공유

Pasrah Pada Takdir

작가: Peonny274
last update 최신 업데이트: 2025-06-18 10:58:36

Sudah dua minggu sejak Anin pulang ke kampung, ia sibuk meminjam ke sana sini. Namun tak satupun yang berhasil. Semuanya menolak halus atau tak sanggup membantu. Terdesak waktu, akhirnya Anin memberanikan diri mengajukan pinjaman ke kantor—meski hatinya penuh ragu.

Sekarang Anin tengah duduk di kursi empuk ruang HRD, tangannya menggenggam map pengajuan pinjaman yang mulai lemas di pangkuannya. Di seberangnya, Mbak Linda—staf HRD—tersenyum tipis, berusaha ramah walau jelas sulit menyampaikan kabar buruk.

“Maaf ya, Anindya… jumlah yang kamu ajukan terlalu besar. Kami hanya bisa bantu lima puluh juta. Itu pun lewat approval manajemen.”

Anin tersenyum kecil, meski matanya tampak sayu.

“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Saya maklum. Terima kasih banyak sudah diusahakan.”

Ia berdiri, membungkuk sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan pelan. Begitu pintu tertutup, suara lembut langsung menyapanya.

“Gimana, Nin?” tanya Dita, rekan kerjanya, dengan nada penuh harap.

Anin hanya menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca tapi tetap mencoba tersenyum.

“Cuma bisa lima puluh, Dit. Padahal aku butuh lima ratus.”

Dita menunduk, wajahnya ikut murung.

“Maaf ya, Nin… aku bener-bener pengen bantu, tapi tabungan aku juga pas-pasan. Gaji bulan ini udah aku kirim ke rumah juga.”

“Nggak apa-apa, Dit. Aku ngerti kok.”

Tanpa banyak kata, Dita langsung memeluk Anin erat. Anin balas memeluk, kuat-kuat, seolah ingin menahan semua rasa lelah, malu, dan ketidakberdayaan agar tidak tumpah.

“Kamu kuat, Nin. Aku tahu kamu pasti bisa cari jalan keluar.” bisik Dita pelan di pelukannya.

Anin tidak menjawab. Hanya memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, dan mencoba percaya—kalau Dita benar. Bahwa selalu ada jalan keluar, meski sekarang semuanya terasa gelap.

*ੈ✩‧₊˚༺☆༻*ੈ✩‧₊˚

Suara keras menggema di luar rumah. Tok! Tok! Tok!

Terdengar seperti kayu dipukul dengan keras.

Ibu, yang sedang melipat pakaian di ruang tengah, refleks mengintip dari balik gorden. Matanya membelalak.

“Ya Allah… rentenir itu,” bisiknya lirih. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Dengan cepat ia berbalik dan berlari ke arah dapur.

"Pak! Rentenir di depan!"

Bapak yang sedang duduk di lantai, sibuk mengupas kelapa dengan parang tumpul, mendongak. Tanpa berkata-kata, ia meletakkan parangnya, berdiri, dan berjalan menuju ruang depan. Ibu mengikuti di belakang dengan langkah cepat dan gemetar.

Begitu pintu dibuka, seorang pria berbadan besar langsung menarik kerah baju Bapak.

"Mana janji lo?! Ini udah dua minggu, Bangsat!" hardik si preman sambil mendorong tubuh Bapak ke dinding.

"Maaf, Pak... Kasih kami waktu lagi... Mohon, Pak..." suara Bapak lirih, penuh harap.

Preman itu tak peduli. Dengan kasar, ia mendorong tubuh Bapak ke lantai. Tubuh Bapak terhempas keras. Ibu menjerit dan langsung memeluk suaminya yang terjatuh sambil menangis sesegukan.

“Gue udah kasih waktu ke kalian! Sekarang kalian masih ngemis minta ditunda? Enak banget hidup lo!”

Ia menoleh ke dua anak buahnya. “Geledah rumahnya! Cari barang berharga!”

