Share

Bab 3

Sinar mentari menerobos cela jendela kamar. Mas Alvan sedikit terusik hingga menarik selimut menutupi kepala. Jarum jam sudah menujukkan angka tujuh, tapi suamiku masih enggan beranjak dari ranjang empuk.

Mas Alvan memang sudah bangun untuk shalat subuh tapi tidur lagi dan sampai sekarang belum juga membuka mata. Katanya semalam ingin dinas ke luar kota. Tapi kok masih tidur saja.

Kugelengkan kepala melihat kebiasaan buruk suamiku. Berulang kali ku nasehati tapi tetap saja diulangi lagi. Dan lama-lama aku lelah sendiri.

Kumasukkan kemeja dan keperluan lain di dalam koper. Kuperiksa lagi semua barang agar tak ada satu pun yang tertinggal. Kasihan kan jika ada yang tertinggal.

"Mas ...." Ku elus perlahan pipinya. Kukecup kening agar ia segera membuka mata. Ini adalah kebiasaan kami saat membangunkan pasangan.

Mas Alvan mengeliat lalu membuka matanya perlahan. Senyum merekah tergambar jelas di bibirnya. Tetap mempesona meski belum mandi.

"Morning sayang," ucapnya sambil mengecup mesra keningku.

Suamiku begitu romantis dan hangat. Aku menjadi malu sendiri karena telah berburuk sangka kepadanya. Rasa jenuh menunggu hadirnya sang buah hati membuatku mudah terpancing emosi. Untung Mas Alvan begitu sabar menghadapiku. Aku sangat beruntung memiliki suami seperti dia.

"Sudah jam tujuh, mas. Katanya mau ke luar kota tapi jam segini baru bangun."

"Kalau tidur ditemani kamu rasanya betah sampai tidak mau bangun, he he he." Pipiku memerah mendengar ucapannya. Mas Alvan memang pandai membuat hati istrinya berbunga-bunga. Ini yang membuat aku semakin jatuh cinta padanya.

"Udah ah gombalnya! Mas mandi dulu gih!" Ku tarik tubuhnya hingga selimut terjatuh di atas lantai.

Kuambil benda yang digunakan untuk menutup tubuh Mas Alvan. Saat berdiri, suamiku justru memeluk tubuhku dari belakang. Hangat saat tubuhnya menempel di tubuhku hingga membuat jantung berdetak tak menentu.

Kami memang sudah enam tahun menjalani biduk rumah tangga. Namun jantung masih berdetak tak menentu kala tubuh kami menyatu. Seakan ada aliran listrik yang menempel di sekujur tubuh. Sudah persis anak ABG sedang pacaran saja.

Senyum mengembang kala Mas Alvan memperlakukan diriku bak permaisuri. Hingga tak sengaja aku melihat pantulan diri di dalam cermin.

Senyum yang sempat mengembang sirna sudah.

Aku dan Mas Alvan bak angka sepuluh. Mas Alvan angka satu sedang diriku angka nol. Sungguh bukan pasangan yang serasi.

Teringat kembali penolakan Mas Alvan saat aku ingin ikut ke luar kota. Apa karena badanku yang gembul hingga membuat Mas Alvan malu mengajakku.

Bulir bening nanti asin jatuh membasahi pipi. Aku merasa tak pantas bersanding dengan Mas Alvan. Aku sudah tak secantik dulu. Badanku sudah melar seperti ibu anak dia. Padahal kenyataannya aku belum dikaruniai seorang anak.

"Kenapa kamu menangis, Al?" Mas Alvan membalikkan tubuhku. Kedua tangannya dengan sigap menghapus air mata yang menempel di pipi.

"Aku malu Mas, badanku melar begini. Rasanya tak pantas jalan berdua dengan kamu."

"Siapa yang bilang? Kamu itu cantik. Ini namanya tidak gendut tapi seksi sayang. Mas, lebih suka kamu seperti ini. Kalau kamu kurus orang-orang mengira kamu tidak bahagia hidup bersama Mas." Kupeluk erat tubuhnya.

Terima kasih Tuhan, Engkau kirimkan suami berhati malaikat seperti Mas Alvan. Aku sangat bahagia memilikinya.

"Mas mandi dulu ya, nanti ketinggalan pesawat lagi." Ku lepas tanganku yang menempel di tubuhnya walau rasanya enggan.

***

Kuletakkan roti dan selain di atas meja. Tak lupa secangkir kopi untuk Mas Alvan. Ini adalah menu sarapan suamiku. Roti dengan selai kacang atau nanas. Mas Alvan lebih menyukai sarapan roti dibanding nasi. Berbeda denganku yang suka sarapan nasi. Rasanya kurang afdol jika sarapan tanpa nasi.

