Setelah Laura selesai membuatkan jus mangga, gadis manis itu berjalan seraya memegang nampan dan kembali ke ruang keluarga namun suasana di sana terlihat sepi. Membuat keningnya berkerut.
"Dimana ibu dan ka Larisa?" Laura memutuskan untuk mengantarnya ke kamar sang Kaka. Yang berada di lantai atas bersebelahan dengan kamarnya. Langkah demi langkah Laura lalui pelan menaiki tangga, sampai sepuluh menit kemudian akhirnya sampai juga. Baru saja tangannya memegang gagang pintu. Nyonya Widia yang baru saja datang pun segera menegur. "Berhenti! Jangan berani membuka atau masuk ke dalam kamar kakak mu." Suara teriakan ibunya seketika membuat Laura tersentak kaget, lalu perlahan memutar badan ke arah sumber suara yang berada di belakang. "I-ibu bukankah tadi Kaka meminta aku untuk membuatkan jus, jadi aku hanya ingin mengantarnya," Jelas Laura menatap nanar seraya memegang erat nampan dengan kedua tangannya. "Kakak mu sudah pergi, minum saja sendiri. Dan ingat jangan sesekali masuk tanpa ijin ibu," Widia mengingatkan untuk yang kedua kalinya, karena dia tidak ingin barang-barang berharga yang sudah menjadi milik Larisa di ketahui oleh Laura. Ketika mereka sedang berbicara, tuan Bastian yang baru kembali setelah memastikan beberapa hal penting untuk pesta pernikahan yang sudah di depan mata. "Laura, ini sudah malam. Kamu harus banyak beristirahat karena mulai besok banyak hal yang harus kamu lakukan sebelum tiba hari H," Titah Tuan Bastian dengan mode wajah serius dan terlihat tidak ingin di bantah. "Baik ayah," Laura patuh, lalu segera masuk ke kamar dengan beberapa pertanyaan yang masih mengganjal di hati. Karena heran melihat sang ibu yang begitu ketakutan saat ia akan membuka kamar Larisa. Nyonya Widia menghela nafas lega, karena akhirnya Laura tidak banyak bertanya lagi. "Apa ibu yakin dengan semua ini? Ayah hanya takut..." "Ayah, sudah. Percaya saja pada ibu," Bentak Nyonya memotong perkataan sang suami. Tuan Bastian pun hanya menurut saja kata-kata sang istri. Laura yang masih berdiri di balik pintu terdiam, saat mendengar ayah dan ibunya berbisik seolah-olah ada hal yang di sembunyikan darinya. Tapi dia berusaha berpikir positif mungkin hal itu hanya urusan pribadi, yang hanya boleh di ketahui oleh kedua orang tuanya saja. Mengingat hari pernikahan tinggal di depan mata, Laura sangat penasaran siapa dan sosok seperti apa putra pertama dari keluarga konglomerat yang bernama Farmosa Grup itu. Melihat laptop di meja Laura segera duduk, lalu membuka dan mengetik nama sosok pria yang kelak akan menjadi suaminya di kolom pencarian. Namun nihil, yang muncul hanya beberapa prestasi Farmosa Grup saja tidak mempublikasikan data pribadi membuat Laura semakin gelisah. Tapi demi kebaikan sang ayah dan keluarganya Laura hanya bisa pasrah dan berpikiran positif saja, jika lelaki yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya adalah pilihan terbaik. *** Waktu terus berlalu, hari yang di nanti-nanti akhirnya telah tiba. Terlihat beberapa tenaga WO tengah sibuk menata dan memastikan setiap dekorasi tertata mewah dan elegan di setiap penjuru ruangan gedung yang akan menjadi saksi bisu sebuah ikrar suci di ucapkan oleh kedua insan. Laura yang duduk di meja rias, tampak gugup dan gelisah. Gadis muda itu tak henti-hentinya menatap gambaran diri yang terpantul di depan cermin. Ketika para tenaga MUA tampak sibuk dan begitu serius menyulap wajah manis Laura dengan kedua jemari handal mereka, membuat gadis itu sangat cantik sampai aura seorang pengantin wanitanya sangat manglingi siapa yang melihatnya. "Nona, lihatlah. Anda sangat cantik, beruntung sekali calon suaminya," Fuji Carol tersenyum bahagia saat melihat hasil kinerjanya sendiri. "Benar sekali, cahaya pengantinnya terpancar jelas. Kami sangat iri jadi ingin menikah juga," Seloroh rekan Carol yang masih fokus menata rambut Laura. Suasana di dalam ruang rias terasa hangat, saat canda dan tawa menyelimuti di sana. Laura hanya mengukir senyuman tipis penuh keterpaksaan saat mendapatkan pujian-pujian mereka. Jauh dari dalam benaknya, rasa takut, gelisah dan kekhawatiran mulai bercampur aduk. Karena sebentar lagi entah kehidupan macam apa yang akan dia lalui. Karena menurutnya mengarungi bahtera rumah tangga di usia muda bukanlah hal yang mudah, apa