Dua lelaki berpakaian gelap langsung masuk ke dalam rumah tanpa izin. Mereka membongkar lemari, laci, rak dapur, bahkan mengacak-acak isi kamar. Ibu menangis sambil memohon-mohon di bawah kaki preman itu.

“Nanti sore, Pak... ibu janji... nanti sore kami bayar. Mohon...” katanya tersedu.

Namun preman itu malah mendorong tubuh Ibu hingga terhempas ke lantai.

“Gue tunggu sore ini. Kalau lo lari... gue bakar nih rumah!”

Tanpa menunggu lagi, preman dan anak buahnya pergi. Suara motor mereka menghilang di kejauhan, meninggalkan rumah dalam kekacauan. Tetangga-tetangga yang sejak tadi menonton di halaman, hanya bisa diam, bisik-bisik satu sama lain.

Ibu, dengan tangan gemetar, berlari ke kamar dan mengambil ponsel tuanya yang baterainya tinggal satu garis. Ia menekan nama anak semata wayangnya

"Halo, Bu? Anin masih kerja..." terdengar suara Anin di seberang.

"Anin... tolong... tolongin Ibu, Nduk..." suara Ibu pecah, sesenggukan. "Bapak... Bapak dipukuli preman... sore ini harus dibayar, kalau nggak rumah kita disita. Bapak bisa dipenjara... Ibu mohon... kamu mau ya, Nduk... nikah sama Juragan Arjuna... dia... dia mau lunasin semua hutang Bapak."

Sejenak, tak ada suara dari Anin.

"Ibu mohon, Anin..." lanjut Ibu, suaranya gemetar, parau. "Keluarga kita nggak punya siapa-siapa lagi."

Anin berdiri kaku di rooftop kantor, memandang ke arah langit abu-abu. Rasanya seperti ada batu besar menghantam dadanya. Matanya panas.

"Iya, Bu..." suaranya nyaris tak terdengar. "Anin nikah sama Juragan Arjuna."

"Makasih, Nduk... makasih..." kata Ibu cepat-cepat sebelum telepon terputus.

Anin kembali duduk di kursinya. Wajahnya datar, tapi dadanya bergemuruh. Ia ingin berteriak, menghancurkan apa saja. Tapi yang bisa ia lakukan hanyalah menggenggam lengan kursinya erat-erat.

Sementara itu, di kampung...

Ibu menyalakan motor tua milik Bapak dengan sisa tenaga yang ada. Meski lututnya lemas, ia paksa tubuhnya melaju ke rumah Bu Minah. Untungnya, sejak muda Ibu memang sudah terbiasa naik motor.

Sesampainya di halaman rumah besar bercat krem itu, Ibu langsung turun dan memarkirkan motornya. Di teras, Bu Minah, ibu dari Juragan Arjuna, sedang duduk bersama suaminya, Pak Wiryono. Mereka tampak santai, minum teh dan menikmati sore.

Ibu langsung menjatuhkan diri di depan kaki Bu Minah.

“Lho, lho... ada apa, Mbakyu?” tanya Bu Minah kaget, dengan logat Jawa kental. Matanya membelalak melihat tetangganya tiba-tiba menangis tersungkur.

“Jeng... Anin siap. Anin siap nikah sama Nak Arjuna...” ucap Ibu terbata.

Pak Wiryono dan Bu Minah saling pandang. Senyum terbit perlahan di wajah mereka.

“Beneran iki, Mbakyu?” tanya Bu Minah sekali lagi, memastikan.

Ibu mengangguk kuat. “Tapi rentenir minta sore ini juga, Bu... sore ini uangnya harus ada...”

Bu Minah segera berdiri dan berjalan ke dalam rumah, mengambil ponsel dari tas tangannya. Dengan wajah serius, ia menekan tombol dan menempelkan ponsel ke telinga.

“Pulang sekarang ya, Le! Ada yang mau Ibu omongin. Sekarang juga!”

"Pulang sekarang ya, Le!" katanya lantang ke ponsel. "Ibu arep omong penting. Saiki!"

