Perhatian! Ini khusus cerita dewasa ya. Harap bijak memilih bacaan! Tangguh Sobarna adalah pemuda desa yang mencoba mengadu nasib di ibu kota. Namun takdir membawanya bertemu dan jatuh cinta pada pesona Linda, istri dari majikannya. Ia tahu ini dilarang, tetapi cinta dan nafsu membutakan segalanya.
View More"Sial! Sial! Sial! Bisa-bisanya Noval malah kena masalah. Sekarang gue harus ke mana? Ya Tuhan, bagaimana ini?" Tangguh terus saja menggerutu sangat kesal saat mengetahui teman yang mengajaknya bekerja di Jakarta malah tengah ditahan karena mengambil ponsel milik pelanggan restoran.
Pemuda itu berjalan menyusuri trotoar jalan, tanpa tahu harus ke mana. Lelah berjalan, Tangguh melihat warung kopi. Ia berniat untuk beristirahat sejenak di sana sambil memikirkan harus ke mana ia malam ini.
Tangguh yang menggendong tas ranselnya di punggung, kini memindahkannya ke depan. Ia membuka risleting tas untuk mengambil dompet.
"Eh, ke mana?" pekik Tangguh tertahan saat benda yang ia cari tidak ketemu. Wajahnya semakin pucat dan ketakutan. Tangguh berjalan ke pinggir ruko yang tutup. Ia mengeluarkan semua isi tasnya untuk memastikan lagi bahwa dompetnya mungkin terselip.
"Ya ampun," gumam Tangguh terduduk pasrah saat mendapati tasnya yang robek seperti disayat pisau tajam. Disitulah ia sadar, bahwa ia kecopetan.
Brug!
Brug!Tiba-tiba saja, matanya menangkap kegaduhan yang terjadi di depan sebuah anjungan tunai mandiri. Seorang pria setengah tua tengah mempertahankan tasnya dari seorang lelaki tinggi besar yang tengah memakai helm. Bahkan lelaki itu hendak menusuk pria tua itu berkali-kali.
Tangguh bangun dari duduknya, lalu melepas sepatunya. Ada sebuah batu bata yang tinggal separuh tergeletak di ujung kakinya. Tangguh mengambil batu itu, sambil berlari dengan kaki telanjangnya dan
Brak!
Bugh!Tangguh melemparkan batu itu ke punggung si pria, hingga pria itu tersungkur. Tangguh maju dan menendang pria itu lagi tepat di selang*angannya, hingga pria itu menjerit kesakitan. Tangguh mengambil cepat tas milik lelaki setengah baya itu, lalu melemparkan pada pemiliknya.
Perampok itu berlari ketakutan setelah aksinya gagal. Napas Tangguh terengah-engah, antara rasa takut, sekaligus puas. Kekesalannya karena kehilangan dompet seakan ia tumpahkan pada lelaki perampok itu.
"Kamu gak papa, Dek? Ya Tuhan, terima kasih. Kalau tidak ada kamu, mungkin saya sudah mati," ujar pria itu dengan wajah penuh kelegaan. Lengan pria itu berdarah dan dia meringis kesakitan.
"Anda berdarah, Pak."
"Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Terima kasih banyak."
"Syukurlah, saya permisi, Pak. Hati-hati di jalan." Belum lagi lelaki tua itu menyahut, Tangguh sudah kembali berlari untuk menghampiri tasnya yang ia tinggalkan di emperan toko. Ia duduk sambil termenung, lalu tak lama kemudian, memejamkan mata.
"Anak muda, kamu sedang apa di sini?" tanya pria itu menghampiri Tangguh.
"Heh, saya berniat bekerja di Jakarta, Pak. Eh, teman saya yang mau memasukkan saya kerja malah berurusan dengan polisi. Sekarang, saya mau balik kampung saja dan saya baru sadar, kalau dompet saya dicopet. Jadi ...."
"Apa keahlianmu?" tanya lelaki tua itu sedikit penasaran. Sambil menekan tangannya yang berdarah, ia duduk di samping Tangguh.
