Share

2. Permintaan

Author: Rainina
last update Last Updated: 2025-02-07 00:02:46

 Silvi berdiri di sudut lift, dengan nafas tidak beraturan, dan jari-jari yang mencengkeram tali tas begitu erat hingga memutih. Pantulan wajahnya di dinding logam memperlihatkan ketegangan dan kelelahan yang terlukis jelas di wajahnya.

Ia berkali-kali menatap angka lantai yang naik satu per satu, berharap ada cukup waktu untuk menenangkan diri, padahal semakin tinggi angka itu, semakin kuat tekanan di dadanya.

Pertemuan singkat dengan Julian kemarin masih membekas jelas: Nada suara yang lembut, senyuman yang manis, tapi penuh dengan kalimat yang merendahkan.

Dan sekarang saat lift berdenting dengan keras, menandakan bahwa dirinya sudah sampai di lantai 12, Julian ada di sana, seolah siap untuk menyambut kedatangannya.

Pria itu sedang berbicara dengan Carla -sekretaris ayah Julian- di depan meja resepsionis, dengan tangan terlipat santai di dada dan ekspresi tenang.

Silvi mengutuk dirinya dalam hati. Seharusnya ia datang lebih awal, bukannya mengulur-ulur waktu. Namun belum sempat ia berbalik atau berusaha menyelinap, Julian sudah melihatnya.

"Silvi!" suara itu terdengar ramah, nyaris terlalu ceria untuk seseorang yang menyapa bawahannya.

Meski tidak banyak orang di sekitar mereka, Silvi dapat merasakan tatapan penasaran yang dilayangkan ke arahnya.

Dulu, ia pernah haus akan validasi dari orang lain, perhatian seperti itu mungkin membuatnya merasa tinggi. Tapi tidak sekarang. Tidak saat Julian juga ikut berada di tengah-tengahnya.

“Aku perlu berkeliling untuk mengingatkan beberapa hal karena sudah sangat lama sejak terakhir aku ke sini. Bisa temani aku?” Julian berbicara sambil berjalan mendekati Silvi dengan langkah ringan, suaranya terdengar penuh semangat, seperti seseorang yang berbicara pada teman lamanya.

Tapi mereka bahkan tidak pernah menjadi teman. Dan Silvi tidak akan pernah mau menjadi temannya.

Tapi Silvi sadar dirinya bukan siapa-siapa, melainkan mangsa yang terjebak di wilayahnya, di tempat di mana Julian punya posisi tertinggi. Tapi dia tetap mengumpulkan seluruh keberaniannya, untuk menolak permintaan Julian.

“Maaf Pak, saya harus buru-buru karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Permisi.”

Silvi berjalan dengan langkah lebar, mencoba melewati Julian yang berdiri di hadapannya. Tapi Julian tidak mengindahkan perkataannya. Bertentangan dengan yang Silvi inginkan, Julian mengambil kopi dari tangan Carla dan berjalan mengikutinya.

"Senang melihatmu lagi," ucapnya, suaranya hangat, terlalu hangat untuk seseorang yang pernah membuatnya hancur.

Silvi membalas dengan anggukan singkat, lalu berjalan cepat di depan Julian,  mencoba mengabaikan rasa mual yang perlahan merayap naik ke tenggorokannya. Beberapa pandangan yang terlihat penasaran terus mengikuti mereka di sepanjang lorong, membuat Silvi merasakan darahnya berdesir tidak nyaman.

“Apa tidurmu nyenyak?” tanyanya tiba-tiba. “Aku tidak bisa tidur Silvi, karena aku terus memikirkanmu…”

Silvi tak menjawab. Tapi suara itu tetap bergema. Lembut, mengalir seperti racun yang mengotori pikirannya.

“Apa kamu tahu bagaimana aku berusaha keras menahan rindu saat kita terpisah?”

