Home / Rumah Tangga / Mencari Istriku di Masa Lalu / Bab 5 – Cinta yang Tak Terucap

Share

Bab 5 – Cinta yang Tak Terucap

Author: Sofia Saarah
last update Last Updated: 2025-06-06 22:45:40

Sudah enam bulan berlalu sejak malam itu. Enam bulan di mana tubuh mereka masih saling bersentuhan. Bibir mereka masih bertemu.

Malam demi malam diisi dengan desahan yang terdengar menggoda… tapi kosong. Hampa.

Dan itu, mulai menggerogoti Shaz perlahan-lahan.

Alysaa tetap melayaninya dengan lembut.

Ia menyajikan teh hangat di pagi hari, menyiapkan makan malam, mencuci pakaiannya, bahkan masih membalas setiap ciuman dan pelukan di ranjang.

Tapi semuanya terasa… seperti formalitas. Seperti tugas. Bukan cinta.

Pagi itu, sinar matahari baru menyelinap dari celah tirai. Kamar mereka dipenuhi aroma tubuh yang belum sempat dibasuh, dan napas yang masih mengembus pelan setelah satu sesi cinta yang mengguncang.

Biasanya di hari libur seperti ini mereka melakukannya sepanjang hari, sesuai keinginan Shaz. Alysaa berbaring di sisi ranjang, rambutnya berantakan, tubuhnya hanya tertutup selimut tipis.

Shaz memandangi wajah istrinya. Cantik. Sempurna. Tapi dingin. Ia mengusap pipinya dengan punggung tangan, lalu berkata, “Sayang…”

“Hm?” gumam Alysaa, masih menatap langit-langit.

“Aku ingin nanya sesuatu.”

Alysaa menoleh. Tatapannya tidak tajam, tapi tidak juga hangat.

Shaz menarik napas. “Apakah kamu... mencintai pria lain?”

Pertanyaan itu menghantam seperti palu. Sunyi menyelimuti kamar, bahkan suara AC terasa lebih bising dari biasanya.

Wajah Alysaa berubah seketika. Ia menegakkan tubuhnya, selimut masih menutupi dada hingga pahanya.

Matanya menatap Shaz tajam, seperti baru saja ditusuk oleh kata-kata yang tak ia sangka keluar dari mulut suaminya sendiri.

“Apa maksudmu?” suaranya rendah, nyaris tak terdengar.

Shaz merasa keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Tapi ia tetap menatap Alysaa.

“Kamu dingin... tiap malam. Kamu nggak benar-benar memelukku. Nggak menciumku dengan cinta. Aku... aku merasa kamu ada untukku, tapi bukan dengan hatimu.”

Alysaa terdiam beberapa detik. Lalu ia tersenyum miring, senyum yang penuh luka.

Ia melemparkan selimut, bangkit dari ranjang, dan berdiri menghadap jendela. Cahaya matahari mengenai punggungnya, membuat kulit kuning langsatnya tampak bercahaya.

“Kamu pikir aku mencintai pria lain?” tanyanya, suaranya bergetar. “Shaz... kamu pikir aku begitu murah?”

Shaz bangkit, duduk di ranjang, menatap punggung Alysaa yang kini sedikit gemetar.

“Aku hanya ingin tahu… karena aku nggak ngerti lagi bagaimana cara menyentuhmu. Kamu makin jauh.”

Alysaa membalikkan tubuhnya perlahan. Matanya berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh.

Ia berjalan pelan ke sisi tempat tidur dan menatap suaminya dalam diam selama beberapa detik.

“Kamu tahu apa yang menyakitkan?” bisiknya akhirnya. “Bukan karena aku mencintai pria lain. Tapi karena... aku mencintai kamu.”

Shaz menelan ludah. Alysaa melanjutkan, suaranya mulai retak.

“Tapi aku nggak pernah merasa kamu mencintaiku. Sejak awal.”

Shaz ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu.

Alysaa tertawa hambar. “Dan kamu nanya apakah aku mencintai pria lain... padahal kamu sendiri bahkan belum selesai mencintai masa lalumu.”

Shaz mengernyit. “Apa maksudmu?”

Alysaa mundur satu langkah. Matanya tak lepas dari wajah suaminya.

“Aku menemukan kotak kayu itu.”

Wajah Shaz seketika berubah.

“Foto-foto itu, Shaz. Kamu dan Jazzlyne. Senyummu di sana... lebih jujur dari semua yang pernah kamu tunjukkan ke aku.”

Shaz terdiam. Napasnya tercekat. Matanya membulat, menatap Alysaa yang kini berdiri seperti bayangan luka yang ia coba lupakan.

“Kamu bahkan masih like fotonya di I*******m, tahun lalu... saat kita udah jadian.”

