Home / Romansa / BOSSY / 03. Ava dan Han

Share

03. Ava dan Han

Author: Aya
last update Last Updated: 2021-03-06 23:53:34

Ini adalah hari kerja pertama, senin, setelah semalam hari libur.

Ava melangkahkan kaki dengan tidak bersemangat di lobi utama, sesekali ia mengusap matanya yang gatal.

Akhir-akhir ini, Ava tidak bisa tidur nyenyak.

"Lo udah tahu belum, kalau lagi ada loker buat jadi sekretaris CEO baru kita nanti?"

Ava menghentikan langkah dengan mata yang melotot sempurna. Ia menoleh kepada dua orang perempuan yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri.

"Serius, mau nyoba nggak?" tanya wanita itu.

Ava menatap dan mendengarkan pembicaraan mereka secara terang-terangan.

"Mau dong, lo sendiri?"

"Jelas aja gue mau, siapa yang gak mau uang banyak? Terus berduaan sama Boss tampan?"

"Nah betul, tapi siapa ya yang bakal gantiin posisinya Pak Was?"

Tanpa sadar Ava sudah melangkah lebih dekat kepada dua wanita itu.

"Pak Han? Sang direktur tampan," ucap wanita itu yang membuat Ava mengangguk setuju.

"Kalau ternyata yang jadi CEO anaknya Pak Was yang di Amerika, gimana?"

"Enggak!" bantah Ava tanpa sadar.

Kedua wanita itu menatap Ava dengan tatapan heran. Mereka merasa risih atas kehadiran Ava, apalagi gadis itu yang menyeletuk tiba-tiba.

Ava menggigit bibir bawahnya. "Maaf, maaf, kalian bisa lanjutkan percakapannya." Ava membungkukkan badan beberapa kali.

"Apasih dia. Dia nguping kita dari tadi?" tanya wanita itu pada temannya.

"Gak sopan banget nimbrung tiba-tiba, kenal juga enggak." sinis wanita satu lagi kepada Ava.

Ava menunduk lesu dan memperbaiki letak kaca mata bulatnya.

"Astaga cupu banget gayanya, dia beneran karyawan disini?"

"Liat tuh, kemejanya lusuh banget. Hasil pungut ya?"

Ava menatap kemeja cokelat yang ia kenakan sekarang, lalu menatap kedua wanita di depannya. Baju mereka terlihat elegan dan mewah, sangat berbeda kasta dengan kemeja pudar milik Ava.

"Yuk ah pergi, malas gue lama-lama dekat dia." ucap salah satu dari wanita itu.

Lalu kedua wanita itu pergi dari hadapan Ava.

Ava tersenyum miris.

Benar kata Alana, tidak ada yang mau berteman dengannya kecuali Alana dan Azkar.

Sejak dulu, bahkan sejak Ava punya ingatan. Yang ia ingat hanya ucapan-ucapan yang mengucilkannya hingga ia beranjak dewasa, bahkan sampai sekarang tidak ada yang berubah dengan hal itu. Dan sejak dulu pula, Ava selalu diam mendengarkan tanpa membalas ucapan-ucapan menyakitkan itu.

Bukannya Ava tidak mau membalas ucapan mereka. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana caranya membalasnya.

"Kamu masih diam setelah dibicarakan seperti itu?"

Ava mengerjap, ia menoleh kepada lelaki jangkung di sampingnya. "Pa-pak, Han?" tanya Ava lalu melepas kaca matanya, Ava mengusap kedua matanya, setelah itu ia kembali memasang kaca mata bulatnya di pangkal hidung.

"Iya, ini saya." sahut Pak Han dan menatap gadis pendek itu. "Lima menit lagi jam kerja akan dimulai, mengapa masih disini?"

Ava meneguk ludah. "Ma-maaf Pak, sa-saya tidak ak-akan ulangi la-lagi." jawab Ava terbata. "Sa-saya akan segera per-pergi." Ava membungkukkan badan sebelum akhirnya memutar tubuh, berjalan meninggalkan Pak Han.

Han tersenyum kecil memperhatikan tingkah gadis itu yang entah mengapa, justru terlihat menggemaskan di mata Han. "Tunggu," ucap Han.

Ava mengerem mendadak, ia dengan cepat berbalik menatap Han dengan gugup. "Y-ya Pak?"

"Ayo pergi bersama." ucap Han dan melangkah mendekat kepada gadis itu.

Ava mematung ditempatnya. Ia baru sadar saat Han sudah berjalan melewatinya. Ava menatap punggung lelaki itu, lalu tersenyum kecil dengan pipi yang bersemu merah.