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Istri Kesayangan Juragan   Sindiran Halus.

    Bab 17.“Dek, bangun, dek... ayo sholat,” bisik Arjuna pelan, suara khas orang bangun tidur lalu mendekatkan wajahnya ke leher Anin.Hembusan nafasnya yang hangat membuat Anin menggerutu pelan. “Awas, Mas...” gumamnya, separuh kesal, separuh masih terbuai kantuk. Tubuhnya menggeliat malas, berusaha menjauh dari kehangatan Arjuna yang terlalu nyaman untuk ditinggalkan pagi-pagi begini.Tapi Arjuna tertawa pelan. “Subuh, dek. Nggak baik ditunda-tunda.”Dengan enggan, Anin mengangkat selimut, menyingkir dari pelukan suaminya. Ia duduk di pinggir ranjang, mengucek mata, lalu berdiri dan berjalan pelan ke kamar mandi. Kakinya menyeret, tapi tubuhnya bergerak mantap. Tak lama, terdengar suara kran air dan gemericik dari dalam.Sementara itu, Arjuna sudah duduk bersila di tepi ranjang, mengenakan sarung kotak-kotak dan peci hitam sederhana. Wajahnya tampak segar, bersih dari sisa kantuk. Anin keluar dari kamar mandi, wajahnya basah karena wudhu, rambutnya digelung asal. Ia memandangi Arjuna

  • Istri Kesayangan Juragan   Perubahan Sikap.

    Di antara lalu-lalang penumpang, Arjuna berdiri diam, menanti satu wajah yang paling ia rindukan. Arjuna mengenakan kemeja bersih dan celana kain sederhana, tapi sorot matanya penuh kelegaan."Anindya," gumamnya pelan.Anin menoleh ke kiri dan kanan, lalu senyumnya merekah ketika menemukan sosok yang ia cari. Ia menarik koper besar di belakangnya. Arjuna segera menyambut, tangannya meraih gagang koper dengan tenang, tanpa banyak bicara."Mas jemput aku," ujar Anin, senyumnya setengah malu."Iya. Mas nggak mungkin nggak jemput kamu," jawab Arjuna.Mereka berjalan berdampingan menuju area parkir. Mobil tua milik Bapak menunggu di bawah pohon besar. Koper-koper dimasukkan ke bagasi dengan tenang. Anin membuka pintu penumpang dan duduk, meletakkan tas kecil di pangkuannya."Ayo masuk, Dek. Udah mas siapin semuanya buat nyambut kamu."Anin masuk ke dalam mobil. Aromanya lembut, ada wangi melati yang familiar. Mobil pun melaju pelan meninggalkan stasiun."Tadi di kereta sempat tidur?" tanya

  • Istri Kesayangan Juragan   Pergi Tanpa Pamit.

    Bab 15.Ruangan kantor siang itu terasa lebih hangat dari biasanya. Meja pantry dipenuhi kotak-kotak donat berwarna pastel, dan aroma kopi sachet berbaur dengan harum gula glaze yang manis."Eh, itu donatnya ambil ya! Jangan malu-malu!" suara Anin terdengar lantang, senyumnya lebar.Teman-temannya segera mendekat, tertawa kecil, mengobrol. Beberapa bahkan dengan cepat mengunggah momen itu ke Instagram Story mereka, menandai Anin sambil menulis caption seperti ‘Bakal kangen kamu, Nin!’“Aku ambil yang green tea ya,” ujar Rio sambil mengambil satu donat dari kotak.“Silakan. Semua buat kalian kok,” jawab Anin, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh.“Aku masih shock lho, Nin. Kamu resign tiba-tiba banget,” kata Lala, salah satu rekan satu divisinya, sambil menggigit donat rasa tiramisu. “Serius, kenapa sih? Kamu dapet kerjaan baru ya?”Anin menggeleng, “Enggak. Aku cuma mau pulang kampung. Nemenin orang tua dulu.”“Wah, anak berbakti ya,” celetuk Toni dari meja belakang.“Padahal kamu sala

  • Istri Kesayangan Juragan   Mas, Kuatnya Berapa Ronde?

