Hari-hari di kediaman Irene terasa lambat bagi Sandra. Di rumah itu, Irene selalu memperlakukannya dengan hangat, seolah Sandra adalah bagian dari. Berbeda jauh dari Bram, yang menganggapnya orang asing.
Di mata Irene, mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang menyesuaikan diri. Tapi hanya Sandra yang tahu, pernikahan ini hanyalah kesepakatan tanpa cinta.
Pagi itu, Sandra membantu Irene di dapur. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba menepis resah yang terus menghantui.
“San, kamu tidak perlu repot-repot begini,” ujar Irene lembut.
Sandra tersenyum kecil. “Sandra senang membantu, Ma.”
Irene tertawa pelan, matanya penuh kasih. “Kamu itu pengantin baru. Tugas kamu cuma satu, kasih Mama cucu yang lucu.”
Hati Sandra mencelos. Sandra menelan ludah, menyembunyikan luka di balik senyum tipis.
“InsyaAllah, Ma…”
Irene hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Menjelang siang, Sandra memilih naik ke kamar. Kakinya melangkah pelan, menahan rasa mual yang mulai datang tanpa sebab. Sesampainya di kamar, Bram sudah ada di sana, duduk di ranjang, memangku laptop, dengan wajah yang sama dinginnya seperti biasa.
Sandra tak berharap ada sapaan, apalagi perhatian. Ia sudah terbiasa dengan kebisuan di antara mereka.
Namun, rasa mual di perutnya semakin menjadi. Tanpa sempat berkata apa-apa, Sandra berlari ke kamar mandi. Tubuhnya limbung, tangannya mencengkeram wastafel saat muntah mengguncang perutnya.
Bram melirik sekilas, sebelum akhirnya menutup laptop dan berdiri.
“Ikut saya,” ucapnya dingin.
Sandra menoleh, napasnya masih memburu. “Ke mana, Mas?”
“Ke rumah sakit,” nada suaranya tak bisa dibantah.
Sandra menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Mungkin cuma masuk angin.”
Bram mendengus pelan. “Atau kamu sengaja mengulur waktu biar lebih lama terikat dengan saya? Saya cukup tau otak perempuan seperti kamu.”
Sandra menahan napas. Matanya memanas, “Kenapa kamu selalu berprasangka buruk, Mas?” lirihnya.
Bram tak menjawab. Hanya tatapan dingin yang ia berikan sebelum melangkah keluar lebih dulu.
Di dalam mobil, Sandra menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menahan getar di dadanya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru mengedipkan mata. Sandra menunduk, menahan rasa sakit di dadanya. Ia ingin menangis, tapi sudah terlalu lelah untuk berdebat. -----
Setibanya mereka di Rumah Sakit, Bram langsung turun dari mobil tanpa menunggu Sandra. Ia berjalan ke meja pendaftaran, sementara Sandra hanya bisa pasrah menunggu. "Ibu Sandra Adriani, diharap masuk ke klinik satu," suara perawat menyadarkannya. Dengan langkah ragu, Sandra masuk ke ruangan dokter. Ia terkejut saat melihat Bram sudah duduk di sana, menunggunya. "Siang, Ibu Sandra," sapa dokter dengan ramah. "Siang, Dok." "Apa keluhan yang Ibu rasakan belakangan ini?"
“Keluhan saya pusing, mual, badan cepat lelah, Dok.” Dokter tersenyum ramah. "Baik, Ibu Sandra, saya akan melakukan pemeriksaan lebih dulu. Silakan berbaring di tempat tidur periksa." Sandra menurut, berbaring sesuai arahan dokter. Seorang perawat mendekat, membantu memasangkan alat pengukur tekanan darah di lengannya. "Saya akan cek tekanan darah dulu, ya, Bu," ujar perawat sambil memompa alat tersebut. Sandra mengangguk pelan. Setelah beberapa detik, perawat mencatat hasilnya dan menyerahkan kembali kepada dokter. "Tekanan darah Ibu cukup normal, tapi saya juga perlu melakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan kondisi Ibu. Apakah akhir-akhir ini siklus haid Ibu teratur?" tanya dokter. Sandra berpikir sejenak sebelum menjawab, "Seharusnya bulan ini sudah datang, Dok, tapi sampai sekarang belum juga." Dokter mengangguk sambil mencatat. "Baik, sekarang saya akan melakukan pemeriksaan USG untuk melihat lebih jelas kondisinya. Silakan naik ke bed dan sedikit turunkan bagian pinggang pakaian Ibu, ya." Sandra menurut, sementara dokter menyalakan alat USG dan mengoleskan gel dingin di perutnya. Ia sedikit menggigit bibir bawah, merasa gugup. Bram yang duduk di kursi tetap diam tanpa ekspresi, tapi tatapannya sekilas tertuju pada layar. Dokter mulai menggerakkan alat pemindai di atas perut Sandra, memperhatikan layar dengan seksama. Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya dokter tersenyum. "Dari hasil USG, terlihat ada kantung kehamilan yang mulai terbentuk. Selamat, Ibu Sandra. Saat ini usia kandungan Ibu sekitar tiga minggu." Sandra terdiam, matanya membulat tak percaya. "Jadi... saya benar-benar hamil, Dok?" "Iya, Bu. Tapi karena usia kandungan masih sangat muda, saya sarankan untuk lebih banyak beristirahat, menghindari stres, dan mulai mengonsumsi vitamin kehamilan. Saya akan resepkan beberapa suplemen yang dibutuhkan," jelas dokter dengan nada tenang. Sandra mengangguk pelan, masih berusaha mencerna kabar yang baru saja ia dengar. Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Di dalam sana, ada kehidupan yang sedang tumbuh—sebuah keajaiban kecil yang tak pernah ia sangka akan hadir secepat ini. Ia menoleh ke arah Bram, berharap melihat sedikit perubahan di wajah pria itu. Mungkin secercah keterkejutan, kebahagiaan, atau setidaknya kepedulian. Namun, yang ia temukan hanyalah ekspresi datar, tanpa emosi. Bram hanya mengangguk kecil, seolah kabar ini tak berarti apa pun baginya. "Terima kasih, Dok," ucapnya singkat sebelum berdiri. Sandra menunduk, menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia ingin meyakini bahwa kehadiran anak ini akan mengubah segalanya, bahwa Bram akan melihatnya dengan cara yang berbeda. Namun, melihat sikap suaminya sekarang, harapan itu terasa begitu jauh. Saat melangkah keluar dari ruang pemeriksaan, tangannya masih tetap bertengger di perutnya. Ia mengusapnya lembut, seolah sedang berbicara dengan kehidupan kecil yang baru mulai tumbuh di sana. Anakku, apakah kamu bisa mendengar Mama? Tolong tumbuhlah dengan baik, ya. Semoga kehadiranmu bisa menyentuh hati Papa... ----- Setelah mengantar Sandra pulang, Bram tak langsung kembali ke rumah. Alih-alih, pria itu justru melajukan mobilnya ke arah lain, menuju tempat yang selama ini menjadi pelariannya. Pikirannya berkecamuk. Ia tak menyangka Sandra benar-benar mengandung anaknya. Bukankah ini yang ia inginkan? Semakin cepat Sandra hamil, semakin cepat pula ia terbebas dari pernikahan yang dipaksakan ini. Namun, kini saat itu benar-benar terjadi, hatinya terasa aneh. Bram mengepalkan setir, rahangnya mengeras. Ia menginginkan seorang anak, penerus yang akan membawa nama keluarganya. Tapi, bukan dari Sandra. Bukan dari wanita yang ia benci. Sandra, baginya, hanyalah wanita yang menerima perjodohan ini demi harta. Wanita itu merusak segalanya, menghancurkan kebahagiaan yang seharusnya ia miliki bersama Miranti. Jika Sandra memang wanita baik-baik, seharusnya dia menolak perjodohan itu sejak awal, bukan justru menerimanya dengan begitu mudah. Pikirannya terus berputar, semakin membuat dadanya sesak. Tanpa sadar, kecepatan mobilnya bertambah. Hingga akhirnya, ia tiba di apartemen Miranti. Apartemen mewah itu berjarak tak terlalu jauh dari mansion-nya. Bukan kebetulan—Bram sendiri yang memilih dan membelikan tempat ini untuk Miranti. Ia ingin selalu bisa menemui wanita itu kapan pun ia mau, tanpa hambatan. Begitu pintu apartemen terbuka, sosok Miranti langsung menyambutnya dengan pelukan erat. Wanita itu masih mengenakan gaun satin tipis, aroma parfumnya menyapa Bram dengan lembut. "Kamu lama sekali," gumamnya manja. Bram menghela napas, membiarkan Miranti menyandarkan kepalanya di dadanya sebelum akhirnya ia mengecup puncak kepala wanita itu. "Aku harus mengantar Sandra pulang dulu," jawabnya jujur. Mendengar nama itu, ekspresi Miranti berubah seketika. Ia melepas pelukannya dan menatap Bram dengan mata menyipit. "Kapan kamu akan menceraikannya?" tuntutnya, kali ini tanpa nada manja. Bram sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Dengan tenang, ia mengusap pipi Miranti, mencoba menenangkannya. "Sabarlah, Mir. Setelah anak itu lahir, semuanya akan berakhir." Miranti membelalakkan mata. "Dia hamil?" Bram mengangguk. "Iya. Dan ini membuat segalanya menjadi lebih mudah. Aku hanya perlu menunggu sampai anak itu lahir, lalu aku akan menceraikannya." Miranti mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban Bram. "Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak sekarang saja?" Bram menghela napas. "Karena wasiat itu, Mir. Aku terpaksa menikahinya karena ayahku mengancam akan mencabut hak warisku jika aku tidak mengikuti perintahnya. Tapi, setelah anak itu lahir, semuanya akan kembali ke tanganku. Aku bisa menceraikannya, dan kita bisa bersama tanpa ada lagi yang menghalangi." Miranti masih tampak ragu. Ia menatap Bram dalam-dalam, mencari kepastian di mata pria itu. "Aku hanya takut, Bram... Takut kamu malah jatuh cinta padanya." Bram tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Miranti erat. "Mir, kamu lihat aku." Ia menatap wanita itu dalam-dalam. "Di mataku hanya ada kamu seorang. Sandra tidak ada artinya bagiku. Aku akan selalu mencintai kamu, hanya kamu." Mendengar itu, Miranti akhirnya tersenyum. Ia memeluk Bram erat, membenamkan wajahnya di dada pria itu. "Baiklah," bisiknya. "Aku percaya padamu." Bram membalas pelukannya, mengecup puncak kepala Miranti dengan lembut. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan—sesuatu yang terasa mengganjal. Ia ingin percaya bahwa Sandra hanyalah batu sandungan sementara. Tapi kenapa... ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa tidak tenang?
Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany
Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su
Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan
Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa
Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s