"Mesin dan bersawah." Lelaki itu tersenyum senang, lalu merangkul pundak Tangguh.
"Kamu mau tidak bekerja bersama saya? Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih, karena kamu telah menolong saya." Tangguh menoleh pada lelaki itu dan menatapnya dengan antusias.
"Pekerjaan apa, Pak?"
"Saya kolektor mobil-mobil lama. Ada yang masih bisa dipakai, ada yang tidak. Montir saya pulang kampung mengundurkan diri dan saya belum dapat montir baru. Apa kamu bersedia jadi montir saya. Kamu bisa tinggal di bengkel yang ada di belakang rumah saya. Yah, tidak besar, tetapi cukup sebagai tempat kamu beristirahat. Bagaimana?" Tentu itu saja ini tawaran menggiurkan bagi Tangguh, apalagi saat ini ia sendiri tidak tahu harus ke mana dan jika harus pulang kampung, tidak memiliki uang yang cukup.
Tangguh tak langsung menjawab. Pemuda itu nampak ragu.
"Ayolah, kamu coba dulu. Kalau nanti tidak berhasil, kamu akan saya berikan ongkos untuk pulang kampung. Bagaimana?"
"Baiklah, Pak, terima kasih banyak."
Kini Tangguh sudah berada di dalam mobil pick up milik Pak Steven;itu nama yang disebutkan lelaki tua itu. Sepertinya memang keturunan bule, karena matanya saja berwarna biru dan kulit lelaki tua itu sangat putih. Walaupun Steven fasih berbahasa Indonesia, tetapi wajah semi kebarat-baratannya tidak bisa disembunyikan.
"Pak Steve orang bule ya?" tanya Tangguh sambil tersenyum samar.
"Iya, Bapak saya Belanda, ibu saya Jawa. Saya lahir dan besar di sini, jadi udah tidak nampak seperti bule lagi. Apalagi istri saya orang sini asli, jadi ... saya sudah sama seperti orang pribumi lainnya," terang Steve sambil terus fokus menyetir mobilnya.
"Oh, begitu. Anak Bapak ada berapa?" tanya Tangguh lagi.
"Saya tidak memiliki anak. Sudah sepuluh tahun menikah, tapi belum dikaruniai anak. Mungkin belum jodohnya punya anak. Gak papa, yang penting hari tua saya sudah ada istri cantik yang mengurus."
"Oh, begitu." Tangguh kembali menggut-manggut paham.
Mobil masuk ke pekarangan rumah besar dan sedikit kuno milik Pak Stev. Di depan teras rumahnya, nampak seorang wanita berdiri di dekat pilar besar dengan gaun tidur yang tipis yang sedikit mengkilap.
"Itu istri saya, cantik'kan?"
"Eh, gelap, Pak. Saya belum terlalu jelas melihat wajahnya," sahut Tangguh sambil tersenyum. Steve tertawa sambil menepuk pundak Tangguh.
"Bisa saja kamu ini!" Mobil berhenti, dan wanita tadi berlari menghampiri mobil suaminya.
"Darimana saja, Pa? Ya ampun, tangan Papa kenapa? Papa terluka? Papa dirampok?" cecar wanita itu tanpa mempedulikan kehadiran Tangguh.
"Aku tidak apa-apa, Sayang. Pemuda ini yang telah menolongku." Steve mencium kilat bibir istrinya, lalu menunjuk ke arah Tangguh yang tengah tergugu.
"Tangguh, kenalkan ini istri cantik saya, Melinda. Sayang, kenalkan ini Tangguh. Jika tidak ada dia, pasti kamu sudah jadi janda rebutan orang sekampung." Tangguh mengulurkan tangannya dengan kaku, dan disambut oleh Melinda dengan senyuman tipis. Tangguh merasa wanita di depannya ini bukan sekedar cantik, tapi seperti boneka Barbie.
Sungguh di luar perkiraannya, istri cantik yang dimaksud Steve, di dalam otaknya adalah ibu-ibu bertubuh tambun dan berkulit hitam. Ini malah masih sangat muda, mungkin lebih tua beberapa tahun saja darinya.
