Bab 5
Papa menghela napas panjang, terlihat lelah. "Kita cari Cahaya lagi besok pagi. Sekarang kita harus fokus sama Mama dulu." Aku mengangguk pelan, meskipun pikiranku tetap berkecamuk. Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD. "Keluarga Ny. Ratna?" Aku dan Papa langsung berdiri. "Bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku cepat. "Saat ini kondisinya sudah lebih stabil. Dari hasil pemeriksaan awal, tekanan darahnya naik cukup tinggi karena stres. Untungnya, tidak ada tanda-tanda serangan jantung, tapi beliau tetap harus beristirahat dan menghindari tekanan emosi berlebihan." Aku menghela napas lega, meskipun masih ada sisa kekhawatiran di dadaku. "Terima kasih, Dok." "Kami akan observasi beliau semalaman. Kalau tidak ada masalah lebih lanjut, besok sudah bisa pulang," tambah dokter itu sebelum kembali ke dalam. Aku dan Papa masuk ke ruang perawatan. Mama sudah berbaring di ranjang dengan infus terpasang di tangannya. Matanya terpejam tapi wajahnya terlihat lelah. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. "Ma, maafin aku..." Aku ingin berkata bahwa ini semua salahku, bahwa aku gagal menjaga Cahaya, tapi aku tidak ingin membuat Mama semakin sedih. Papa menepuk pundakku. "Kamu istirahat juga, Angkasa. Besok kamu lanjut cari Cahaya." Aku mengangguk, meskipun aku tahu tidur akan sulit malam ini. Di luar sana, Cahaya masih sendirian entah di mana. *** Keesokan harinya ... Aku mengemudikan mobil tanpa arah yang jelas, menyusuri jalanan kota dengan hati yang gelisah. Sudah hampir seharian aku mencari Cahaya, tapi jejaknya seperti menghilang begitu saja. Teleponku berbunyi. Aku buru-buru meraihnya, berharap itu dari Cahaya, tapi yang muncul di layar justru nomor Papa. Dengan cepat aku mengangkatnya. "Angkasa! Kamu sudah ketemu Cahaya?" Aku menghela napas, berusaha menekan rasa frustrasi. "Belum, Pa. Aku sudah keliling ke beberapa tempat, tapi nggak ada yang melihatnya." Papa mengumpat pelan di seberang. "Sudah mau dua hari Cahaya ada di luar! Dan kamu masih belum bisa menemukannya? Kamu ini suami macam apa? Cahaya sedang hamil, Angkasa! Papa menyesal, kamu biarkan dia pergi begitu saja tanpa tahu dia ada di mana!" Rahangku mengatup. Aku tahu ini salahku. "Mama bagaimana, Pa?" "Mama masih menangis ! Kondisinya belum stabil karena kepikiran Cahaya! Ingat ya, Angkasa kamu nggak bisa pulang sebelum ketemu Cahaya! Kalau sesuatu terjadi sama dia dan bayinya, Papa nggak akan pernah maafin kamu!" Telepon langsung diputus. Aku melempar ponsel ke kursi samping dengan frustrasi. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, mencari ke mana pun Cahaya mungkin pergi. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa aku tak punya petunjuk sama sekali. Aaarrrggghhh siiaall!! Di perempatan jalan, aku melihat seseorang melambai ke arahku. Aku menyipitkan mata. Sosok itu berjalan mendekat dengan angkuh. Rambut panjangnya tergerai indah, rok ketat dan high heels yang dikenakannya menambah kesan mewah. Elena. Aku mengumpat dalam hati. Aku tidak punya waktu untuk ini. Tapi Elena sudah berdiri di depan kap mobilku, memaksaku mengerem mendadak. Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan masuk ke kursi penumpang. "Hei Elena! Aku belum nyuruh kamu masuk!" sergahku. Elena hanya tersenyum kecil, menyilangkan kakinya dengan anggun. "Aku capek berdiri, dan kebetulan kita bertemu. Jadi, kenapa nggak sekalian ngobrol?" Aku mendengus kesal. "Aku lagi sibuk, Elena. Turun." Elena melipat tangannya. "Sibuk? Sibuk apa, Mas? Kemarin kamu ninggalin aku, kita gak jadi jalan-jalan. Terus ini kita gak sengaja bertemu di sini, kamu kenapa malah emosi sama aku?" "Elena, waktunya sekarang tidak tepat, aku harus cari Cahaya." "Cahaya? Kenapa dengan istrimu itu?" "Cahaya pergi dari rumah." "Pergi? Hahaha, jadi Cahaya kabur?Sungguh sebuah kejutan!" Nada suaranya terdengar mengejek. Aku menatapnya tajam. "Jangan bicara seperti itu, El!" Elena menghela napas dramatis. "Mas, kenapa sih kamu buang-buang waktu buat perempuan itu? Dia pergi, ya biarin aja. Bisa jadi dia memang udah bosan sama kamu." Tanganku mengepal di atas kemudi. "Cukup, Elena." Tapi dia malah tertawa kecil. "Aku serius. Aku nggak ngerti kenapa kamu segitunya sama dia. Dulu kamu nggak pernah seperti ini. Kamu selalu ada waktu buat aku." Aku mengembuskan napas panjang, menahan amarah yang nyaris meledak. Aku tidak punya waktu untuk ini. Tidak sekarang. Aku menoleh ke arah Elena dengan tatapan tajam. "Aku nggak mungkin diam saja sementara orang tuaku marah karena Cahaya menghilang. Aku nggak bisa tenang kalau dia belum ketemu." Elena mendecakkan lidah, lalu menyandarkan punggungnya ke jok dengan santai. "Kenapa kamu begitu peduli, sih? Cahaya itu bukan siapa-siapa, Mas. Dia cuma perempuan biasa yang kebetulan jadi istrimu karena keterpaksaan. Kamu kan bisa dapat yang lebih baik, dari pada gadis yang hamil duluan karena pacarnya." Aku menoleh cepat, tatapanku penuh amarah. "Jaga ucapanmu, Elena!" Elena mengangkat