"Mau sampai kapan disana?"

"Ya?" Ava mengerjap polos, lalu segera berlari kecil memasuki pintu lift yang terbuka.

Han menekan tombol tiga. "Kamu di lantai tiga, kan?" Han menatap gadis itu.

"I-iya Pak." Ava menunduk, tak berani menatap Han.

Pintu lift tertutup, dan hanya ada mereka berdua di dalam lift itu.

"Kamu takut pada saya?"

Ava sontak mengangkat kepala, menggeleng kuat-kuat. "Sa-saya hanya gugup."

Han tertawa mendengar jawaban itu. "Kamu gugup selama satu tahun?" tanya nya heran. "Bukannya kamu, gadis yang sering menerima tugas dari saya?"

"I-iya Pak."

"Kamu selalu terbata saat bertemu dengan saya. Gugup seperti apa selama satu tahun? Kamu bahkan lebih sering bertemu dengan saya, dibanding Ibu saya sendiri."

Ava meremas rok span hitamnya, pipinya semakin panas.

"Kamu kepanasan?"

"Ti-tidak Pak," Ava menyeka bulir keringat di pelipisnya. Ia merasa gugup luar biasa dengan dahi yang sudah penuh keringat.

Han memperhatikan Ava yang sibuk menyeka bulir keringat. Han meraih sesuatu di dalam saku kemejanya. "Kamu berkeringat." Ia memutar tubuh Ava untuk menghadapnya, membuat gadis itu mendongak dengan takut.

Ava hanya bisa diam saat Han mengusap lembut dahinya dengan sapu tangan. Sentuhan secara tidak langsung, untuk pertama kalinya setelah setahun lebih Ava menyukai lelaki itu, membuat jantung Ava berdebar kencang.

Pintu lift terbuka.

Orang-orang diluar lift yang ingin turun ke lantai bawah atau lantai atas, kaget bukan main saat melihat sang Direktur Han sedang mengusap dahi gadis karyawan biasa yang jauh dari kata sempurna.

Ava tersadar. "Pa-pak, liftnya sudah terbuka."

"Ah, iya." Han kembali menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku kemeja. "Lain kali lebih santai saat bertemu dengan saya."

"Ma-makasih Pak." Ava kembali membungkukkan badan dan berlari kecil keluar lift.

***

Ava pulang terlambat hari ini.

Azkar sudah menawarkan akan menemaninya sampai selesai, namun Ava bersikeras untuk menolak. Alana memiliki urusan penting yang mendadak, membuat gadis itu tidak bisa menemani Ava di kantor.

Ava harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini, karena besok sudah deadline.

Ava meregangkat otot-ototnya. Ia melepas kaca mata bulat dan memejamkan mata, memberikan matanya waktu untuk rileks sebentar, karena seharian sudah menatap layar monitor komputer.

Hari hampir gelap, matahari akan terbenam sepenuhnya.

Ava melirik jam pada ponselnya, sudah pukul 18.02 WIB.

Ava bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kaca pembatas gedung. Dari ketinggian lantai tiga, Ava melihat jalanan kota Jakarta yang tampak indah.

Ava tersenyum.

"Kenapa belum pulang?"

Sosok Han datang menghampiri Ava saat melihat pintu kantor ini belum tertutup.

Ava kaget, ia menoleh. "Pa-pak Han?"

"Kamu masih terbata?"

"Sa-saya masih gugup, Pak."

Han menghembuskan napas. "Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya nya tak memperpanjang masalah.

Ava mengangguk, kembali menatap jalanan kota Jakarta dari ketinggian lantai tiga. "Sudah, Pak." sahutnya berusaha untuk tidak kembali terbata.

"Kenapa belum pulang?"

Ava menoleh, mendongak menatap Han yang lebih tinggi darinya. Lelaki itu selalu tampak menawan, tampan, bersinar, berkarisma, dengan rahang serta tatapan datarnya membuat Ava jatuh hati kepada lelaki itu.

Han menunduk, membalas tatapan gadis itu.

Ava tersenyum manis. "Pak Han ganteng banget," ucapnya tanpa sadar, dan menggunakan bahasa informal.

"Ya?"

"Eh, maaf, maaf Pak." Ava membungkukkan badan berkali-kali, ia sangat malu karena keceplosan. "Sa-saya tidak ber----"

"Kamu terbata lagi."

Ava kembali membungkukkan badan dan meminta maaf.

"Mau pulang bersama?" tanya Han membuat Ava langsung menegakkan tubuh.

Ava mengerjap polos, menatap Han yang tampak biasa-biasa saja.

"Tidak mau?" tanya Han sekali lagi.

