Kelahiran yang Menghancurkan
Saat usia kehamilanku sembilan bulan, aku sudah ada di penghujung masa kehamilan, tubuhku terasa berat dengan bayi yang bisa lahir kapan saja.
Tapi suamiku, Alexander Santoso, wakil kepala keluarga, justru mengurungku. Dia menahanku di sebuah ruang medis bawah tanah yang dingin dan steril, lalu menyuntikkan obat penahan kontraksi.
Saat aku berteriak kesakitan, dia menatapku dengan dingin dan berkata aku harus menahannya.
Karena pada saat yang sama, istri almarhum kakaknya, Elisa juga diperkirakan akan melahirkan.
Sebuah sumpah darah yang pernah dia buat dengan mendiang kakaknya menyatakan bahwa anak laki-laki sulung akan mewarisi wilayah keluarga di Teluk Barat Jaya yang begitu menguntungkan.
"Warisan itu milik anak Elisa," katanya.
"Davin sudah tiada, dia benar-benar sendirian dan tak punya apa-apa. Seluruh cintaku tetap untukmu, Alana. Aku hanya butuh dia melahirkan dengan selamat. Setelah itu, barulah giliranmu."
Obat itu membuat tubuhku terus-menerus tersiksa. Aku memohon padanya untuk membawaku ke rumah sakit.
Dia justru mencekik leherku, memaksaku menatap mata dinginnya.
"Berhenti berpura-pura! Aku tahu kau baik-baik saja. Kau cuma berusaha merebut warisan itu."
"Untuk mendahului Elisa, kau rela melakukan apa saja."
Wajahku pucat, tubuhku bergetar hebat. Dengan sisa tenaga, aku berbisik lirih, "Bayinya akan lahir... aku tidak peduli soal warisan. Aku hanya mencintaimu, dan aku ingin anak kita lahir dengan selamat!"
Dia mencibir. "Kalau kau memang sesuci itu, kalau kau benar mencintaiku, kau tak akan pernah memaksa Elisa menandatangani perjanjian pranikah yang membuat anaknya kehilangan hak warisan."
"Jangan khawatir, aku akan kembali padamu setelah dia melahirkan. Bagaimanapun, kau mengandung darah dagingku."
Sepanjang malam, dia berjaga di depan ruang bersalin Elisa.
Baru setelah melihat bayi itu di pelukan Elisa, dia teringat padaku.
Dia akhirnya menyuruh tangan kanannya, Raka untuk membebaskanku. Tapi ketika Raka menelepon, suaranya gemetar.
"Bos... nyonya dan bayinya... mereka sudah tidak ada."
Di saat itu juga, Alexander hancur.