lagi sosok pria yang akan menjadi suaminya tidak pernah dia lihat sama sekali walaupun dari selembar foto. "Ya tuhan, sosok pria seperti apa yang ayah pilihkan untuk ku?" Batin Laura, kedua jemarinya meremas erat ujung gaun pengantin berwarna putih yang terbalut indah di tubuh idealnya. Laura menatap nanar gambaran dirinya, berharap gerbang pernikahan yang akan dia lalui membawa sebuah kebahagiaan dalam hidup. Kedua alis Carol berkerut saat melihat mempelai pengantin wanita yang di rias olehnya meneteskan air mata. "Nona, anda kenapa menangis?" Laura menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan."A-aku tidak apa-apa hanya sedikit gugup saja," sahut Laura menutup rasa sedih dan memperlihatkan jika dia baik-baik saja. "Hmm, memang sudah biasa perasaan seperti itu di rasakan para calon pengantin sampai meneteskan air mata bahagia, tapi percayalah menikah itu sangat indah apa lagi dengan orang yang kita cintai." Laura semakin sedih, saat mendengar kata-kata perias wanita yang sangat handal dan sangat terkenal pilihan keluarga calon mertua. Suasana hangat di sana tiba-tiba saja hening, saat kedatangan nyonya Widia yang secara tiba-tiba. "Kalian keluarlah dulu, ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan putri ku." "Ba-baik nyonya." Kedua perias wanita itu membungkukkan badan, dan segera keluar ruangan sesuai perintah. Setelah pintu tertutup rapat, Nyonya Widia menatap tajam wajahnya tampak serius menghampiri putrinya. "Ibu ada apa?" Tanya Laura tersenyum tipis. Tak ingin berbasa-basi lagi, Nyonya Widia meminta satu hal pada Laura. Jika nanti saat upacara pernikahan dia tidak di perbolehkan membuka Bridcage viel. Kedua bola mata sipit Laura melebar, kedua alisnya berkerut saat mendengar perintah sang ibu. "Kenapa Bu?" Tanyanya dengan sikap lugu dan polos. "Pokonya ya jangan, turuti saja jangan banyak tanya lagi, paham tidak?" Bentak Widia kesal. Laura memejamkan mata sejenak wajahnya tertunduk, mengingat dulu beberapa temannya yang sudah menikah tidak boleh melanggar beberapa hal membuat ia berusaha mengerti itu. "Iya Bu, aku paham..." "Bagus," Widia bernafas lega. Suara seseorang datang mengetuk pintu membuat mereka menoleh. "Nyonya, pihak mempelai calon pria sudah datang. Mereka sudah menunggu," Ujar salah satu kepala pelayan memberitahukan di balik pintu. Widia membelalakkan mata, perlahan wanita paruh baya itu pun membuka tirai jendela dan benar saja. Terlihat beberapa mobil mewah sudah berjejer di depan kastil. "Mereka sudah datang, Laura bersiaplah. Ingat kata-kata ibu jangan di langgar dan jangan sampai membuat malu di acara pernikahan ini."Laura menarik nafas dalam-dalam, ia berusaha agar tidak menangis. Tak ingin membuat Oma curiga dia segera kembali ke dalam. "Laura! Oma sepertinya tidak bisa berada lama di sini, ada saudara sakit di luar kota yang harus di jenguk," Kata sang Oma yang mewanti-wanti. "Siapa oma? Sepertinya aku tidak bisa ikut," Laura menatap sedih. Wanita tua itu pun tersenyum dan membelai wajah cucu mantu kesayangannya lalu mengatakan jika dia tidak perlu ikut, dan lebih penting untuk menjaga kesehatan tubuhnya. Sang Oma juga mengingatkan, jika dia setelah pulang nanti berharap mendengar kabar baik. Laura mengangguk dan mengaminkan keinginan itu. Meskipun dia tahu jika semua itu tidak mungkin. Mengingat suaminya Dave, yang tidak pernah mencintainya. Setelah memberikan beberapa jamu penyubur kehamilan, Oma segera pergi Laura pun melambaikan tangannya. "Hati-hati Oma!" "Iya nak!" Laura bernafas lega, sembari menatap paperbag yang berisi ramuan penyubur kehamilan. "Kasihan sekali oma, dia
"Kau ini ceroboh sekali," Sinis Dave, yang segera melepaskan lengannya. Laura tersadar dari lamunannya lalu dia meminta maaf karena sudah membuat repot. Tanpa banyak bicara lagi, Dave bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Laura menghela nafas lega. "Ya ampun! Ada apa dengan ku? Kenapa jadi terus memikirkan mas Dave?" Laura menggelangkan kepala, entah kenapa rasa kagumnya pada sosok suaminya itu malah semakin bertambah. Meskipun beberapa kali Dave selalu sinis padanya. Baru saja Laura akan mengambil dressnya, dia terkejut saat melihat ada darah di sprei-nya, sampai spontan menutup mulut dengan kedua tangannya. "Itu." Laura terlihat sedih, setelah memakai dress. Dengan cepatnya ia membereskan sprei yang telah menjadi saksi bisu di mana dia dan Dave malam tadi menghabiskan malam bersama meskipun terjadi tanpa rasa cinta. Tak ingin membuat sang Oma menunggu, Laura segera merapihkan diri dan berusaha untuk tetap tenang lalu keluar kamar dan berjalan menuruni tang