"Mau!" Ava diam sejenak. "Banget."

***

Ava tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat ia akan pulang bersama dengan Direktur Han, lelaki yang ia sukai.

Sebenarnya, Ava sedikit bingung dengan Han yang tiba-tiba mengajaknya berbicara diluar hal tentang pekerjaan. Karena selama ini, Ava dan Han hanya akan berbicara tentang pekerjaan. Mereka tidak pernah dekat atau-pun akrab, kecuali hubungan antara Direktur dengan karyawannya.

Tetapi apa ini?

Han tiba-tiba datang menanyakan mengapa Ava belum pulang dan mengajak gadis itu untuk pulang bersama.

Bahkan perlakuan Han saat mengusap dahi Ava yang berkeringat dengan sapu tangan masih memiliki efek berlebihan pada tubuh Ava ketika gadis itu mengingat momen yang baru pertama kali terjadi pada dirinya.

"Kamu sudah makan?"

Ava menoleh, menatap Han yang sedang mengemudi. "Sudah Pak." sahutnya kalem, berbeda dengan jantungnya yang berdegup kencang.

Han melirik Ava sebentar, lalu kembali fokus menatap jalan. "Kapan?"

"Tadi siang."

Han tertawa kecil. "Masih kenyang?"

"Sedikit lapar," jawabnya jujur. "Pak Han lapar ya?"

Han menoleh, tersenyum mempesona. "Iya." ia kembali menghadap depan. "Menurut kamu, dimana tempat penjual makanan yang enak?"

"Saya suka makan mie ayam di simpang dekat rumah saya Pak." jawab Ava dan menggaruk pelipis. "Pak Han suka mie ayam? Harganya cuma delapan ribu,"

"Mie ayam?" Han berpikir sejenak. "Boleh, saya belum pernah makan itu." ucapnya membuat Ava melotot kecil.

"Belum pernah?" tanya Ava kaget. "Saya bahkan hampir setiap hari makan itu," ucapnya pelan.

"Kamu tidak bosan?" kali ini Han yang kaget.

Ava menggeleng. "Saya tidak tahu makanan apa lagi yang enak dan murah selain mie ayam."

Han tertawa mendengar jawaban Ava, membuat Ava tanpa sadar juga ikut tertawa.

Ava ingin memperlambat waktu, membiarkan dirinya menikmati waktu bersama dengan lelaki yang ia sukai. Setidaknya, Ava bisa merasakan sedikit kebahagiaan setelah sekian lama hidup dalam penderitaan.

"Ini belok mana?" tanya Han menghentikan tawanya.

"Disana Pak," Ava menunjuk sebuah simpang kecil. "Pak Han bisa parkir di tepi jalan dekat simpang." ucapnya sudah tidak terbata.

Han menoleh, ia tersenyum tipis mendengar gadis itu sudah tidak terbata ketika berbicara dengannya.

Han memutar stir, berbelok ke kanan dan memparkirkan mobil mewahnya susuai dengan arahan Ava.

Ava turun dari mobil itu, setidaknya ia tidak norak karena baru pertama kali menaiki mobil mewah. "Ayo Pak,"

Han mengikuti langkah mungil gadis disampingnya sampai ke sebuah warung yang kecil.

"Mbak, mie ayamnya dua ya." ucap Ava kepada penjual mie ayam dan Han yang hanya mengikuti dibelakang.

Han memperhatikan warung kecil ini. Walaupun kecil, pembelinya sangatlah banyak dan warung ini tampak bersih.

"Duh Mbak Ava, tumben lama kesini? Mie ayamnya tinggal satu porsi." sahut sang penjual tidak enak hati. "Mbak Ava juga biasanya cuma pesan satu."

"Yah .... " seru Ava kecewa. "Saya lagi bawa temen Mbak."

"Satu porsi makan berdua aja Mbak, sama Mas gantengnya." goda sang penjual membuat Han menoleh, merasa terpanggil.

Ava menatap Han dengan ragu. "Pak Han mau cari makan tempat lain aja?" tawarnya tak enak hati.

Han menggeleng. "Pesan satu aja, kita makan berdua."

