak sengaja bertemu di dapur. “Cuma... makin diam.” Aku tak tahu harus menjawab apa. Karena yang berubah justru kami. Kami yang semakin bisa membaca raut wajah masing-masing tanpa bicara. Kami yang mulai memahami kesepian bukan dari cerita, tapi dari sorot mata. Sona tertawa kecil, pahit. “Kadang, keh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status