Share

Part 2

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2022-07-28 11:32:29

“Mas Bima?” lirihku sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk, dan tanpa sengaja menjatuhkan ponsel milik adikku.

Apa diam-diam Imelda menusukku dari belakang, bermain api dengan Mas Bima, bahkan sampai melakukan hal sejauh itu?

“Mbak Velly buka-buka ponsel aku?” Aku terkesiap ketika tiba-tiba perempuan dengan blazer merah muda itu sudah berdiri di hadapanku dengan wajah murka.

“Kenapa sih, sekarang Mbak lancang banget? Kemarin kamar aku digeledah. Sekarang handphone aku dibuka-buka!” rutuknya lagi.

“Tadi ada pesan masuk dan bahasa tidak sopan. Makanya Mbak buka ponsel kamu, karena kebetulan layarnya belum terkunci.” Menatap netra dengan iris cokelat perempuan yang sudah aku biayai sekolahnya hingga perguruan tinggi itu.

“Aku ini udah gede, Mbak. Jangan dicurigai terus seperti anak kecil!”

“Tapi kamu masih tanggung jawabnya Mbak.”

“Lama-lama aku nggak betah tinggal di rumah ini!”

“Siapa laki-laki itu, Imel? Kamu tidak mengkhianati Mbak ‘kan? Apa dia Mas Bima?”

“Mbak itu ngomong apa sih? Udah lancang buka-buka ponsel orang, sekarang malah nuduh aku sembarangan!”.

“Mbak nggak nuduh. Cuma nanya. Kenapa kamu harus nge-gas jawabnya? Mbak tidak akan bertanya seperti itu kalau Mbak nggak denger sendiri suara laki-laki yang berkirim pesan sama kamu tadi. Itu suara Mas Bima!”

“Sudahlah. Aku sudah kesiangan. Mau kerja!” Dia memungut ponselnya yang tergeletak di lantai, menyambar tas kerja yang tergeletak di atas kursi lalu segera pergi tanpa memberikan penjelasan. Aku harus menyelidiki itu. Tidak mau sampai kecolongan, apalagi kalau sampai apa yang aku pikirkan memang benar adanya.

Astaghfirullahaladzim...

Memijat pelipis, mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang terhimpit batu besar.

Lindungilah rumah tangga hamba, Tuhan. Aku tidak mau apa yang dialami almarhumah Mama terjadi kepadaku juga. Dikhianati oleh Papa hingga akhirnya lahirlah Imelda dari rahim pelakor yang sudah memporak-porandakan rumah tangga kedua orang tuaku.

Ya, Imelda adalah adik tiriku. Lebih tepatnya adik seayah namun tidak senasab, karena dia lahir tanpa ada ikatan pernikahan di antara kedua orang tuanya. Ayah bermain gila di belakang Mama, menghamili salah seorang teman kerjanya lalu setelah bayi itu lahir perempuan itu tidak mau merawatnya, hingga akhirnya mau tidak mau ayah membawa Imelda yang masih berusia tiga hari pulang ke rumah.

Awalnya aku dan Mama tidak menerima kehadiran anak tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir, dia itu tidak tahu apa-apa, dan mungkin jika boleh memilih, tidak akan mau terlahir dengan cara yang salah seperti itu. Aku sangat menyayangi Imelda tanpa melihat latar belakangnya, sebab tidak adil rasanya jika ia harus ikut menanggung beban dosa yang dilakukan oleh Ayah serta Tante Airin.

Suara tangis Danis membuatku tersadar dari lamunan. Gegas menghampiri jagoanku yang masih berumur satu tahun setengah, menggendongnya keluar lalu memandikannya menggunakan air hangat.

Malam kian beranjak larut. Rintik hujan terus saja turun membasahi bumi, membuat rasa gelisah dalam hati kian bertambah.

Pasalnya, baik Mas Bima maupun Imelda belum ada yang pulang ke rumah, sementara jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sebelas malam. Membuat diri ini bertambah mencurigai, kalau memang mereka diam-diam memiliki hubungan spesial di belakangku.

Mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas, mencoba menghubungi keduanya akan tetapi tidak ada satu pun yang aktif. Perasaan ini semakin gelisah dibuatnya, apalagi tadi pagi bisa kudengar dengan jelas bahwa suara lelaki yang mengirimkan chat mes*m kepada Imelda adalah suara Mas Bima.

[Mas, kamu di mana? Pulang jam berapa? Aku khawatir banget sama kamu.] Mengirimkan pesan kepada suami, akan tetapi sejak magrib tadi w******p-nya sudah tidak aktif.

Aku memutuskan untuk berbaring di sebelah anak-anak, sebab sudah mengantuk juga lelah setelah seharian mengurus rumah serta kedua anak balita yang sedang aktif-aktifnya tanpa bantuan asisten rumah tangga. Mas Bima memang sejak dulu melarangku menggunakan jasa PRT di rumah ini. Pemborosan katanya.

Suara gemercik air di dalam kamar mandi membangunkan diriku dari lelapnya tidur. Sepertinya Mas Bima sudah pulang dan sedang membersihkan badan.

