Share

Dia orangnya

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-29 21:06:53

Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku.

Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku?

Aku termenung beberapa saat. Tak tahu harus bagaimana? Duniaku seakan runtuh seketika. Ingin rasanya ku maki dan tampar Mas Alvan. Namun urung ku lakukan. Aku harus mencari kebenaran di balik paket baju bayi itu.

Sejujurnya aku masih tak percaya jika suami yang kubanggakan begitu tega. Aku masih berharap jika ini mimpi dan saat terbangun semua akan kembali baik-baik saja. Namun sayang ini adalah sebuah kenyataan. Telingaku masih berfungsi dengan baik. Tak mungkin aku salah dengar. Suami yang kupuja ternyata menusuk dari belakang.

Remuk redam hatiku. Kalau saja bukan suamiku pasti rasanya tak sesakit ini.

Aku masih bersandar di dinding. Sekuat tenaga aku berdiri tegak. Ku hapus air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi.

Aku tak akan bertanya apa pun kepada Mas Alvan. Karena dia pasti akan mencari alasan seperti paket baju kemarin. Aku akan mencari sendiri kebenarannya. Dan aku masih berharap Mas Alvan tak seperti yang ku bayangkan.

Apa semua ini berhubungan dengan paket baju itu? Apa ini alasan Mas Alvan tak memperbolehkan aku ikut ke luar kota. Pertanyaan itu kembali memenuhi pikiranku.

Ya, Tuhan! Apa yang harus ku lakukan?

"Alia!" Mata Mas Alvan membuat sempurna saat melihatku ada di balik pintu. Wajahnya menjadi pias dan sedikit gugup.

"Iya mas," jawabku sebiasa mungkin. Meski dalam hati ada rasa yang bergejolak hebat. Namun sebisa mungkin kutahan semuanya. Aku tak ingin semuanya berakhir dengan dusta dari suamiku lagi.

"Sudah lama di sini?" tanyanya gugup.

"Baru saja Mas, aku mau ambil ponsel. Gaji bik Ati belum aku kirim."

"Kamu mendengar percakapan Mas di telepon?" tanyanya dengan raut wajah tegang.

Aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan di belakangku,Mas. Tak mungkin kamu tegang jika tak ada apa-apa.

"Memang Mas telepon dengan siapa? Aku baru saja sampai kok, Mas. Mau masuk, Mas sudah keluar duluan."

Mas Alvan menghembuskan nafas perlahan, terlihat jelas jika ia bernafas lega. Dia pikir aku tak mendengar percakapannya. Tapi sayang, kamu salah Mas. Aku sudah mendengar semuanya. Tunggu saatnya, kamu akan tahu siapa aku sebenarnya. Kamu salah memilih lawan Mas Alvan Alfian.

Kulangkahkan kaki masuk ke kamar. Tak kuperdulikan Mas Alvan yang masih mematung di depan pintu.

Kuambil benda pipih yang ada di atas nakas. Segera kukirim uang ke rekening bik Ati. Aku tahu ia menunggu jatah bulanan ini. Ini sudah telat dua hari dari dari tanggal gajian.

"Kok masih di situ, mas?" Mas Alvan justru menggaruk kepala yang tak gatal.

"Mas menunggu kamu, untuk anterin ke depan."

Dulu ini adalah permintaan indah. Hanya dengan meminta mengantar ke depan, aku seperti berarti di mata suamiku. Namun setelah mendengar perkataan di telepon tadi. Aku ragu, apakah aku berarti atau hanya untuk menutupi keburukannya.

Ya Tuhan, rasa percaya ku perlahan terkikis. Mas Alvan, kenapa kamu membohongiku?

Ku angkat tubuhku lalu berjalan mendekati Mas Alvan. Lelaki di sampingku itu segera menari koper menuju pintu depan. Aku berjalan di sampingnya dengan mulut membisu. Aku tak mampu berbicara. Takut tak mampu mengendalikan emosi dan semuanya hancur berantakan.

"Mas berangkat ya, sayang." Mas Alvan mengulurkan tangannya.

Ada rasa enggan untuk mencium tangannya. Namun harus tetap ku lakukan untuk menghilangkan kecurigaannya padaku.

"Baik-baik di rumah ya sayang," ucapnya lalu mencium keningku.

Aku hanya diam tak menjawab ucapannya. Mas Alvan melambaikan tanganku balas dengan sebuah senyuman kecut.

Setelah memastikan Mas Alvan pergi, kembali ku langkahkan kaki menuju kamar. Luruh tubuhku di lantai. Air mata yang sempat ku tahan akhirnya pecah juga.

Sesak memenuhi rongga dada. Kenangan indah bersama Mas Alvan menari-nari di pelupuk mata. Aku tak pernah menyangka lelaki yang begitu ku puja kini justru menorehkan sebuah luka.

Apa kurangnya diri ini? Kuangkat derajatnya, ku berikan cinta tulus, ku turuti semua permintaannya. Tapi kenapa dia balas dengan duka dan lara.

Tak berartikah pengorbanan ku selama ini? Lantas apa arti kasih sayangnya padaku selama ini?

Ya Tuhan, apa yang harus ku lakukan.

"Rencana kita akan gagal."