"Tangguh, Bu," ujar Tangguh sambil mencium punggung tangan Melinda sebagai tanda hormat. Kaki Tangguh hampir saja berubah jadi jeli, saat mencium aroma sangat wangi, tetapi lembut, punggung tangan istri Steve.
"Melinda," katanya dengan suara datar, tetapi disertai senyuman.
"Sayang, ambilkan selimut untuk Tangguh. Beberapa hari ini, ia mungkin akan tinggal di sini untuk membantuku mengurus bengkel. Apa kamu tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak." Ekor mata Melinda melirik Tangguh, hingga pemuda itu merasa sangat canggung.
"Aku jadi tidak kesepian lagi saat Papa pergi berbelanja barang-barang aneh untuk bengkel itu." Stev tertawa renyah sambil merangkul mesra pundak istrinya. Keduanya berbalik badan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Tangguh menelan Saliva, lalu dengan kilat membuang pandangannya dari Melinda. Pakaian yang dikenakan wanita itu benar-benar membuat otak lelaki manapun pasti menjelajah ke alam gaib.
"Tangguh, kenapa bengong? Sini, masuk dulu," seru Steve sambil menggerakkan tangannya meminta Tangguh untuk ikut masuk ke dalam rumah.
Bersambung_
"Aah... yah... yah.... " Tangguh menjatuhkan tubuhnya di samping Linda. Ia tidak bisa melukiskan kata malu pada istrinya mengenai kekuatan di ranjangnya yang hanya bisa bertahan lima menit saja. Linda belum merasakan apa-apa, hanya nikmat pembuka saja, tetapi dirinya malah sudah selesai. Harga dirinya sebagai lelaki benar-benar sedang dipertaruhkan."Tidak apa-apa, Yah. Ibu gak papa. Ini sudah lebih baik dari bulan lalu yang benar-benar hanya dua menit saja." Linda menyentuh pundak polos suaminya. Mendekatkan tubuhnya agar berada dalam pelukan suaminya."Ini sudah dua tahun, Sayang, dan aku hanya bisa bertahan lima menit saja. Ya ampun, aku bingung harus bagaimana lagi," suara Tangguh terdengar begitu getir."Aku belum bisa mengisi rahim kamu dengan anak. Padahal si Kembar sudah ingin adik. Aku minta maaf ya," lirih Tangguh dengan mata berkaca-kaca."Tolong jangan tinggalkan aku karena lima menit ini. Aku tidak mau, Linda, aku bena
"Selamat untuk kalian berdua," kata Darwis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Awalnya Tangguh ragu untuk menyambut tangan itu, tetapi karena Linda mengangguk pelan, maka Tangguh pun akhirnya menerima jabat tangan dari Darwis."Apa Linda belum menceritakan semuanya padamu? Wajah calon pengantin pria sepertinya begitu marah," sindir Darwis sambil mengulum senyum. Matanya tanpa sengaja menoleh pada dua anak lelaki yang baru saja naik ke atas pelaminan yang masing-masing tengah memegang cup es krim."Apa mereka yang waktu itu di perutmu?" tanya Darwis lagi sambil berbisik. Tangguh mengepalkan tangan, ingin sekali ia memukul lengan wajah Darwis hingga babak-belur, tetapi Linda kembali menahannya dengan mengusap punggung suaminya.Darwis berjalan menghampiri si Kembar, lalu ikut berjongkok di depan mereka."Halo, kenalkan, ini Opa Darwis. Kami siapa namanya?""Tarung, Opa.""Kalau kamu?""Toliq, Opa." Darwis terta