“Kamu pulang jam berapa semalam, Mas?” tegurku ketika melihat pintu toilet terbuka.

“Bukan urusan kamu. Tidur aja terus. Nggak usah ngurusin suami!” ketusnya sambil melemparkan handuk ke sembarang tempat.

“Aku ngantuk dan capek nungguin kamu semalam. Makanya aku tidur duluan. Memangnya semalam kamu pulang jam berapa?”

“Jam setengah sepuluh. Tapi kamu sudah tidur!”

“Bohong. Aku nungguin kamu sampai hampir jam dua belas, Mas. Makanya aku milih tidur duluan. Kalau nggak percaya, lihat saja chat terakhir yang aku kirim dan juga riwayat panggilan masuk di ponsel kamu. Walaupun semalam WA kamu nggak aktif, tapi tetep ada riwayat panggilan masuknya ‘kan?”

Lelaki bertubuh tegap itu tidak lagi menjawab. Ia memilih keluar dari kamar, lalu berbaring di sofa ruang tamu. Kebiasaan kalau salah nggak mau minta maaf, tapi malah menyalahkan orang lain. Entah kapan sikap buruknya itu akan berubah.

Selepas shalat subuh, seperti biasanya aku sudah berjibaku di dapur menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Mumpung dua jagoan masih tertidur. Mas Bima juga akan mengomel panjang lebar jika hendak berangkat ke kantor tapi sarapan belum tersedia di atas meja.

Terkadang aku juga merasa keberadaanku di sini sudah persis seperti pembantu, bukan seorang istri.

“Mas, masa Mbak Velly sekarang berani banget buka-buka hape aku tanpa izin,” adu Imelda ketika kami sedang sarapan pagi berama.

Mas Bima menatapku dengan pindaian tidak suka mendengar penuturan adikku.

“Memang kakak kamu itu tidak punya etika!” ucapnya kemudian, bagai sebuah belati yang menancap tepat di relung hati.

“Itu karena aku tanpa sengaja melihat chat mesum yang seseorang kirimkan. Aku juga melihat bercak darah di seprai Imel, juga menemukan lingerie serta dalaman laki-laki di keranjang baju kotornya. Bahkan aku mencurigai kalau antara kamu dan Imel diam-diam menjalin hubungan di belakangku. Kemarin kamu yang kirim pesan itu ke Imel kan, Mas?” Menatap tajam mata elang pria yang sudah menemani hidupku selama hampir tujuh tahun itu.

“Kamu itu ngomong apa sih? Kalau salah itu minta maaf. Bukannya malah melemparkan kesalahan ke orang lain dan menuduh yang bukan-bukan?”

“Aku menuduh bukan tanpa alasan. Aku kenal suara kamu, karena saat aku menghubungi nomor yang mengirim pesan, kamu yang mengangkat panggilan tersebut dan berpikir kalau yang menghubungi kamu itu gundik tidak tahu diri ini. Makanya kamu langsung mengucapkan kata-kata kotor juga menjijikkan!” Menunjuk wajah Imelda lalu menatap tajam wajah lelaki yang duduk tepat di hadapanku itu.

Mas Bima hanya diam membisu dengan wajah pucat serta bibir terkatup rapat, tidak mampu lagi mendebat ucapanku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Wagirin
Anak perempuan hasil perzinahan, boleh di nikahi Ayah biologisnya, tdk mendapat warisan, Ayah biologisnya tdk boleh jadi wali nikahnya, jika mempunyai kakak lelaki, abang nya tdk bisa menjadi wali nikahnya juga.. itulah bahayanya Zina..Ba' udzu billahi min zdaliq".
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 50(Ending)

    Sesuai permintaan suaminya, Velly merubah penampilan menjadi lebih tertutup. Ia mulai mengenakan hijab sebab Bahrudin selalu mengatakan kalau semua dosa yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan oleh suaminya di akhirat kelak, termasuk jika Bahrudin terus membiarkan istrinya tetap membuka aurat.Makanya ia secara perlahan mulai mengubah tampilan, bukan karena keterpaksaan tetapi karena kesadaran juga dorongan hati untuk menjadi wanita yang lebih baik lagi. Velly juga mulai berhenti bekerja dan lebih fokus mengurus anak-anak serta bunda sebagai tanda baktinya kepada sang suami.“Mbak, sebelumnya aku minta maaf, aku sama Mas Rofiq niatnya pengen cari rumah kontrakan yang baru. Nggak enak kalau terus menerus numpang sama Mbak,” kata Imelda ketika mereka sedang santai bersama di ruang keluarga.“Lho, memangnya kenapa kalau kalian tinggal di sini? Kami nggak pernah merasa keberatan kok. Lagian saya sama Dek Velly juga mau

