/ Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / MEMENDAM KEBENCIAN

공유

MEMENDAM KEBENCIAN

작가: Ayuwine
last update 최신 업데이트: 2025-06-23 06:37:59

“Tasya… kamu tega banget ngomong kayak gitu ke kakakmu sendiri!” seru salah satu ibu dengan nada tinggi. “Nggak tahu malu ya? Udah dibantuin, eh malah marah-marah begitu!”

“Iya, ih!” sambung ibu lainnya, menyambung dengan nada kesal. “Udah dibantu, disiapin semuanya juga, kok malah nggak bersyukur! Harusnya berterima kasih, bukan malah ngamuk!”

“Kalau dipikir-pikir ya… pasti semua biaya acara ini juga dari Bu Nadia!” celetuk yang lain lagi. “Nggak mungkin kamu bisa bikin acara semewah ini sendirian!”

“Tasya… tega ya kamu berkata seperti itu?” bentak Udin tiba-tiba, sorot matanya tajam menatap istrinya. “Tega sama kakakmu sendiri! Kakak yang selama ini begitu baik, rela melakukan apapun untukmu! Dan ini balasanmu? Nggak tahu diri! Nggak tahu malu!”

Telunjuknya terarah tepat ke wajah Tasya, membuat semua ibu-ibu yang hadir menyorakinya dengan nada kecewa dan cemoohan.

Beberapa bahkan menggeleng-gelengkan kepala, merasa tak habis pikir.

Namun, tiba-tiba…

“Tasya…” suara lembut Nadi
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

최신 챕터

  • Sekarang Giliranku   AMERIKA

    Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku

  • Sekarang Giliranku   MASA LALU YANG TAK PERNAH BERAKHIR

    "Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta

  • Sekarang Giliranku   MASALALU MENJADI BOOMERANG

    "Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak

  • Sekarang Giliranku   (KEHIDUPAN TASYA)SEMUANYA PASTI AKAN BERBALIK

    Udin hanya menatap sekilas, lalu berlalu begitu saja. Hati Tasya terasa diremas sakit, tentu saja. Namun, ia berusaha sabar. Ia mencoba mengerti, mungkin suaminya sedang kelelahan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah dengan gontai, mengikuti Udin ke dalam kamar. Di dalam kamar, suara air bergemericik menandakan bahwa Udin sedang mandi. Dengan telaten, Tasya membereskan baju-baju suaminya yang berserakan di lantai. Tanpa sengaja, tangannya menjatuhkan sebuah kertas dari saku kemeja Udin. Tasya mengernyit. "Apa ini?" bisiknya bingung. Tanpa pikir panjang, ia membuka lipatan kertas itu. Ternyata, itu adalah surat pembelian emas namun tanggalnya menunjukkan pembelian itu dilakukan sebulan yang lalu. "Apa?" ucapnya lagi, kaget. Ia bingung. Untuk siapa? Atau milik siapa? Pintu kamar terbuka. Udin berdiri terpaku di ambang, menatap sang istri yang tengah memegang surat pembelian itu. Tasya menatapnya dengan penuh tanya. “Mas…” panggilnya pelan. Namun belum sempat ia melanjut

  • Sekarang Giliranku   TUJUH TAHUN KEMUDIAN

    Seminggu telah berlalu. Segalanya tampak berjalan dengan baik. David dan Nadia perlahan mulai menerima kepergian Susi dengan hati yang lebih ikhlas. Rasa duka itu masih ada, tapi kini tersimpan lebih dalam mereka memilih untuk terus melangkah demi masa depan yang sedang mereka bangun. Kandungan Nadia pun terus dipantau secara rutin. Bayi dalam rahimnya tumbuh sehat dan aktif. Hal itu menjadi cahaya baru dalam hidup mereka, harapan yang membuat langkah mereka tetap tegak meski diterpa kehilangan. Nadia pun mulai memberikan perhatian lebih pada Vivi. Ia masih ingat betul kejadian waktu itu saat Vivi marah dan menunjukkan kecemburuan terhadap bayi yang belum lahir. Nadia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia sadar, cinta tak hanya soal membagi waktu, tapi juga menjaga perasaan setiap hati yang terlibat. Meski hingga kini David dan Nadia belum tahu siapa yang menghasut Vivi, siapa yang menanamkan rasa cemburu itu, Nadia memilih untuk percaya. Percaya bahwa mungkin,

  • Sekarang Giliranku   SALAH LAWAN

    “David… aku mohon, maafkan aku…” Suara Hana bergetar, nyaris tenggelam dalam isak tangisnya yang pecah. “Tolong bebaskan aku. Aku janji… aku akan pergi jauh dari sini. Aku akan kembali ke Amerika… aku akan menjauh… membuat hidup kalian tenang. Aku mohon… David… aku mohon…” Tangisnya tak tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar hebat. Suaranya penuh ketakutan dan permohonan yang tulus atau setidaknya tampak tulus. Matanya menatap David penuh harap, berharap ada sedikit belas kasihan. Sedikit saja… agar ia bisa lepas dari mimpi buruk ini. Namun David tidak bergeming. Tatapannya tetap dingin, dan nada suaranya… menghantam keras seperti palu. “Kalau aku membebaskanmu…” Ia menatap lurus ke mata Hana. “…apakah ibuku akan kembali?” Sekejap, dunia seakan membeku. Kalimat itu memukul keras, menembus dada Hana hingga ke tulang. Tubuhnya langsung membungkam. Bibirnya menutup rapat. Perlahan, ia menggeleng lemah… tak mampu menjawab. Tangisnya kembali pe

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status