Terpisah. Kata itu terasa seperti ejekan. Silvi hampir tertawa keras saat mendengar Julian, mempertanyakan logikanya yang seolah mendefinisikan mereka berdua sebagai sepasang kekasih. Padahal bagi Silvi dirinya tidak lebih dari korban.

Silvi membalikkan tubuhnya, ingin mencoba menghentikan Julian dari mengikutinya. Tapi saat ia melihat wajah Julian, dia berakhir menutup mulutnya. Ekspresi itu terlihat memuakkan. Senyumannya terlihat polos dan tulus.

Dia bahkan tidak seperti itu.

“Untukmu.” Julian menarik tangan Silvi, memaksanya menerima kopi yang ia sodorkan dengan paksa pada dirinya. Tidak memberikan ruang bagi Silvi untuk menolak. 

“Kamu terlihat lelah, kenapa? Apa kamu juga memikirkanku?” Silvi menggigit sisi dalam pipinya dengan kuat. Berusaha menahan sumpah serapah yang hampir lolos dari bibirnya.

"Silvi!”

Julian dan Silvi sama-sama menoleh. Di sana berdiri seorang pria jangkung dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit acak, seperti seseorang yang terburu-buru, dengan setumpuk folder yang hampir menutupi pandangannya. Pria itu bermaksud untuk membawa beberapa dokumen ke gudang arsip.

Silvi nyaris tidak dapat menyembunyikan kelegaannya, walau dia langsung terburu-buru menguasai ekspresinya. Akan tetapi, ekspresi itu tertangkap oleh Julian yang melihat dengan sudut matanya.

"Samuel..." gumamnya, nyaris seperti hembusan nafas. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

Silvi berjalan mendekat, lalu berjinjit mencoba mengurangi beban barang bawaan yang dibawa oleh Samuel dengan satu tangannya yang tidak memegang kopi dari Julian. Ia lalu melirik tajam ke arah Julian sambil tetap berusaha untuk terlihat sopan di depan Samuel yang memasang wajah kaget, baru menyadari keberadaan Julian dan langsung menunduk sopan.

"Maaf Pak, sepertinya saya perlu undur diri untuk membantu atasan saya dengan dokumennya.” Ucap Silvi.

Tapi lagi-lagi, Julian tidak membiarkannya. Tangannya justru menarik satu folder dari tangan Silvi, dan merebut sisa folder yang berada di tangan Samuel tanpa ragu sambil masih mempertahankan senyumnya yang terlihat mencurigakan.

“Kebetulan saya sedang reuni bersama Silvi yang adalah teman lama saya. Apa keberatan jika kami yang membawanya?”

Samuel terlihat bingung, perasaan tidak nyaman muncul di hatinya. Bagaimana tidak, bossnya menarik dokumen dari tangannya tanpa ragu, semua hanya untuk menghabiskan waktu dengan pacarnya.

“Ya?” tangan Samuel menggaruk lehernya dengan tidak nyaman, tapi Julian tidak menunggu hingga ia benar-benar menjawab. Ia membalikkan badannya dengan cepat lalu tersenyum pada Silvi.

“Ayo.”

Silvi melihat ke sekelilingnya. Berbeda dengan di hotel saat itu, kali ini rekan kerjanyalah yang mencuri pandang ke arahnya dan Julian. Bahkan di antara orang-orang yang melihat ke arah mereka ada Samuel yang masih terlihat bingung dan tidak nyaman.

Tidak, apa maksud semua ini?

Seolah Julian ingin semua orang melihat dan berasumsi tentang mereka berdua. Silvi merasakan telinganya berdengung kuat saat kesadaran itu menamparnya. Ia menatap Julian yang memutar wajahnya agar bisa melihat dirinya yang masih berdiri mematung di belakang. 

Senyum tulus yang tadi ia perlihatkan sudah berubah menjadi sebuah seringai, pria itu jelas sudah menyadari bahwa Silvi sadar apa yang sedang ia coba lakukan.