"Mas! Ini aku Laura, bukan ka Larisa!" Laura berusaha mendorong pelan dada bidang suaminya, namun tenaganya tak sebanding dengan Dave. Lelaki yang tengah berada dalam pengaruh alkohol itu pun merobek paksa dress yang membaluti tubuh gadis itu. Air mata Laura menetes, saat Dave mencium paksa bibir, hingga menjamah leher jenjangnya sampai meninggalkan tanda-tanda merah keunguan yang terasa sangat sakit. Laura tahu jika Dave meminta haknya sebagai seorang suaminya membuat ia tidak punya alasan untuk menolak, tapi yang dia sayangkan jika dirinya di anggap sebagai Larisa, wanita yang sebenarnya di inginkan oleh suaminya itu. "Jangan mas .." Dave yang mabuk berat tidak menggubris penolakan Laura, dengan kasar ia mencum-bui setiap inchi kulit wanita yang telah telah resmi menjadi istrinya. Tubuh Laura gemetar, wajah manisnya tampak pucat. Rasa takut menyelimuti dirinya saat ini ketika Dave melonggarkan dasi lalu melemparkan satu persatu pakaiannya ke sembarang arah. Laura menggeleng
Perkataan Dave masih mengiang ditelinga, membuat Laura seketika terbuyar dari khayalan indahnya. Dan kembali fokus berbincang dengan nyonya Cristine.Ketika kedua wanita itu tengah sibuk berbincang, terlihat Dave yang sudah berdiri sempoyong dan hampir terjatuh. Beruntung Laura segera gesit menghampiri. "Mas! Apa kamu tidak apa-apa?" Laura terlihat sangat cemas. Dave yang sudah mulai mabuk pun tanpa sadar menepis tangan Laura, membuat Mr. Andrew dan istrinya saling menatap dengan kening yang mengerut. Wajah Laura memucat, tidak ingin kolega Dave sampai curiga dengan hubungan mereka. Laura pun segera menghubungi Rio agar membantu sang suami untuk di bawa pulang, setelah pamit pada kolega itu. Rio yang baru saja datang, dengan cepatnya ia menghampiri lalu meminta maaf pada Laura karena sedikit terlambat. "Nyonya Mari saya bantu," kata Rio dengan penuh hormat. Laura hanya mengangguk, Dave terus Meracau dengan sebuah nama yang sangat asing untuk Laura. Ingin sekali Laura bertanya si
"Sayang!" Laura tersontak kaget, saat mendengar panggil suaminya yang begitu lembut layaknya seperti suami pada umumnya yang sangat mencintai istrinya. Meskipun ia tidak tahu jelas dengan raut wajah Dave seperti apa di balik topeng, tapi sebagai seorang istri Laura sudah bisa menerimanya dengan tulus. Tak ingin membuat Dave kecewa, Laura pun perlahan meraih uluran tangan suaminya, dengan sangat pelan lengan Dave mulai meraih dan melingkar di pinggang ideal sang istri. Sampai membuat Laura tertegun, saat tubuh mereka bertemu tanpa menyisakan ruang sedikit pun membuat hati gadis manis itu berdebar-debar tak menentu. Pandangannya dengan Dave saling bertemu, perlahan Laura mengalungkan kedua lengannya di rahang tegas Dave. Suara musik mulai menggema, Langkah Laura mulai mengikuti alunannya. Untuk pertama kalinya ia kembali berdansa setelah lama tidak. Jantung berdegup dua kali lebih kencang, senyum manis terpancar di wajahnya meskipun dia tahu mereka saat ini sedang bersand
Satu pekan kemudian, Dave masih duduk menunggu di ruang keluarga bersama dengan ayah ibu dan juga neneknya. Lelaki berparas misterius itu tampak muram saat menatap layar ponselnya. Apa lagi mengingat dalang dari orang yang mencelakai-nya masih belum di temukan oleh para pengawalnya. Sebelum dia berangkat Oma-nya mewanti-wanti lebih dulu jika Dave harus bersikap lembut pada istrinya. Mengingat koleganya Mr. Andrew yang di kenal dengan sikapnya yang penyayang istri. Membuat wanita tua itu sedikit cemas. "Dave! Kamu dan Laura harus menjaga hubungan di depan mereka, jangan membentak Laura di depan mereka," Imbuh sang Oma menatap serius. "Aku tahu," Dave menyahut singkat tanpa ingin banyak bicara lagi. Ketika semuanya tengah berbicara serius. Laura yang baru saja selesai berdandan di bantu oleh para pelayan, kini gadis itu perlahan mulai berjalan menuruni tangga. "Tuan, nyonya sudah siap," Ujar salah satu pelayan memberitahukan. Seketika semua perhatian teralihkan p