Share

Part 3

“Velly, tolong jangan cari masalah. Ini masih pagi!” katanya kemudian, sambil meraup sesendok nasi lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Sementara Imelda, aku lihat perempuan berkulit bersih itu terus memandangi suami, merasa menang karena Mas Bima telah membelanya.

“Aku akan terus menyelidikinya, Mas. Tidak akan kubiarkan ada ulat bulu mengganggu rumah tangga kita!”

Bruk!

Aku terkesiap ketika tiba-tiba Mas Bima menggebrak meja. Dia lalu beranjak dari tempat duduknya, masuk ke dalam kamar kemudian kembali dengan membawa ponsel dan menyuruh Imelda menghubungi nomor laki-laki itu.

Tersambung, akan tetapi memang ponsel Mas Bima tidak berdering sama sekali. Tapi meskipun begitu, entah mengapa aku belum merasa puas dengan jawaban mereka, apalagi semalam adik serta suamiku sama-sama telat pulang ke rumah.

“Puas kamu sekarang? Makanya jangan kebanyakan baca novel sama nonton sinetron yang isinya tentang perselingkuhan setiap hari. Jadi istri itu yang berguna sedikit. Coba kamu contoh Imel. Dia pintar, pekerjaan bagus, cantik, pandai merawat diri dan enak dipandang mata. Sedangkan kamu, umur baru tiga puluh empat tahun saja sudah seperti nenek-nenek. Tiap hari pakai daster, rambut acak-acakan, bau bawang, muka juga kusam. Bikin sepet mata saja melihatnya!”

Aku membulatkan mata mendengar ucapan suami. Rasanya sakit sekali mendengar dia memuji perempuan lain dan menghinaku di depan wanita itu.

Lagian, bagaimana bisa aku merawat badan seperti Imelda, sementara tugas rumah tidak pernah ada habis-habisnya. Ngurus dua balita, rumah yang lumayan cukup besar tanpa asisten rumah tangga, dan jika pun adik serta suamiku sedang libur kerja, mereka hanya sibuk dengan telepon pintar masing-masing tanpa ada yang berinisiatif membantu.

Aku juga kepingin kaya ibu-ibu yang lain. Pergi ke salon, bisa leha-leha sambil main ponsel, tetapi kalau aku melakukan itu, siapa yang akan mengurus anak juga rumah ini?

“Makanya kasih aku asisten rumah tangga. Biar aku bisa merawat badan dan tidak bau bawang setiap hari!”

“Lah, kalau aku harus bayar asisten rumah tangga juga, lantas, apa fungsinya kamu di sini? Mau duduk santai doang tanpa berbuat apa-apa? Enak saja!” sentak Mas Bima seperti biasanya setiap kali membahas masalah ini.

“Aku ini istri kamu. Untuk apa dulu kamu nikahin aku dan nyuruh aku berhenti bekerja kalau di sini hanya dianggap sebagai pembantu doang!”

“Sudah! Sudah! Malas berdebat sama kamu, Velly. Kamu itu nggak pernah mau mengakui kesalahan. Terlalu egois.”

“Sudah apa sih, Mas. Jangan marah-marah terus. Nanti kamu darah tinggi bagaimana?” Imelda berujar dengan suara dibuat manja. Menjijikkan. Dasar pelakor.

Memang benar kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Aku pikir dengan limpahan kasih sayang yang kuberi selama ini dia tidak akan mengikuti jejak ibunya. Tetapi ternyata aku salah mengira. Ia malah menjadi ancaman di rumah tanggaku.

Mendengar ucapan gundiknya laki-laki berkemeja biru itu langsung diam, mendorong piring yang ada di hadapannya kemudian pergi ke kantor tanpa pamit kepadaku. Pun dengan Imelda yang semakin hari semakin bertingkah kurang sopan, seakan ingin menunjukkan kalau dia sudah tidak lagi menghargai diriku.

Dengan perasaan dongkol masuk ke dalam kamar wanita berusia dua puluh tiga tahun itu, mengambil koper yang ada di atas lemari lalu memasukkan semua baju-baju milik Imelda. Dia harus segera keluar dari rumah ini, agar tidak bisa lagi mengganggu Mas Bima.

Parasit harus segera dibasmi, kalau tidak bisa merusak semua yang sudah kubangun selama ini. Aku harus menyelamatkan rumah tanggaku dari godaan sang pelakor.

“Vel!” Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara Leticia mengetuk pintu pagar rumah. Aku yang sedang sibuk membereskan mainan anak-anak, bergegas keluar menemui teman terbaikku itu dan menyuruh dia masuk.