Setiap orang memiliki selera dan kesukaan yang berbeda. Begitu pula dengan aku dan Mas Alvan. Seperti menu sarapan saja sudah berbeda belum kesukaan yang lain. Aku lebih suka menonton film romantis sedang Mas Alvan menyukai film horor.

Kalau dipikir-pikir perbedaan kami memang banyak. Namun bukan berarti banyaknya perbedaan membuat kami menjadi jauh. Tapi justru sebaliknya, banyaknya perbedaan kian membuat kami menghargai perasaan satu dan lainnya. Terbukti sampai detik ini kami masih hidup harmonis.

"Tumben sarapan roti?" tanya Mas Alvan sambil menjatuhkan bobot di sampingku.

"Pengen saja sekali-kali sarapannya seperti Mas." Kugigit roti dengan selain coklat di dalamnya.

"Nanti kalau kelaparan gimana hayo?" Ledeknya lalu mengoleskan selai kacang di atas roti tawar.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan suamiku. Mas Alvan memang tahu segalanya tentangku. Hal sepele seperti ini saja dia begitu peka. Apalagi hal besar lainnya.

"Nanti makan lagi mas," ucapku kemudian. Mesti aku belum tahu akan makan lagi atau tidak . Bayangan tubuhku seperti angka nol kembali mengusik ku. Ah, sepertinya aku harus mengurangi berat badan agar lebih menarik lagi

Tiing...

Satu notifikasi pesan masuk di ponsel Mas Alvan. Sambil mengunyah Mas Alvan membuka ponsel dengan tangan kirinya. Senyum mengembang membaca pesan tersebut. Entah dengan siapa dia berkirim pesan.

Berkali-kali ponsel suamiku berbunyi. Ia masih saja sibuk dengan ponsel hingga mengabaikan diriku.

"Mas Alvan berkirim pesan dengan siapa sih?" batinku bertanya-tanya.

Tawa renyah keluar dari mulut Mas Alvan. Rasa penasaran membuatku ingin bertanya dengan siapa ia berkirim pesan w******p hingga membuatnya begitu bahagia. Wajahnya seperti anak muda yang sedang kasmaran. Jujur aku cemburu. Cemburu dengan sebuah ponsel.

"Pesan dari siapa Mas? Sampai ketawa gitu?" tanyaku penasaran.

"Ini pesan dari teman SMP, dia mengirim gambar lucu hingga membuatku tertawa begini," jawabnya dengan mata tetap fokus di layar ponsel.

Entah kenapa ada rasa tak percaya dengan ucapannya. Namun ku coba menepis segala prasangka buruk. Aku tak mau kejadian paket bayi terulang kembali. Sudah cukup aku menuduh suamiku yang bukan-bukan.

Kepercayaan adalah kunci langengnya sebuah hubungan. Dan aku akan percaya pada suamiku.

"Mau berangkat sekarang, Mas?" tanyaku setelah kami selesai sarapan.

"Iya sayang, takut terlambat. Mas ambil koper dulu, kamu tunggu di sini," ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Bi Ati lewat sambil membawa kantung plastik berisi sayuran segar. Beliau pasti berbelanja di abang sayur yang mangkal tak jauh dari rumah.

Astaga, kenapa aku bisa lupa untuk mentrasfer gaji bi Ati. Bi Ati adalah pembantu rumah tangga kami. Dia memang minta gajinya ditansfer agar lebih mudah saat ingin mengirimkan uang ke kampung halaman. Beliau seorang janda dengan empat orang anak. Dua orang anak sudah menikah dan dua lagi masih duduk di bangku sekolah atas kelas satu dan tiga.

Kasihan jika melihat kehidupan beliau. Ini juga salah satu alasan aku memilihnya sebagai asisten rumah tangga di sini. Beliau adalah tetangga Bi Asih, asisten rumah tangga mama.

Takut kalau aku sampai lupa lagi, ku langkahkan kaki menuju kamar yang terletak di lantai atas. Ku jalan perlahan, sekalian mengejutkan Mas Alvan. Ia pasti terkejut saat tiba-tiba aku sudah ada di belakangnya.

Pintu kamar sedikit terbuka, langkahku kian mendekat.

"Kamu tenang saja, si gembrot Alia tak akan tahu. Tapi lain kali jangan kirim pakaian bayi atau rencana kita akan gagal."

DEG

Ku urungkan niat masuk ke kamar. Tubuhku lemas seakan tak ada tulang di dalamnya. Bulir bening mengalir tanpa bisa ku bendung.Ku cubit tangan, berharap semua hanya mimpi tapi kulit tangan terasa sakit. Ya Tuhan, ini bukan mimpi.

Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku.

Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku?

Apa yang akan dilakukan Alia ya?

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
jln ceritanya biasa ...perempuan yg terlalu percaya akibat terlalu cints
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
diet keras Alya.....ayo semangat ...
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Hajar aja laki2 ky gitu ....ngatain gembrot lgi.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status