“Alysaa, aku..”

“Kamu nggak pernah like satu pun fotoku, Shaz,” potong Alysaa tajam. “Kita liburan bareng, kamu lamar aku, kita nikah... dan kamu nggak pernah sekali pun memamerkan aku.”

Shaz terdiam. Wajahnya menegang.

Alysaa tersenyum miris. “Jadi sebelum kamu tanya apakah aku mencintai pria lain... tanya dulu ke diri kamu sendiri apakah kamu benar-benar mencintaiku? Atau hanya menggantikan dia?”

Hening. Lalu hening yang lebih berat. Shaz tak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu, dadanya sesak.

Dan saat ia hendak melangkah mendekat, Alysaa mundur satu langkah.

“Aku akan mandi,” katanya dingin. “Hari ini aku mau pergi sendiri.”

“Pergi ke mana?”

Alysaa menoleh, wajahnya datar.

“Keluar dari rumah ini... sebentar. Sebelum aku benar-benar hilang di dalamnya.”

Lalu ia berjalan ke kamar mandi. Menutup pintu perlahan. Dan Shaz, yang masih duduk di ranjang dalam keadaan telanjang, hanya bisa menatap pintu tertutup itu seperti baru saja kehilangan sesuatu yang bahkan belum sempat benar-benar ia miliki.

Bunyi pintu kamar mandi terbuka pelan, uap panas keluar menyertai aroma sabun yang samar.

Alysaa melangkah keluar dengan tubuh dibalut kimono mandi berwarna biru muda. Rambutnya masih basah, pipinya kemerahan karena air hangat. Namun sorot matanya... tetap dingin.

Shaz berdiri di sisi ranjang, kini telah mengenakan kaus putih tipis dan celana pendek. Ia menatap istrinya, canggung. Lalu akhirnya bersuara pelan, “Sayang... bisa aku tahu, kamu nemuin kotak itu di mana?”

Alysaa menoleh cepat. “Kenapa?”

“Karena... aku yakin, semua tentang dia udah aku buang. Semua.”

Alysaa menatapnya dengan tatapan yang menusuk. “Masa kamu bisa lupa punya satu kotak berisi foto-foto cewek yang pernah kamu panggil my love?”

Shaz menghela napas, mencoba tenang. “Aku bersumpah, aku sendiri nggak tahu kotak itu masih ada. Aku udah buang semuanya.”

“Berarti kamu nggak sengaja bohong. Atau... kamu sengaja simpan tapi pura-pura lupa,” balas Alysaa tajam.

Shaz menggeleng cepat. “No, sayang. Listen to me, aku nggak bohong. Aku bahkan nggak pernah buka kotak itu sejak... sejak kami selesai. Aku pikir aku udah buang itu tahun lalu.”

“Jangan panggil aku ‘sayang’ kalau isi pikiranmu masih tentang dia,” balas Alysaa, kini nadanya mulai naik.

Shaz melangkah maju, mencoba menyentuh lengannya, tapi Alysaa mundur.

“Baik, kamu mau bukti?” katanya tegas. “Ayo, ikut aku.”

Ia melangkah cepat ke ruang kerja. Shaz mengejar. Alysaa menarik satu buku besar dari rak dan di baliknya, kotak kayu itu muncul diam, penuh rahasia, seolah mengejek keutuhan pernikahan mereka.

Alysaa membuka tutupnya, mengeluarkan satu foto, lalu menyorongkannya ke wajah Shaz. Shaz mematung.

Wajahnya berubah. Tangannya gemetar saat mengambil foto itu.

“Aku... aku nggak tahu ini masih ada…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Aku beneran udah... buang semuanya.”

Alysaa tertawa pelan tawa getir. “Tapi kamu lupa satu.”

Shaz mengangkat wajah, matanya mulai memerah. “Aku nggak pernah mencintainya lagi, sayang. Yang kupikirkan sekarang, yang kupilih, yang kucintai itu hanya kamu! Kamu masa kini dan masa depanku, kamu ibu dari anak-anakku”

“Tapi kamu nggak pernah tersenyum seperti ini ke aku!” bentak Alysaa, menunjuk foto itu. “Lihat dirimu! Kamu bahagia. Kamu hidup. Dan aku? Bahkan saat tidur bersamaku pun, kamu kosong.”

Shaz mendekat. “Sayang, please...”

“Seandainya aku bisa memutar kembali waktu dan aku tahu kamu belum selesai dengan masa lalumu,” bisik Alysaa, air matanya jatuh perlahan, “aku nggak akan pernah mau menikah denganmu.”

Kata-kata itu menampar Shaz seperti badai. Tubuhnya goyah. Ia mundur beberapa langkah, seperti seseorang yang baru saja kehilangan napas.