Tangguh ternyata membuktikan ucapannya. Tanggal pernikahan diedit menjadi lebih cepat dua Minggu dari yang ditentukan sejak awal. Semua orang menjadi super sibuk, termasuk Linda dan keluarga besarnya.Seperti hari ini, Linda tengah membagikan belasan batik dan gaun cantik untuk panitia acara pernikahannya. Tangguh yang menyiapkan semuanya, Linda hanya bagian membagikan dan mengatur siapa-siapa saja yang mendapat seragam.Thoriq dan Tarung duduk terdiam di depan televisi, di tengah keriuhan keluarga besar ibunya. Mereka baru saja dijemput pulang sekolah oleh salah satu saudara Linda, karena Linda sudah tidak diperbolehkan keluar rumah oleh Mamanya."Tarung, Thoriq, kenapa?" tanya Linda yang terheran melihat kedua anaknya murung, tetapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu."Kapan ayah Tarung dan Thoriq pulang? Apa nanti saat Ibu menikah lagi, ayah Tarung baru pulang kerja?" tanya Tarung dengan mata berkaca-kaca. Linda menghela nap
Walau dirinya bukanlah gadis, tetap saja mama dari Linda menginginkan anaknya untuk tidak tinggal di rumah Tangguh sampai keduanya sah sebagai suami istri.Ini adalah hari kelima Linda dan Tangguh tidak tinggal berdekatan. Keduanya sesekali bertemu karena ada urusan yang berkaitan dengan mengurus acara pernikahan, sekaligus sekolah untuk si Kembar.Seperti pagi ini, Tarung dan Thoriq sudah rapi dengan pakaian baju kaus, celana jeans, dan juga sepatu boot. Tak lupa tas ransel bergambar Spiderman sudah berada di punggung keduanya.Hari ini adalah hari pertama si Kembar masuk sekolah. Keduanya bersekolah di sekolah alam yang tidak mengenakan seragam. Tangguh sengaja memilih sekolah yang sedikit berbeda dengan yang umum, agar anaknya enjoy bermain sambil belajar."Kamu beneran gak mau sarapan?" tanya Linda pada Tangguh yang sudah duduk di teras rumah orang tua Linda sambil menyesap tehnya."Nggak, belum kepingin. Nanti saja samp
Pertemuan mengharukan pun tidak terelakkan begitu Linda sampai di rumah orang tuanya. Mama dari Linda bahkan pingsan karena terkejut melihat putri yang sudah lama menghilang, kini datang ke rumahnya dengan membawa anak kembar.Satu hal yang membuat keduanya semakin bertangisan, yaitu berita wafatnya ayah dari Linda yang baru saja enam bulan yang lalu."Maafkan Linda, Ma, maaf." Hanya itu yang bisa ia ucapkan berkali-kali di depan mamanya yang terbaring lemas karena pingsan. Tangguh sama sekali tidak berani mengeluarkan suara, walau ia ikut kaget dengan kabar ayah Linda yang sudah tiada."Mbak, ini!" Linda menerima minyak kayu putih dari tangan adik perempuannya. Dengan cekatan dan sangat hati-hati, Linda mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan juga kening mamanya.Wanita paruh baya itu akhirnya membuka mata dengan perlahan. Linda menyuapi sendok demi sendok teh manis hangat kepada Sang mama."Kami darimana saja?" tanyanya de
Pagi hari, keadaan rumah menjadi begitu semarak sejak hadirnya Tarung dan Thoriq. Alicia; anak dari Rucita pun sangat senang dengan dua saudara lelakinya yang berwajah sama. Sering sekali Alicia atau yang biasanya dipanggil Via, tertukar saat bermain dengan si Kembar."Abang Talung dan Abang Tolik kenapa mukanya sama sih, Mom?" tanya Cia pada Rucita yang ia panggil 'mommy'"Karena mereka kembar, Sayang. Lahirnya bersamaan keluar dari perut Uak Linda," jawab Rucita bijak. Ia tengah duduk di teras rumah Tangguh dan sedang mengepang rambut panjang putrinya."Jadi meleka antli pas mau kelual ya, Mom?" (Jadi mereka antre pas mau keluar ya, Mom) Rucita tergelak mendengar celotehan Cia."Iya, harus antre. Biar perut Uak Linda gak sakit," jawab Rucita membenarkan. Cia hanya manggut-manggut paham."Sudah rapi, Cia, sekarang Cia boleh main sama Abang kembar," kata Rucita pada putrinya. Gadis kecil itu pun bergabung dengan kakak sepupunya di depan kolam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments