Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s
Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele
Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia
Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan
Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana
Mariana tak ingat kapan tepatnya ia tertidur. Tubuhnya setengah bersandar di sisi ranjang sambil menggenggam tangan kecil Noel yang sudah terlelap, sementara Elhan tidur memunggunginya di sisi lain.Hanya satu lampu tidur menyala lembut di pojok kamar. Suasana di kamar begitu hening, sampai—BRAK!Sebuah suara keras dari arah ruang keluarga membuat Mariana sontak terjaga. Ia terlonjak, jantungnya berdebar kencang.Lalu terdengar teriakan nyaring dan tajam.“Aku sudah cukup! Kalian semua gila!”Lalu menyusul satu kalimat yang terdengar begitu jelas dan menusuk telinga.“Toh, Elhan juga bukan anak Mariana, ‘kan?”Mariana membeku.Jiwanya belum sepenuhnya sadar, tapi kalimat itu menggema terlalu keras untuk bisa ia abaikan. Jantungnya mencelos, lalu mendadak terbakar oleh kemarahan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.‘Apa yang barusan dikatakan perempuan itu? Bukan anakku? Elhan—bukan anakku?’Dengan tubuh yang gemetar oleh amarah, Mariana bangkit berdiri dan berlari keluar dari kam