Bara mengucapkan kata itu dengan wajah yang terlihat sangat serius. Membuat Gina menarik napas panjang."Lalu Karina?""Karina akan menikah, Haris tidak!""Kalau apa yang aku khawatirkan ternyata menjadi kenyataan, Bagaimana?" sergah Gina seraya menatap mata sang suami."Tidak akan aku biarkan itu menjadi kekhawatiran bagimu.""Caranya?""Gina, kau tahu aku, kan? Aku bukan tipe pria yang mudah menarik lagi kalimat yang sudah aku ucapkan."Sambil berkata demikian, Bara memegang kedua pundak sang istri berharap istrinya percaya dengan apa yang dikatakannya. "Iya. Aku tahu. Kamu bukan tipe pria seperti itu, meskipun manusia kadang sulit ditebak isi pikirannya tapi aku akan percaya padamu.""Lalu masalah Haris bagaimana?"Bara masih belum puas dengan apa yang mereka bahas sebelumnya."Ibu bilang, jangan lupa berdoa sebelum tidur, meskipun yang ibu dengar itu suara dari akibat apa yang kita lakukan, tapi, apa yang ibu khawatirkan itu beralasan.""Suara derit papan?"Gina mengangguk. "Bai
Terdengar ketukan di daun pintu kamar. Membuat Bara dan Gina sama-sama terlonjak dan buru-buru membenahi pakaian mereka masing-masing. Belum lagi mereka berhasil menetralisir perasaan mereka, tiba-tiba saja, suara ibu Gina terdengar dari luar diiringi ketukan di pintu kamar itu beberapa kali kembali. "Ya, Bu. Sebentar!"Terpaksa Gina menyahut, ia menyambar selimut lalu meminta Bara naik ke atas tempat tidur setelah itu terburu-buru ia menyelimuti sang suami agar ibunya tidak tahu bahwa pakaian Bara tidak karuan.Usai melakukan semua itu, Gina segera melangkah ke arah pintu dan membukanya setelah memastikan pakaiannya rapi. "Iya, Bu. Ada apa?" tanyanya ketika pintu kamar sudah ia buka. "Oh, kalian sudah tidur?""Baru mau, Bu. Tapi, kayaknya, Bara sudah tidur.""Ini, obat herbal buat tangan suami kamu, sepertinya saat mencuci piring, tangannya terluka, ada darah di pecahan kaca, hanya suamimu yang di dapur dan mencuci piring. Kamu tidak tahu?""Eh? Benarkah?" kata Gina tidak bisa m
Gina mengerutkan keningnya ketika mendengar Bara bicara seperti itu padanya. Merasa tidak mengerti, apa yang dibicarakan oleh sang suami padanya."Aku pria yang tidak bisa romantis, aku juga tidak bisa melakukan tugas ayah dan suami dengan baik, selama ini aku terkesan dingin, dan tidak peka, aku juga arogan, setiap ada yang membantahku, aku selalu merasa tidak puas. Tapi-""Tidak masalah. Dari semua sifatmu itu, beberapa juga aku suka, kau yang seperti itu sudah aku suka, tampilan mu yang dingin itu juga tidak buruk, dingin pada perempuan lain tapi hangat denganku, aku suka."Gina bicara dengan sungguh-sungguh menanggapi apa yang dikatakan oleh Bara."Kamu serius?""Apakah aku terlihat main-main?"Bara menggeleng. "Sebenarnya, ibu tadi mengatakan sesuatu padaku."Sembari bicara seperti itu, Gina menundukkan kepalanya."Apa yang ibu katakan?"Dengan cemas, Bara melontarkan pertanyaan, dan Gina mengangkat wajahnya lagi hingga pandangan mata mereka bertemu.Sesaat kemudian, mengalir l
"Sini aku bantu."Suara Bara membuat Gina tergagap dari lamunannya. Tangannya masih menutup pakaian tidurnya yang terbuka kancingnya karena tadi ia ingin mengoleskan ramuan obat itu pada puting susunya yang sakit. Bara duduk di hadapan sang istri dengan mata yang bersinar lembut saat menatap Gina.Membuat perasaan Gina semakin tidak karuan."Kamu pasti capek, kamu istirahat aja."Gina menolak karena rasa malu itu masih mendominasi setiap kali Bara melihat tubuhnya."Kamu lebih capek dari aku, Sayang. Kita sama-sama capek, jadi sama-sama harus istirahat, sini aku bantu."Tanpa peduli dengan perasaan Gina yang tidak karuan, Bara langsung menyingkirkan tangan Gina yang merapatkan pakaian atasnya yang kancingnya terbuka. Sekarang, Bara sudah berhasil membuat Gina tidak merapatkan pakaiannya dan wajah Gina merah ketika Bara mulai mengoleskan ramuan obat itu pada salah satu putingnya yang sakit.Perempuan itu hanya mengernyit menahan sakit ketika Bara melakukan hal itu pada puncak dadanya
"Bu, dia ngomong apa aja sama kalian?" tanya Gina seraya menatap wajah ibunya."Banyak. Tapi, yang masuk ke dalam hati Ibu adalah, dia bilang, Bara menikah dengan kamu hanya karena anaknya menyukai kamu, bukan dirinya.""Terus, Ibu percaya?""Sebenarnya tidak juga, tapi sejujurnya kepikiran juga, Sayang, karena pernikahan kamu ini memang sangat membuat terkejut kami semua.""Apa sampai sekarang, Ibu tetap berpikir seperti itu?""Tidak setelah melihat Bara mencuci piring.""Benarkah?""Gina, Bara itu seorang CEO, dia terbiasa hidup mewah, Ibu bisa bertaruh dia tidak mungkin pernah mencuci piring sebelumnya di rumah, kan? Apalagi sikapnya itu juga tidak banyak bicara, melihat dia melakukan hal itu, entah kenapa rasanya Ibu jadi merasa bersalah meragukan ketulusannya."Gina menarik napas lega mendengar apa yang diucapkan oleh sang ibu. Sesuai dengan apa yang ia pikirkan."Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu, Bu. Pada awalnya, setiap hari pikiran itu menyelimuti, dan mempengaruhiku,
"Keputusan ku tetap sama. Enggak ada yang berubah, jadi tidak perlu dipertanyakan lagi."Karina menyahut dengan datar. Tangannya sibuk dengan ponselnya dan Farrel tidak tahu, apa yang sedang diperhatikan oleh Karina di benda itu."Foto prewedding juga kamu tidak mau melakukannya, rasanya sedikit aneh, mengingat tidak mungkin seorang Karina tidak melakukan sesi itu.""Kalau kamu tidak setuju, ya batal saja! Aku akan cari pria lain yang mau menikah sama aku tanpa cerewet seperti kamu."Suara Karina menjadi ketus, membuat Farrel menghela napas. Setiap ia mempermasalahkan hal itu, tanggapan Karina pasti tidak nyaman untuk didengar.Jika tidak dihentikan, akan menjadi sebuah pertengkaran dan Farrel tidak mau itu terjadi. Bagaimanapun, bisa menikah dengan Karina adalah hal yang paling ia tunggu. Meskipun ia tahu, Karina masih mencintai Bara, tapi Farrel yakin suatu saat mereka akan bersama dalam situasi saling mencintai."Maaf. Aku tidak akan mempermasalahkan hal itu lagi."Dengan nada sua