Share

Part 4

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2025-05-17 10:36:22

Bab 4

"Jadi, sekarang apa rencanamu, Angkasa?" tanya Papa dingin.

Aku mengepalkan tangan. "Aku akan ke terminal, Pa. Kalau dia benar naik elf ke kota, aku harus cari jejaknya dari sana."

Papa menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Baik, Papa akan ikut."

Aku terkejut. "Pa—"

"Jangan membantah. Ini urusan keluarga, dan Papa tidak akan membiarkan menantu Papa sendirian di luar sana dalam kondisi seperti ini," tegasnya.

Aku tak punya pilihan selain mengangguk. "Baik, Pa. Kita berangkat sekarang."

Aku dan Papa segera keluar rumah. Langit mulai gelap, dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jantungku berdebar kencang saat kami masuk ke dalam mobil. Aku hanya bisa berharap Cahaya baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan ke terminal, aku mencoba menyusun kemungkinan—ke mana Cahaya pergi, apa yang dia pikirkan, dan yang paling penting, kenapa dia meninggalkanku? Aku tahu aku salah karena terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku tahu aku telah mengabaikannya, tapi aku tidak menyangka dia akan pergi sejauh ini.

Papa mengemudi dengan rahang mengatup rapat. Tidak ada percakapan di antara kami selain suara mesin mobil yang melaju membelah jalanan.

Begitu sampai di terminal, aku langsung keluar tanpa menunggu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari seseorang yang mungkin melihat Cahaya. Terminal masih cukup ramai meskipun suasana sudah malam.

Aku berjalan cepat ke loket tiket dan bertanya pada petugas. "Pak, maaf, tadi siang atau sore apa ada perempuan hamil naik elf ke kota?"

Petugas itu berpikir sejenak sebelum menjawab, "Banyak, Mas. Ciri-cirinya seperti apa?"

Aku menelan ludah, mencoba mendeskripsikan Cahaya dengan cepat. "Perempuan muda, perutnya sudah cukup besar, wajahnya pucat, mungkin terlihat lelah."

Petugas itu mengerutkan dahi. "Oh, saya tidak yakin melihatnya, Mas. Kalau perempuan hamil ya memang banyak."

Aku mengumpat pelan. "Baik, Pak, terima kasih infonya."

Selain ke penjaga loket, aku juga bertanya pada ibu penjual warung. bahkan bertanya pada juru parkir, tapi semuanya menjawab sama. Perempuan hamil itu banyak, jadi mereka tidak memperhatikannya satu persatu.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri yang semakin gelisah. Seorang juru parkir yang kutanya menatapku dengan penuh selidik.

"Mas punya fotonya?"

Aku tercekat. Sial. Aku tidak punya satu pun foto Cahaya di ponselku. Aku terlalu membencinya, bahkan untuk sekadar menyimpan fotonya pun tidak pernah terpikirkan.

"Sayangnya, saya nggak punya foto sama sekali," gumamku lirih, merasa kesal pada diri sendiri.

Juru parkir itu mengangguk pelan. "Kalau nggak ada foto, agak sulit, Mas. Tapi kalau tadi sore, saya sempat lihat ada perempuan hamil duduk di bangku dekat pintu masuk terminal. Dia kelihatan capek banget, kayak habis jalan jauh."

Jantungku berdebar. "Perempuan itu naik kendaraan apa, Pak?"

"Setahu saya, dia naik bus antarkota ke arah timur," jawabnya.

Aku menelan ludah. Timur? Ke mana? Aku melirik Papa yang sejak tadi mendengar percakapan kami. Matanya menatapku tajam, seolah tahu pikiranku sedang kacau.

"Ada berapa rute ke arah timur, Pak?" tanyaku cepat.

"Banyak, Mas. Tapi kalau dia naik bus ekonomi, kemungkinan dia turun di terminal kecil sebelum kota besar."

Aku mengacak rambut frustrasi. "Terminal kecil? Terminal mana?"

"Terminal Jati, Mas. Sekitar dua jam dari sini kalau lancar."

Aku dan Papa saling berpandangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung menggenggam ponsel dan bersiap melangkah.

"Kita ke sana, Pa."

Papa mengangguk. "Ayo, sebelum semakin malam."

Tanpa membuang waktu, kami kembali ke mobil dan melaju ke Terminal Jati. Semoga Cahaya masih di sana. Semoga aku belum terlambat.

Perjalanan ke Terminal Jati terasa lebih panjang dari seharusnya. Aku terus menatap jalanan di depan dengan perasaan gelisah yang semakin menjadi. Semakin jauh mobil melaju, semakin kuat pula rasa takut yang menggerogoti pikiran.

Sesampainya di sana, aku langsung keluar dari mobil, tak peduli udara malam yang semakin menusuk tulang. Terminal Jati lebih sepi dibandingkan terminal sebelumnya, hanya ada beberapa orang yang masih duduk di bangku panjang, entah menunggu atau sekadar beristirahat.

Aku dan Papa segera mencari informasi, bertanya ke setiap petugas, pedagang, dan orang-orang yang mungkin melihat Cahaya. Tapi jawaban mereka semua sama—tidak ada yang benar-benar memperhatikan seorang perempuan hamil yang mungkin lewat di sini.

Aku mulai putus asa. Mataku menelusuri setiap sudut terminal, berharap menemukan satu petunjuk kecil yang bisa mengarahkanku padanya. Namun, hasilnya tetap nihil.

"Pa, gimana ini?" suaraku bergetar, lelah dan frustrasi bercampur jadi satu.