Saat itu, Ava merasa bumi tandusnya yang kering sedang berbunga-bunga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BOSSY   17. Perasaan Han kepada Ava

    "Ava ....?"Ava mengerjap polos saat mendengar suara yang terdengar familiar itu, ia menatap sosok lelaki jangkung yang berada di dalam pintu lift terbuka."Pak Han?""Kamu ijin pulang?" Han mendekat ke arah Ava. "Kenapa?""Eung .... " Ava menatap Azkar yang juga sedang menatapnya bingung. "Saya lagi tidak enak badan, Pak." sahut Ava canggung.Han mendengus. "Ayo saya antar pulang," ia meraih pergelangan tangan Ava.Ava menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh Han, sedangkan Azkar hanya memperhatikan itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu sejak kapan Ava dekat dengan Han, bahkan Han sudah ingin mengantarkan Ava pulang. Sebagai sahabat Ava selama bertahun-tahun, Azkar merasa selama ini tidak tahu apa pun tentang Ava.

  • BOSSY   16. Akibat pencitraan Deon

    Ava tidak mengamati sekitarnya, ia sibuk menangis dan menelungkup 'kan wajah di atas meja kerjanya. BRAK! "Astagfirullah!" kaget Ava saat mendengar suara meja yang digebrak, suara itu berasal dari meja kerjanya. Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya, ia secara perlahan mengangkat wajah dan menatap kaget lelaki tampan di hadapannya. "Tu-tuan Deon .... ?" Deon memutar bola mata, ia berdecak dan menaruh sebuah bingkisan di hadapan Ava. "Ini barang milik anda, Ava." Ava menyeka pelupuk matanya. "Ma-maksud Tuan Deon?" Ava merasa aneh karena Deon tiba-tiba menggunakan bahasa formal kepadanya. "Sa-saya---" "Jangan banyak bicara Ava, terima saja." Deon menegakkan tubuh dan melotokan matanya pada Ava yang langsung menjauh takut. Ava menerima bingkisan itu dengan ragu dan meraihnya dari atas meja. "Terima kasih, Pak." A

  • BOSSY   15. Gagal interview

    "Kenapa Pak?" Han menaruh mangkuk di tangannya ke atas karpet, ia menatap lekat Ava. "Apa dengan menjadikanmu kekasih saya, kamu akan menjadi hak milik saya?" "Uhuk, uhuk!" Ava langsung minum dan menaruh mangkuk mie nya di atas karpet. "Pak Han demam ya?" tanya Ava panik setelah ia selesai minum. Han mengerjap polos, ia menyentuh keningnya sendiri dengan punggung tangan. "Tidak, suhu badan saya normal." jawab Han setelah mengecek suhu tubuhnya. "Kenapa kamu kaget?" "Ya saya kaget lah Pak," jawab Ava dan menggaruk kepalanya. "Masa Pak Han mau jadi pacar saya," "Saya mau, kenapa tidak?" "Sa-saya kan jelek," Ava tiba-tiba teringat sebutan yang sering dilontarkan Deon kepadanya. "Pak Han pasti malu kalau jadi pacar saya,"

  • BOSSY   14. Balas dendam

    Han berdiri di hadapan sosok gadis yang menangis di bawah derasnya guyuran hujan. Han tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, namun hatinya berdenyut sakit saat melihat sosok yang dicintainya ternyata adalah gadis yang rapuh. Ava menyeka bulir air hangat yang membasahi pipinya, ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak kembali terisak. Ia mencoba untuk berdiri dengan tubuh yang oleng, sedangkan Han masih terpaku menatapnya dalam diam. Ava berhasil berdiri di hadapan Han, ia tersenyum paksa. "Hai Pak, ini saya Ava." Ava tersenyum manis dengan keadaannya yang tampak kacau. Pertahanan Han langsung pecah, ia melempar asal payung di genggamannya yang kini terlempar jauh di trotoar jalan. Han memeluk tubuh Ava yang rapuh, mendekapnya hangat di saat Ava merasa kedinginan. Han menyembunyikan kepal

  • BOSSY   13. Luka dan Hujan

    Ava berjalan pelan mengikuti langkah kaki Deon yang membawanya menuju lantai bawah Mal. Perkataan Deon beberapa menit yang lalu masih terus terngiang memenuhi isi kepala Ava sekarang.Dada Ava terasa sesak, semua perlakuan Deon mulai berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Membuat Ava ingin berteriak, memaki dan mengumpat kepada Deon. Tetapi yang Ava lakukan hanyalah diam, menerima semua perlakuan Deon yang menyakitinya."Woy!"Ava terperanjat. "I-iya Tuan?" sahut Ava ketika sudah sadar dari keterkejutannya.Deon berdecak. "Mau makan nggak?""Ti-tidak Tuan.""Gue nggak lagi nawarin!""Ma-mau Tuan,""Makan di mana?""Terserah Tuan saja.""Gue nggak lagi nanya!"Ava langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kenapa diam?!" bentak Deon emosi. "Lo pintar banget mancing emosi gue

  • BOSSY   12. Pulang bersama Deon

    "Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status