Share

Jawaban

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-29 20:54:30

Uhuuk ... Uhuuk....

Mas Alvan batuk mendengar pertanyaan terakhir yang kukatakan.

Apa benar kamu selingkuh Mas? Kenapa kamu begitu gugup saat ku tanyakan hal itu?

Sakit jika itu benar terjadi. Meski aku sangat mencintaimu tapi jika kamu berkhianat aku tak akan segan-segan meninggalkanmu.

"Jawab Mas! Kenapa kamu diam saja!" Kunaikkan nada bicaraku. Kesal, suamiku hanya diam mematung.

"I-itu sayang, Mas ...." Mas Alvan terdiam. Dia seperti tengah merangkai sebuah kalimat. Aku yakin dia hanya mencari alasan saja.

"Sini Mas, jelaskan." Mas Alvan menepuk ranjang di sebelahnya. Ku geser tubuhku mendekatinya.

Mas Alvan menarik tubuhku hingga kepala menempel tepat di dada bidangnya. Tak ada jarak di antara kami membuat aku dapat mendengar detak jantung suamiku dengan jelas.

Dulu, ini adalah posisi ternyaman saat bersamanya. Aku bisa terlelap hanya dengan menempelkan tubuh di dada bidangnya. Namun hari ini terasa hambar karena sebuah paket baju bayi. Seakan ada tembok pembatas di antara kami.

"Kenapa mas membeli pakaian bayi? Mas tahu kan barang itu membuatku begitu sensitif," ucapku sedikit melunak.

Aku harus membicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Aku tak mau, hanya karena paket baju bayi kami harus bertengkar.

"Kamu mau tahu apa alasanku membeli baju bayi ini?" Tangan Mas Alvan mengelus pelan rambutku. Seketika amarahku menguap begitu saja. Suamiku memang tahu bagaimana cara melunakkan hatiku.

Sepertinya kecurigaan ku terlalu berlebihan. Buktinya Mas Alvan masih begitu hangat denganku. Dia selalu memperlakukan ku dengan lembut. Kenapa juga aku bisa curiga seperti ini.

"Apa alasannya, Mas?" Ku ubah posisi dudukku. Kaki ku luruskan di atas ranjang dengan kepala berbantalkan paha suamiku. Dari sini dapat ku lihat berapa tampan suamiku.

Mas Alvan menghembuskan nafas perlahan. Kemudian matanya menatapku, begitu hangat. Sungguh aku selalu merindukan saat-saat seperti ini.

"Teman Mas pernah bilang, katanya jika seseorang ingin cepat diberi keturunan dia harus beli pakaian bayi."

Menaikkan alis, aku tak mengerti dengan maksud ucapan Mas Alvan. Apa hubungannya membeli pakaian bayi dengan bisa hamil? Aneh.

"Maksudnya Mas? Aku kok jadi bingung sendiri ya." Mas Alvan sedikit gugup dengan ucapanku. Tiba-tiba ada rasa ragu menelusup di hati. Benarkah ucapannya?

"Seperti saat mau memancing kan harus ada cacing untuk bisa mendapatkan ikan. Nah begitu juga dengan hamil. Harus beli pakaian bayi dulu baru bisa hamil. Seperti pancingan agar cepat hamil, sayang."

Setahuku bukan membeli pakaian bayi untuk bisa lekas hamil. Tapi mengadopsi anak agar bisa menjadi pancingan. Ini Mas Alvan yang salah atau aku yang tidak tahu? Tapi aneh juga ucapan Mas Alvan. Mencurigakan.

"Bukannya adopsi anak untuk pancingan agar cepat hamil ya Mas? Bukan justru beli pakaian bayi."

"Terserah lah kamu percaya atau tidak. Orang temanku bilangnya begitu. Makannya aku nurut. Ini semua agar kita cepat mendapatkan momongan." Mas Alvan mengganti pahanya dengan bantal lalu pergi meninggalkanku. Mas Alvan marah.

Ya Tuhan....

Apa aku sudah keterlaluan bersikap curiga pada suamiku sendiri. Padahal selama ini dia sangat menyayangiku. Tak pernah sedikit pun dia bersikap kasar padaku.

Mas Alvan memang mendambakan seorang anak. Namun dia tak pernah memintaku untuk lekas hamil. Karena dia yakin suatu saat pasti Allah memberikan bayi kecil di antara kami.