bahu, seolah tidak peduli. "Aku cuma bilang fakta. Kamu dulu nggak pernah sepeduli ini, kan?" Tanganku mencengkeram kemudi dengan erat. Aku harus segera menyingkirkan Elena dari mobilku sebelum dia membuatku semakin emosi. "Turun, Elena." Elena menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu terkekeh. "Aku baru saja naik, dan kamu sudah mengusirku?" Elena mendekat, ujung jarinya menyentuh lenganku, tapi aku langsung menepisnya kasar. "Jangan sentuh aku," desisku dingin. Elena mendelik. "Mas Angkasa! Aku ini Elena! Elena yang kamu cintai. Kenapa kamu bersikap seperti ini? Kamu nggak bisa begitu aja ninggalin aku!" Aku menekan pelipisku. "Dengar, aku benar-benar nggak punya waktu buat omong kosongmu ini. Aku harus cari Cahaya. Jadi kalau kamu nggak mau turun, aku yang akan menurunkan kamu." Elena terdiam sejenak, tapi kemudian wajahnya berubah marah. "Kamu lebih milih dia daripada aku? Perempuan biasa yang bahkan nggak bisa menjaga kehormatannya sendiri?" Darahku mendidih. "Diam, Elena!" Aku menatapnya tajam. "Cahaya jauh lebih baik dari kamu dalam segala hal! Dan aku nggak mau dengar satu kata pun yang merendahkan dia!" Kulihat keterkejutan di mata Elena. Entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Mungkin menyakitkan baginya. Aku mendesah pelan. Tiba-tiba saja teringat kebaikan Cahaya selama ini. Cahaya selalu menyiapkan baju-bajuku, menyiapkan air hangat untukku mandi, membuatkan kopi bahkan menyiapkan sarapan meski aku jarang menyentuh makanannya. Semua pekerjaan rumah dilakukannya dengan baik, tapi aku malah mengabaikannya. Aku terlalu sibuk dengan egoku sendiri, terlalu buta untuk melihat bahwa Cahaya selalu ada di sisiku, bahkan ketika aku tidak pantas untuk menjadi seorang suami. "Turun sekarang sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran." Suaraku lebih rendah namun penuh penekanan. Elena menatapku, lalu mendesah pelan. Ekspresi manjanya berubah kesal. "Kamu akan menyesal, Mas, udah bikin aku kayak gini!" katanya sebelum membanting pintu mobil. Braaakkk!"Biar Mama juga ikut main air," jawab Angkasa sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air bersama Cahaya dalam gendongannya. Altair bertepuk tangan melihat itu. "Ma-ma! Ma-ma-ma!" Cahaya akhirnya menyerah dan menikmati waktu mereka bertiga di laut. Angkasa tak henti-hentinya memeluk dan mencium istrinya, memastikan Cahaya tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Mereka tertawa bersama, membiarkan ombak kecil membasahi tubuh mereka. Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk bertiga di atas pasir, menikmati pemandangan langit jingga yang indah. "Aku nggak mau momen ini berakhir," bisik Cahaya, menggenggam tangan Angkasa erat. Angkasa mencium punggung tangannya. "Momen ini nggak akan berakhir, Sayang. Selama aku ada di sampingmu, kebahagiaan ini akan terus ada." Cahaya menatap suaminya dengan penuh cinta. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga keluarganya sebaik mungkin. Malamnya
Part 47Malam itu, Angkasa duduk di tepi ranjang sambil menatap Cahaya yang masih terlihat lelah. Wanita itu baru saja selesai mandi, mengenakan gaun tidur berbahan lembut yang membungkus tubuhnya dengan nyaman. Angkasa meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Angkasa lembut, jari-jarinya mengusap punggung tangan Cahaya.Cahaya mengangguk pelan. "Aku masih sulit percaya kalau selama ini Bik Mirna yang membuatku sakit. Aku benar-benar nggak menyangka, Mas. Kalau Bik Mirna ternyata ibu Elena. Dan sengaja bekerja di sini untuk menyakiti kita."Angkasa menarik Cahaya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih. "Aku janji, nggak akan ada lagi yang menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu dan Altair."Cahaya tersenyum tipis, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Aku bersyukur kamu selalu ada di sampingku, Mas. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bagaimana aku harus menghadapi
"Mati? Jangan gila, Bik!""Haha tentu saja, Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaan anakku!" teriak Bu Marni, matanya nyalang."Anak? Siapa yang ibu maksud?""Hah, jadi kau melupakannya? Benar kau memang laki-laki pecundang, habis manis sepah dibuang! Dasar bedebah!""Aku tidak tahu apa maksud Bibi!".Cahaya yang di kamar mendengar keributan di dapur. Ia berjalan dengan langkah pelan memastikan apa yang sebenarnya terjadi meski kepalanya terasa begitu pening. Seketika ia membeku melihat pemandangan penuh ancaman itu. Ia menutup mulutnya."Elena. Apa kau sudah melupakannya?!""E-elena? Jadi Bibi--""Yaa, aku ibunya! Aku datang untuk membalas dendam. Apa yang sudah dirasakan anakku juga harus dirasakan oleh kalian!Cahaya berbalik, menyeret langkahnya pelan. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tangan panik dan gemetar."Semua ini salah Cahaya! Seand
Part 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.
Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga
Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per