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 49

    “Mel, aku mohon. Aku janji akan berubah. Aku mencintai kamu. Aku menderita hidup bersama Arzerti.”“Silakan nikmati hidup kamu bersama dia. Bukan kah kamu yang memilih untuk hidup bersama dia dan sudah membuang aku?”“Aku khilaf waktu itu.”“Tetapi aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.”Bima mendesah kecewa mendengar jawaban dari Imelda. Padahal, tadinya dia berharap masih ada kesempatan kedua dari istrinya, sebab Bima merasa sudah tidak tahan dengan perlakuan Arzerti kepadanya dan ingin kembali merajut asa bersama Imelda serta putri mereka.“Tolong talak aku, Mas,” pinta Imelda lagi.“Tidak, Imel. Kalau kamu tidak mau kembali sama aku, aku juga tidak akan pernah menjatuhkan talak sama kamu. Biar status kamu menggantung terus dan tidak bisa menikah lagi dengan siapa pun!” jawab Bima dengan lugas.Imelda menggelengkan kepala sambil menangis. Melihat kejadian itu, Bahrudin segera menghubungi Arzeti, memberi

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 48

    Hari ini Imelda sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik.Velly mengajak sang adik untuk tinggal di rumahnya, sebab takut terjadi sesuatu jika Imelda tinggal sendiri di rumah kontrakan, apalagi paska operasi seperti sekarang ini.Awalnya Imelda menolak. Akan tetapi Velly terus saja mendesak dan tidak mau ditolak. Akhirnya mau tidak mau Imelda pun menyerah dan menuruti semua permintaan kakaknya.Danis dan Dariel terlihat begitu senang ketika tantenya datang menggendong adik bayi. Mereka segera mengerubungi anak Imelda, menciumi pipi bayi berusia tiga hari itu secara bergantian.“Mama, kapan Dariel punya dedek kaya Tante Imel?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan polos.“Insyaallah secepatnya. Abang jangan lupa sering-sering minta sama Allah supaya di perut Mama bisa ada dedek bayinya,” jawab Velly seraya mengusap lembut rambut anaknya itu.“Abang Dariel, Dedek, ayo ikut Papa ke masjid. K

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 47

    “Mbak Imel kenapa? Sakit? Kok wajahnya pucet banget?” tanya Rofiq yang sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam tas obrok di motornya.“Nggak tahu, Mas. Dari semalam perut aku sakit. Ini malah makin terasa nyeri banget!” jawab Imelda seraya meringis kesakitan.“Jangan-jangan Mbak Imel mau melahirkan?”“Nggak tau, Mas. Emang HPL-ku sudah lewat tiga hari sih, dan baru sekarang ada tanda-tanda kaya mau melahirkan.”“Sudah hubungi Mbak Velly?”“Belum. Nanti saja kalau sakitnya sudah mulai berasa banget. Kasihan dia kalau direpotin terus.”“Tapi kan, Mbak. Daripada nanti kenapa-kenapa, mendingan Mbak kabari saja Mbak Velly sekarang.”“Iya.”“Sini nomernya Mbak Velly. Biar saya yang menghubungi dia!” Rofiq mengeluarkan ponsel lalu menekan dua belas digit angka yang disebutkan ole

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 46

    Cup!Bahrudin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup. Gemas melihat bibir sang istri yang dimajukan beberapa centimeter.“Nyosor mulu kaya bebek!” protes Velly pura-pura merajuk.“Aku kecanduan nyium kamu, Sayang.”“Memangnya aku obat bikin candu?”“Iya. Obat luka di hati aku.” Mengambil tangan istrinya, Bahrudin menautkan telapak tangan Velly di dada sambil mengunci netra perempuan itu dengan tatapannya.“Udah, ah! Pagi-pagi udah menggombal. Ayo, sarapan dulu. Malu sama Bunda kalau di kamar terus. Nanti dikira lagi ngapa-ngapain lagi!”“Memangnya kalau lagi ngapa-ngapain kenapa? Bunda juga pernah muda dan menjadi pengantin baru. Pasti beliau paham lah.”“Tapi aku laper...”“Oke. Ayo kita keluar.” Tangan Bahrudin merangkul pundak istrinya lalu segera keluar dari dalam bilik.Bunda melekuk senyum bahagia melihat kemesraan anak serta menantunya. Ia juga sangat bersyuku

  • Bercak Darah di Seprai Adikku    Part 45

    Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Seluruh tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing, pun dengan Bunda yang sudah sejak habis isya masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan oleh menantunya. Velly masuk ke dalam bilik, membuka kebaya yang melekat di tubuhnya lalu menggantinya dengan daster seperti biasa setiap mau tidur. Tidak lupa juga membersihkan wajah dari sisa make-up yang menempel menggunakan miccelar water dan dilanjut dengan mengoles sedikit krim malam. Dari pantulan cermin terlihat Bahrudin masuk ke dalam kamarnya, menerbitkan senyuman membuat jantung perempuan berambut sebahu itu berdetak tidak karuan. Bahrudin terus menelisik tampilan sang istri dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa ada yang aneh melihat Velly yang biasa berpakaian rapi hanya mengenakan daster sebatas lutut, membuat jakun laki-laki bertubuh tambun itu naik turun kala melihat kaki jenjang istrinya. “Kenapa liatinnya seperti itu, Mas? Aku jelek ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status