“Muka kamu kusut amat? Ada masalah sama Bima?” tanyanya sambil meletakkan paper bag yang dia bawa. Ia memang selalu membawakan oleh-oleh untuk Danis dan Dariel, karena sudah menganggap kedua putraku seperti anaknya sendiri. Maklum. Sudah lima tahun menikah, tetapi Allah belum memberikan dia keturunan.

Dengan berat hati akhirnya kuceritakan masalah yang tengah menimpa, membuka aib keluarga yang aku sendiri masih sekedar menerka-nerka. Belum ada bukti yang menguatkan kalau Mas Bima dan Imelda ada main di belakangku.

“Nggak tahu diri banget kalau si Imel itu sampai mengkhianati kamu, Vel. Kurang apa kamu sama dia itu. Kalau nggak ada kamu, mungkin saat ini hidupnya tidak akan seenak sekarang. Bisa kuliah, kerja di perusahaan bonafit, apalagi dia itu tidak jelas asal-usulnya. Ngaku anak bapak kamu juga wajahnya nggak mirip sama sekali. Jangan-jangan dulu emaknya dia salome, dan ketika hamil malah nuduh ayah kamu yang menghamili dia!” sungut Leticia panjang lebar, dengan amarah terlihat meletup-letup. Dia memang orang yang paling tahu tentang masa lalu keluargaku, sebab sejak kecil kami memang sudah bersahabat.

“Tapi itu masih kecurigaan aku saja, Ci. Sebab suara laki-laki itu persis seperti suara Mas Bima. Walaupun suamiku mengelak, tapi entahlah, aku tetap tidak mempercayai ucapan Mas Bima. Feeling mengatakan kalau Mas Bima telah mengkhianati aku. Makanya daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik aku akan mengusir Imel. Toh sekarang ini dia sudah besar. Sudah bisa hidup mandiri!”

“Bagus kalau begitu. Kalau bisa, aku akan membantu kamu membuat dia juga dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Kebetulan suami aku kenal dekat sama bosnya si ulet bulu itu!”

“Kalau untuk saat ini sebaiknya jangan dulu. Kita main halus saja. Nanti kalau aku sudah punya bukti kuat tentang perselingkuhan mereka, baru kita ambil tindakan itu. Aku nggak rela jika dia bahagia di atas penderitaanku, juga nggak mau menjadi seperti almarhumah Mama yang meninggal karena terlalu memikirkan perselingkuhan Ayah!”

“Aku mendukung kamu pokoknya.”

“Aku juga mau perawatan. Biar kelihatan cantik. Kamu bantu carikan aku asisten rumah tangga dong. Biar ada yang bantu-bantu di rumah dan aku nggak bau bawang setiap hari!”

“Nanti aku tanyakan ke asisten rumah tangga aku, siapa tahu ada temannya yang sedang mencari pekerjaan.”

“Terima kasih, Cia. Kamu memang sahabat terbaik aku.”

Leticia memelukku lalu membantuku mengurus kedua jagoan kecil yang sedang aktif-aktifnya bermain.

“Apa-apaan ini, Mbak? Kok semua barang-barang aku dikeluarin? Mbak mau ngusir aku dari rumah?” protes Imelda ketika baru pulang kerja dan melihat koper miliknya sudah berada di depan pintu kamar.

“Sepertinya lebih baik kamu keluar dari rumah ini, Mel!” jawabku sambil melipat tangan di depan dada.

“Mbak Velly sudah gila, ya? Memangnya salah aku apa, sampai-sampai Mbak tega mengusir aku dari rumah ini?”

Apa? Dia masih bertanya salahnya apa?

“Karena kamu sudah berani menggoda suami Mbak. Kamu sudah Mbak sekolahkan tinggi-tinggi, tapi malah sekarang berani mengkhianati Mbak, menusuk Mbak dari belakang!” Rasanya sakit sekali saat mengucapkan kata itu. Ada rasa tidak tega jika membayangkan dia sendirian di luar sana, tapi juga rasa benci sebab akhir-akhir ini dia sering berlaku kurang sopan, terlebih lagi setelah aku mencurigai kalau dia ada hubungan dengan suami.

“Ada apa ini?” Kami menoleh secara serempak ketika mendengar suara Mas Bima. Dan tanpa disangka, Imelda berlari menghambur ke dalam pelukan suamiku dan menumpahkan air mata di dada bidang laki-laki tersebut. Keterlaluan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status