    Bab 14.Cuaca siang itu menyengat. Kota seperti sedang terbakar dari dalam tanah. Langit biru terang, tanpa awan, membuat suhu makin terasa menekan. Anin duduk di sudut dapur kos-kosan sambil melap keringat di dahinya. Sebenarnya hari ini dia berencana pulang ke kampung, melepas rindu pada suaminya. Tapi pesan Arjuna pagi tadi membuatnya menunda."Minggu depan aja ya, Dek. Mas masih panen. Capek banget.”Ia memutuskan untuk membuat brownies—resep simpel yang sering ia lihat di TikTok. Cokelat bubuk, gula, tepung, dan sedikit margarin yang dipanaskan. Tak sampai sejam, aroma manis mulai memenuhi dapur kecil itu.Setelah brownies selesai, Anin merapikan peralatan masak, lalu membawa loyang panas itu ke kamarnya. Ia memotret hasil kreasinya dan mengirimkannya ke Arjuna.Pesan terkirim, tapi tak centang dua. Nomor Arjuna tampaknya tidak aktif."Mungkin lagi di sawah," gumam Anin.Belum sempat dia rebahan, suara ketukan pintu terdengar.Tok. Tok. Tok."Siapa ya?" gumamnya heran.Saat membu

  • Istri Kesayangan Juragan   Ada Yang Kangen.

    Aroma mentega yang meleleh di wajan menguar ke seluruh dapur. Anin sedang membolak-balik sosis sapi dengan wajah serius, meski sesekali ia melirik roti yang sudah menguning di atas pemanggang.Tiba-tiba, dua lengan melingkar dari belakang, hangat dan erat.“Kamu masak apa, Dek?” suara serak itu membelai telinganya.Anin mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Masak sarapan lah, Mas. Masa masak bom?” sindirnya dengan nada santai, mencoba melepaskan tangan suaminya yang makin mengerat seperti ingin meremukkan tulangnya.“Ya siapa tahu kan kamu mendadak ahli kimia,” sahut Arjuna sambil mempererat pelukannya, dagunya disandarkan ke pundak istrinya.“Mas, jangan peluk terus, nanti gosong sosisnya,” keluh Anin, mencoba melepaskan diri. Tapi Arjuna seperti tak punya niat sedikit pun untuk melepaskan.“Yang gosong bukan cuma sosis, hati mas juga bisa gosong kalau kamu terus cuekin,” bisik Arjuna jahil.Anin mendelik ke belakang, lalu tertawa kecil. “Awas ya, nanti aku gosongin beneran.”Akh

  • Istri Kesayangan Juragan   Sepuluh Anak, Biar Rame.

    Bab 12.Pagi itu, matahari belum tinggi saat Bu Minah melangkah ke toko sembako langganannya. Dengan daster bermotif bunga dan tas belanja anyaman di tangan, ia langsung disambut hangat oleh beberapa ibu tetangga yang sudah duduk di bangku panjang di depan toko."Bu Minah, pelaminané kemarin apik tenan loh!" seru Bu Warti sambil nyengir lebar."Iyo, makanannya juga enak, iso nambah ping telu aku," timpal Bu Yani, tertawa kecil.Bu Minah tersipu malu. "Alhamdulillah, sing penting sampean wareg," ucapnya sambil mengibaskan ujung kerudungnya yang sedikit berdebu.Obrolan berlangsung hangat, hingga satu suara nyinyir pelan menyusup."Bu Minah, nduk Anin kuwi arep tetep nggo Jakarta maneh ta?" tanya Bu Sri, matanya menyipit.Bu Minah yang sedang memilih telur, sedikit terhenti gerakannya. "Eh... aku ya durung ngerti nduk arep piye. Tapi mungkin iya, soalnya kemaren katanya masih ada urusan di kota," "Ngono ta... soale kok kesannya ora niat ngurus Arjuna. Mosok wis dadi bojone juragan, ise

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status