Papa menatapku dengan sorot mata lelah. "Kita pulang dulu, Angkasa. Sudah terlalu malam. Kita coba cari lagi besok pagi."

Aku ingin membantah. Aku ingin tetap di sini sampai aku menemukan Cahaya. Tapi aku juga tahu, bertahan di tempat ini tanpa arah hanya akan sia-sia.

Dengan langkah berat, aku kembali ke mobil. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus dipenuhi bayangan Cahaya. Di mana dia sekarang?

Begitu sampai di rumah, aku dikejutkan oleh suara tangisan Mama.

"Kalian udah pulang, mana Cahaya? Mana Cahaya?" tanya Mama dengan nada menuntut.

Aku hanya diam merasa bersalah.

"Cahaya belum ketemu, Ma," sahut Papa membuat Mama semakin histeris.

"Astagfirullah, Cahaya... Cahaya..." Mama menangis tersedu di ruang tamu, tiba-tiba Mama memegangi dadanya yang tampak naik turun dengan napas tersengal.

"Mama!" Aku langsung berlari menghampirinya. "Mama kenapa?"

"Mama takut terjadi sesuatu sama dia... Mama takut..."

Papa segera duduk di sampingnya, menepuk punggungnya dengan cemas. "Tenang, Ma... Tenang dulu..."

Tapi Mama menggeleng. "Pa, Dada Mama sakit... Sakit sekali..."

Aku panik melihat kondisi Mama yang tak karuan. "Pa, kita harus bawa Mama ke rumah sakit!"

Tanpa pikir panjang, aku dan Papa segera membantunya berdiri, lalu membawanya ke mobil.

Aku menyetir dengan kecepatan lebih dari biasanya, menembus jalanan malam yang sepi. Napas Mama masih tersengal, tangannya menggenggam dada dengan erat. Di jok belakang, Papa terus menenangkan Mama, meskipun aku tahu hatinya pun pasti kacau.

Begitu sampai di rumah sakit, aku langsung turun dan berlari ke pintu IGD. "Dokter! Tolong! Mama saya sakit!"

Beberapa perawat segera menghampiri dengan kursi roda. Mereka membawa Mama masuk, sementara aku dan Papa hanya bisa menunggu di luar dengan perasaan was-was.

Aku duduk di bangku tunggu dengan kepala tertunduk, tanganku mencengkeram rambutku sendiri. Rasanya aku baru saja kehilangan Cahaya, dan sekarang Mama dalam kondisi seperti ini. Semua terasa begitu berat.

Papa menepuk bahuku.

Aku mendongak, menatapnya dengan mata merah. "Aku nggak bisa tenang, Pa. Aku nggak tahu Cahaya ada di mana, dan sekarang Mama..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47B (END)

    "Biar Mama juga ikut main air," jawab Angkasa sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air bersama Cahaya dalam gendongannya. Altair bertepuk tangan melihat itu. "Ma-ma! Ma-ma-ma!" Cahaya akhirnya menyerah dan menikmati waktu mereka bertiga di laut. Angkasa tak henti-hentinya memeluk dan mencium istrinya, memastikan Cahaya tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Mereka tertawa bersama, membiarkan ombak kecil membasahi tubuh mereka. Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk bertiga di atas pasir, menikmati pemandangan langit jingga yang indah. "Aku nggak mau momen ini berakhir," bisik Cahaya, menggenggam tangan Angkasa erat. Angkasa mencium punggung tangannya. "Momen ini nggak akan berakhir, Sayang. Selama aku ada di sampingmu, kebahagiaan ini akan terus ada." Cahaya menatap suaminya dengan penuh cinta. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga keluarganya sebaik mungkin. Malamnya

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47A

    Part 47Malam itu, Angkasa duduk di tepi ranjang sambil menatap Cahaya yang masih terlihat lelah. Wanita itu baru saja selesai mandi, mengenakan gaun tidur berbahan lembut yang membungkus tubuhnya dengan nyaman. Angkasa meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Angkasa lembut, jari-jarinya mengusap punggung tangan Cahaya.Cahaya mengangguk pelan. "Aku masih sulit percaya kalau selama ini Bik Mirna yang membuatku sakit. Aku benar-benar nggak menyangka, Mas. Kalau Bik Mirna ternyata ibu Elena. Dan sengaja bekerja di sini untuk menyakiti kita."Angkasa menarik Cahaya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih. "Aku janji, nggak akan ada lagi yang menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu dan Altair."Cahaya tersenyum tipis, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Aku bersyukur kamu selalu ada di sampingku, Mas. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bagaimana aku harus menghadapi

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46B

    "Mati? Jangan gila, Bik!""Haha tentu saja, Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaan anakku!" teriak Bu Marni, matanya nyalang."Anak? Siapa yang ibu maksud?""Hah, jadi kau melupakannya? Benar kau memang laki-laki pecundang, habis manis sepah dibuang! Dasar bedebah!""Aku tidak tahu apa maksud Bibi!".Cahaya yang di kamar mendengar keributan di dapur. Ia berjalan dengan langkah pelan memastikan apa yang sebenarnya terjadi meski kepalanya terasa begitu pening. Seketika ia membeku melihat pemandangan penuh ancaman itu. Ia menutup mulutnya."Elena. Apa kau sudah melupakannya?!""E-elena? Jadi Bibi--""Yaa, aku ibunya! Aku datang untuk membalas dendam. Apa yang sudah dirasakan anakku juga harus dirasakan oleh kalian!Cahaya berbalik, menyeret langkahnya pelan. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tangan panik dan gemetar."Semua ini salah Cahaya! Seand

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46A

    Part 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45B

    Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45A

    Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status