Alysaa menatapnya sejenak lalu berbalik, berjalan ke kamar dan mengunci pintu dari dalam tanpa sepatah kata lagi.

Shaz terduduk di sofa. Wajahnya tertunduk, napas berat keluar satu-satu. Ia terluka. Lebih dari yang ia sangka.

Karena kini ia sadar semua ini hanya kesalahpahaman. Tapi kesalahpahaman yang... mematikan.

“Bagaimana caranya... aku bisa membuat dia percaya bahwa hatiku dan cintaku hanya untuknya?”

Ia berbaring menatap langit-langit dengan mata lelah. Jiwanya remuk. Hatinya sibuk berpikir, tapi tubuhnya mulai menyerah.

Tanpa sadar... matanya menutup.

Gelap.

Sunyi.

Dan beberapa saat ia membuka mata, terbangun dari tidurnya… Namun, terasa cahaya menyilaukan masuk dari jendela besar yang bukan miliknya.

Suara klakson bersahutan. Aroma asing. Udara berbeda. Shaz terduduk cepat. Ini bukan apartemen mereka.

Dindingnya krem dengan bingkai foto hitam putih yang asing. Tirai jendela berenda. Suara burung terdengar dari luar. Bukan Doha. Bukan Aynora Residence.

Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih berat. Langkah kakinya terasa canggung di lantai kayu dingin. Ia membuka pintu ruangan itu...

Dan dadanya langsung bergemuruh. "Ini seperti di......" Shaz membeku.

Tangannya gemetar. Matanya nyaris tak percaya.

“Apa... ini?”

Tubuhnya seakan kehilangan gravitasi. Dunia tampak seperti berputar.

Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun ia tetap berada di tempat ini…

“Shaz!. ” Panggil seseorang yang tak asing di telinganya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 24 - Penyatuan Cinta

    Langkah kaki Shaz menggema lembut di lantai marmer Hotel Luma Orchid, semakin mendekati sosok perempuan yang berdiri beberapa meter di depannya. Alysaa mematung. Matanya basah, namun tetap menatap Shaz dengan keberanian yang gemetar.Saat jarak mereka tinggal dua langkah, Shaz berhenti sejenak... Lalu kemudian mereka saling bergerak di saat yang sama. Tanpa kata, tanpa aba-aba.Pelukan itu bukan hanya antara dua tubuh, tapi dua waktu. Dua jiwa yang sama-sama kehilangan dan sama-sama bertahan dalam diam yang panjang.Shaz memeluk Alysaa erat, lebih erat dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Tangannya menyentuh lembut puncak kepala Alysaa, jemarinya menyusup pelan ke helaian rambutnya yang masih harum seperti dulu, lalu mengecupnya—seolah seluruh rindunya luruh dalam satu ciuman itu“Ini kamu…” bisik Shaz di pelipisnya. “Akhirnya, kamu…”Alysaa mengangguk dalam pelukan itu. “Aku capek, sayang… capek menahan semuanya sendiri.”Shaz tak menjawab. Ia hanya menggenggam jemari Alysaa, dan m

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 23 - Cemburu

    Suasana kantor Mora Global mulai lengang. Jam kerja nyaris usai. Dari balik jendela lantai 17, langit Kuala Lumpur memancarkan semburat oranye keemasan. Zara berjalan pelan ke meja Shaz, langkahnya tenang namun penuh harap. “Mr. Shaz, kita jadi berangkat sekarang?” tanya Zara lembut.“Ah, aku beres-beres dulu, sebentar ya.”Zara mengangguk dengan senyum lembutnya. Hari itu menjadi hari paling membahagiakan baginya, karena akhirnya dia memiliki keberanian untuk mendekati pria yang ia sukai semenjak kedatanganya pertama kali.Shaz berdiri, memasukkan laptop ke dalam tas kerja. “Aku bawa mobil kantor. Tapi tak apa, kita bisa bareng kan?”"Tentu"Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran, senyum Zara terus merekah saat berjalan bersama pria idamannya itu. Dari kejauhan, Nalinee yang kebetulan melintas di lorong melihat adegan itu. Shaz tersenyum kecil, dan Zara yang tampak begitu akrab di sisinya. Matanya menyipit, ada sesuatu yang merayap di hatinya. Campuran tidak nyaman dan ke