Kalimat yang sempat diucapkan Mas Alvan kembali terngiang di telinga. Rencana apa yang Mas Alvan maksud? Apa ini ada hubungannya dengan paket baju bayi itu?

Perlahan ku angkat tubuh. Kuhapus air mata yang menempel di pipi.

"Aku harus kuat! Aku tidak boleh menangis!" batinku.

Aku harus segera menyelidiki semuanya. Jika Mas Alvan terbukti berkhianat, aku tak akan pernah memaafkannya. Akan ku buat dia menderita!

Duduk di atas ranjang sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Dari mana aku mencari bukti pengkhianatan suamiku?

Ku buka almari, mencari sesuatu yang bisa ku jadikan petunjuk untuk menguak kenyataan pahit ini. Satu persatu pakaian Mas Alvan ku keluarkan. Nihil. Tak ada satu petunjuk di almari pakaian.

Aku belum menyerah, ku buka setiap laci yang ada di bawah meja rias. Namun tak juga ku temukan sebuah petunjuk. Pandai sekali Mas Alvan menyembunyikan kebusukannya.

Argghh!

Kepalaku seakan mau pecah mencari petunjuk. Tuhan, berilah aku petunjuk. Aku ingin membuktikan kecurangan Mas Alvan.

Duduk di kursi depan meja rias sambil memikirkan rencana selanjutnya. Ku tatap langit- langit kamar hingga tak sengaja ku lihat paper bag berwarna merah di atas almari.

Kenapa tidak dari tadi ku ingat benda itu. Aku seger berdiri. Mencoba merai paper bag tapi tak bisa. Kugeser perlahan kursi hingga menempel almari. Dengan hati-hati aku naik kursi untuk mengambil benda berwarna merah itu.

Aku harus segera ke toko yang menjual pakaian bayi ini. Aku harus mendapatkan bukti pengkhianatan Mas Alvan.

***

Aku turun dari mobil dengan membawa paper bag dari toko ini. Jantung berdetak tak menentu saat memasuki bangunan luas bernuansa merah muda ini.

Setiap sudut tertata rapi berbagai pakaian bayi. Rasa sedih kembali menelusup di sanubari. Apa karena aku belum mampu memberikan keturunan yang membuatku berkhianat,Mas?

Bulir bening menetes saat tangan ini memegang baju bayi berwarna putih. Sedih, marah dan kecewa bercampur menjadi satu. Karena baju bayi aku tahu kebusukan yang kamu sembunyikan dariku.

Ku seka air mata yang sempat jatuh. Aku harus fokus dengan rencanaku. Jangan sampai kelemahanku di jadikan senjata Mas Alvan untuk menyakitiku.

Kulangkahkan kaki mendekati dua orang wanita di meja kasir.

"Ada yang bisa saya bantu, bu?"

Apa aku terlihat terlalu tua hingga dipanggil dengan sebutan ibu? Betapa diri ini lalai merawat tubuh.

"Ada yang bisa saya bantu, bu?" tanya pegawai itu lagi karena aku masih diam membisu.

"Maaf Mbak, saya mau bertanya. Kemarin saya dapat sebuah paket dari toko ini. Tapi saya merasa tidak membeli. Saya takut salah kirim. Kasihan yang beli jika itu sampai terjadi." Ku serahkan paper bag dengan nama toko tertera di sana.

"Tunggu sebentar, bu." Karyawan yang memakai hijab hitam segera mengutak-atik komputer.

"Maaf Bu, ini sesuai dengan alamat yang di berikan pembeli."

"Kalau boleh saya tahu, siapa yang membeli ya mbak? Kalau saya kenal akan langsung saya kembalikan."

"Kemarin bukan kami yang menjadi kasir, Bu. Jadi saya tidak tahu siapa yang membeli. Karena pembelinnya tidak memakai member."

Pupus sudah harapanku untuk mengetahui siapa pengirim pakaian bayi ini. Ke mana lagi aku harus mencari bukti. Ku tatap langit-langit yang berada di belakang kasir. Nampak sebuah CCTV terpasang di sana.

"Boleh saya lihat rekaman CCTV nya Mbak?" tanyaku hati-hati.

"Saya tidak bisa memutuskannya, Bu. Tunggu sebentar saya akan laporkan masalah ini ke pemilik toko." Salah satu karyawan segera pergi meninggalkan meja kasir. Aku menunggu sambil berdiri tak jauh dari meja kasir.

Tak berapa lama karyawan tadi kembali ke meja kasir diikuti wanita muda di belakangnya. Aku yakin dia adalah pemilik toko ini.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya wanita dengan rambut digerai itu.

Ku ceritakan maksud dan tujuanku datang ke toko ini. Dengan ramah pemilik toko itu mengajakku masuk ke ruangannya.

"Tunggu sebentar saya lihat rekaman CCTV nya dulu, bu." Dengan lihat wanita itu mengotak-atik layar komputer.

Aku berdiri tepat di sampingnya. Mata ku awas menatap layar komputer. Para pengunjung silir berganti masuk ke toko ini. Hingga ku lihat seorang wanita yang sangat ku kenal berdiri di depan meja kasir.

"Bisa tolong di zoom mbak!" pintaku.

Benar aku tak salah, dia orangnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status