Mungkin perasaan inginnya terlalu besar hingga ide konyol teman pun dia lakukan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kenapa bisa aku berpikir yang tidak-tidak padanya.

Maaf, maafkan aku Mas!

Segera aku bangun. Berjalan sambil mengikat rambut sekenanya. Aku harus mencari Mas Alvan dan meminta maaf kepadanya.

Berjalan perlahan menuruni anak tangga. Mata awas mencari sosok lelaki yang menemaniku selama enam tahun ini. Di dapur kosong, ruang keluarga juga tak ada. Apa mungkin Mas Alvan ada di teras depan?

"Mas, Mas Alvan. Kamu di mana?" panggil ku sambil berjalan ke teras depan. Nihil, tak ku temukan suamiku. Mobil pun masih terparkir di halaman. Lalu di mana suamiku?

Bulir bening nan hangat mengalir dari sudut netra. Tak pernah Mas Alvan pergi tanpa pamit apalagi saat marah begini. Maafkan aku Mas, maaf.

Aku terisak di ruang keluarga. Sesekali mulut ini memanggil nama Mas Alvan. Namun tak pernah ada jawaban.

"Maaf, Mas... Mmm ...," ucapku sambil terisak.

"Kamu kenapa nangis, sayang?" Suara yang sangat kukenal. Mas Alvan.

Segera aku bardiri lalu berlari ke arah suamiku. Kupeluk erat tubuhnya sambil terus terisak.

"Maaf Mas, maafkan aku!"

"Kenapa harus minta maaf, kamu tidak salah. Sudah jangan menangis!" Tangan kekarnya menghapus bulir bening yang membasahi pipi.

"Maaf telah menuduhmu yang bukan-bukan. Aku takut kamu selingkuh karena aku belum bisa memberikanmu keturunan." Mas Alvan justru tersenyum mendengar ucapanku. Di bawa tubuhku dalam pelukannya.

"Mas tak akan pernah selingkuh hanya karena belum dikaruniai keturunan. Mas sangat mencintai kamu Al." Ku eratkan pelukanku. Hangat pelukan memenuhi tubuhku.

"Ayo makan, Mas sudah lapar. Kalau kamu peluk kapan dong makannya Al?" Mas Alvan mencubit pelan hidung mungilku.

Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Sudah seperti anak abg saja. Ya, mungkin ini yang dinamakan budak cinta alias bucin.

***

Kami duduk di ruang keluarga sambil menyaksikan pertandingan sepak bola kesukaan Mas Alvan. Sebenarnya aku tak terlalu suka menonton pertandingan bola. Aku lebih suka menonton pertandingan bulu tangkis.

Tangan mengambil kacang telur di atas toples. Makan cemilan adalah rutinitas wajib saat menonton televisi. Bagaimana tubuhku tidak mengembang jika aku makan di malam hari.

Pernah suatu hari aku mengeluh berat badanku yang selalu geser ke kanan. Namun Mas Alvan justru bilang jika aku seksi jadi tak usah menurunkan berat badan. Katanya gemuk tanda bahagia. Ya, memang benar aku sangat bahagia hidup bersamanya.

"Yang," panggilnya sambil menatapku.

"Iya Mas, ada apa?"

"Besok Mas harus keluar kota. Kamu tolong siapkan keperluan Mas, ya."

"Urusan bisnis ya Mas? Aku boleh ikut?" Mas Alvan terlihat tegang.

Apa dia malu jika aku ikut dengannya. Apa karena badanku yang bengkak hingga ia tak pernah mengajakku pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Padahal kita bisa sekalian honeymoon.

"Bukannya tak boleh sayang. Mas takut kamu bosan kalau menunggun di hotel sendirian." Mas Alvan mengelus rambutku perlahan.

"Mas malu ya?" Kutekut wajahku.

Mas Alvan menatap mataku lekat. Seakan menyelami isi pikiranku.

"Mas tidak mau kamu kecapekan. Kata dokter tidak boleh capek agar cepat diberi momongan."

Jawaban yang selalu tak bisa ku bantah. Entah itu benar atau alasan saja. Karena aku tak bisa membedakan kejujuran atau dusta dari mulut suamiku. Aku seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ai Siti Rahmayati
ternyata dibohongun
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Bodohnya kamu
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bego bgt percaya gitu aj dah jelas ngomong aj gugup2 gitu malah percaya. W mah ndak ngerti ms org nangis mmm. Ada jg hiks hiks msh mending
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status