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 22 - Senja Menuju Elara

    Pagi di Kuala Lumpur menari perlahan lewat cahaya matahari yang menyusup di sela tirai putih apartemen. Aroma kopi menyebar dari dapur, sementara Raheem sibuk di meja makan dengan laptop terbuka, beberapa berkas proyek berserakan di sisinya.Shaz muncul dari balik lorong kamar, rapi dengan kemeja biru laut dan jas biru dongker yang elegan. Ia mengenakan jam tangan di pergelangan kirinya, wajahnya bersih, tatapannya seperti biasa—tenang, tapi masih menyimpan musim yang belum berlalu.“Shaz, kau akan pulang malam hari ini?” tanya Raheem tanpa menoleh, masih sibuk membaca dokumen izin bangunan di layar.Shaz merapikan lengan jasnya setelah memasang jam tangan. “Belum tahu, lihat saja nanti. Kenapa?”Raheem mengangguk pelan. “Hanya bertanya.”Shaz duduk sejenak sambil memeriksa notifikasi di ponselnya.Raheem akhirnya menoleh dan tersenyum. “Restoran milikku, Raheem’s Briyani House sepertinya akan segera mulai dibangun bulan depan. Semua perizinan hampir rampung. Tinggal satu tanda tangan

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 21 - Kenangan 2017

    Angin sore berhembus ringan, menyapu dedaunan palem yang berjejer rapi di sisi luar hotel berarsitektur kolonial modern itu. Bangunannya enam lantai, dengan jendela-jendela besar berbingkai kayu putih dan balkon-balkon kecil berisi kursi rotan tua yang tampak usang namun elegan.Begitu taksi berhenti di depan lobi, ketiga perempuan itu turun dengan langkah pelan. Tas-tas mereka terseret ringan di permukaan jalan berbatu yang tertata rapi.Alysaa menatap bangunan itu beberapa detik. Matanya menyisir sisi-sisi jendela yang tampak kosong.“Bagus sih… tapi sepi banget,” gumam Maya sambil membuka kacamata hitamnya.Alysaa terkekeh, “Kalau kita bawa Jena ke sini, pasti tiba-tiba dia nunduk sambil merinding.”Radya langsung tertawa, “Iya, ngeliat setan dia nanti! Terus langsung nangis bilang auranya beda!”Maya menoleh tajam sambil setengah tersenyum, “Hushh, jangan ngomong sembarangan, ya.”“Kenapa?” Radya menaikkan alis iseng.“Gak boleh gegabah kalau ngomong, apalagi di tempat asing,” jawa

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 20 - Jika Kamu Masih Mencintaiku

    Di balkon apartemen, Shaz duduk diam. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, sementara matanya menerawang jauh menembus kabut pagi. Sudah seminggu sejak malam itu di apartemen Nalinee, tapi hatinya tetap tidak tenang.Hujan semalam masih menyisakan embun di pagar balkon. Dan di dada Shaz, masih tertinggal kabut rindu yang tak pernah reda.Di dalam, Raheem berdiri sambil menggulir layar ponselnya. Wajahnya bimbang. Ia sudah menimbang hal ini berhari-hari—dan akhirnya ia memutuskan: Shaz tak bisa terus seperti ini.Ia membuka akun Facebook-nya. Jempolnya berhenti di satu nama yang sudah lama ia curigai, yang sering dilihat Shaz diam-diam. Ia menatap foto profil itu lama.Alysaa S. Ramadhani.Raheem menekan tombol Message.Inbox FacebookRaheemAssalamualaikum, Alysaa.Maaf kalau aku tiba-tiba menghubungi kamu seperti ini. Aku tahu kamu mungkin tidak mau tahu apa-apa tentang Shaz lagi. Tapi… izinkan aku bicara sebentar. Aku Raheem — sahabat dekatnya sejak kecil.Aku k

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 19 - Bukan Lagi Dirinya

    Begitu menjejakkan kaki di KLIA2, angin pagi mengusap wajah Shaz—tapi ia tidak bergeming. Tak ada rindu, tak ada lega. Hanya ruang kosong di dadanya yang terasa semakin luas.Wajah itu… kosong.Tak ada lagi kilau harapan yang dulu menyala di matanya. Yang ada hanya tatapan mati—tajam tapi hampa, seperti pria yang kehilangan sesuatu yang bahkan tak bisa ia sebut namanya.Raheem berjalan di sebelahnya, sesekali melirik Shaz dengan khawatir. Tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ada duka yang terlalu rumit untuk dibahas saat ini.Hari-hari berikutnya…Shaz memulai hari-hari barunya di Mora Global Malaysia. Kantor megah di jantung Kuala Lumpur, dengan jendela kaca tinggi dan ruangan bergaya Skandinavia modern. Ia tampil prima. Jas rapi, langkah tenang, tutur kata yang penuh kharisma.Tapi semua itu hanya... topeng.Setiap malam, Shaz duduk diam di balkon apartemen mereka, menatap lampu-lampu kota sambil menenggak kopi pahit yang tak pernah habis. Dan saat pagi datang… dia kembali ke kantor, men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status