“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya. 

Julian meletakkan setumpuk folder yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.” 

“Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Samuel tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.

Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”

Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin, “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan seperti ini caranya jika anda menyukai seseorang...”

“Benar juga, lagi pula yang sedang aku sukai saat ini adalah seorang Silvi. Yang mulia Silvi. Yang selalu memandang orang lain lebih rendah darinya. Lucu sekali bukan seseorang seperti itu saat ini bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang staff biasa. Apa yang terjadi pada Silviku? Apa kamu berusaha menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya?”

Silvi mengepalkan tangannya erat, tubuhnya menegang, pembicaraan ini mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Ia bahkan tidak dapat melakukan apapun saat Julian berjalan mendekat dan memegang bahunya dengan kedua tangan besar miliknya.

“Apa…”

“Silvi sang anak haram.” Silvi dapat merasakan wajahnya memucat, tubuhnya terasa lemas, jika bukan karena tangan Julian yang tiba-tiba sudah berada di pinggangnya, mungkin ia sudah akan jatuh karena perasaan kaget yang menderanya.

“Anak yang lahir dari darah ibunya dan supir di rumah mereka, tapi tentu saja ibumu yang seorang aktris terkenal itu sangat hebat dalam berakting. Ia bahkan dapat menyembunyikan kenyataannya selama bertahun-tahun. Hingga kamu duduk di kelas tiga SMA.”

Silvi merasakan nafasnya memburu, seluruh kenangan buruk itu kembali menguasai tubuh dan pikirannya.

Julian  memegang tangan Silvi, mengelusnya dengan sayang dengan senyuman yang tulus. Ini akan terlihat seperti adegan romantis, jika saja perkataan Julian selanjutnya tidak pernah ia lontarkan.

“Katakan padaku Silvi, bagaimana rasanya ketika tangan yang tidak pernah bekerja ini secara tiba-tiba harus menopang dirimu sendirian tanpa bantuan orang lain? Bukankah itu sangat berat?”

“Apakah pacarmu itu mengetahui soal ini?” Silvi melebarkan matanya, pria ini… tidak bermaksud untuk mengatakan semuanya pada Samuel kan?

“Bagaimana menurutmu? Apakah Samuel akan mampu menerima dirimu dan seluruh latar belakangmu?” Julian membawa tangan Silvi ke wajahnya, mengelus wajahnya sendiri dengan tangan kecil milik Silvi sambil menatapnya dengan tatapan tajam.

“Apakah dirinya tahu bahwa dirimu yang dulu tidak ubahnya seorang pembully? Seseorang yang merasa dirinya jauh lebih baik dibandingkan orang lain.”

“Cukup…” Silvi berbicara dengan lirih, suaranya bergetar hebat.

“Tapi jangan khawatir Silvi, karena jika ia tidak dapat menerima dirimu sepenuhnya, maka aku akan melakukannya dengan sepenuh hati.”

“Apa yang kamu mau…” suara itu lebih mirip seperti bisikan, tersembunyi di antara nafasnya yang memburu.

“Kamu.” Julian menjawab singkat, tidak ada keraguan dalam suaranya seolah itu adalah hal yang wajar untuk dikatakan. “Tapi jika itu terlalu sulit untukmu mari kita mulai dari hal yang paling mudah untuk kamu lakukan.”

Tangan Julian menggenggam jemarinya dengan erat, “Jadilah sekretarisku, dan apa yang terjadi ke depannya akan tergantung pada jawabanmu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hate You To The Bone   54. BAB 54

    Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli

  • Hate You To The Bone   53. BAB 53

    Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar

  • Hate You To The Bone   52. BAB 52

    Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."

  • Hate You To The Bone   51. BAB 51

    Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay

  • Hate You To The Bone   50. BAB 50

    "Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel

  • Hate You To The Bone   49. BAB 49

    Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status