Suara klakson bersahutan. Aroma asing. Udara berbeda.
Shaz terduduk cepat. Ini… bukan apartemen mereka.
Dindingnya krem, dihiasi bingkai foto hitam putih yang tak ia kenali. Tirai jendela renda melambai pelan. Di luar, suara burung bersahut-sahutan, seolah jadi alarm hidup yang mengganggu.
Bukan Doha. Bukan Aynora Residence.
Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih berat. Langkah kakinya canggung menyentuh lantai kayu dingin.
Ia membuka pintu ruangan itu…
Dadanya langsung bergemuruh.
“Ini seperti di…”
Shaz membeku. Tangannya gemetar. Matanya nyaris tak percaya. “Apa... ini?”Sebelum otaknya sempat memproses, suara berat dan cempreng terdengar kembali dari luar.
“Shaaaaz!!”
Itu suara… Afzal?
Dan benar saja. Sesosok pria bertubuh kurus tinggi dengan kulit kecokelatan dan rambut sedikit gondrong menyelonong masuk, mengenakan kemeja kotak-kotak oversized, celana kain longgar, dan sandal jepit merah. Tangannya membawa segelas chai panas dan sebuah surat kabar yang warnanya sudah lebih kusam dari nasibnya.
“Shaz!” serunya lagi. “Bibi bilang kau pulang dan meninggalkan pekerjaanmu di Doha karena putus dari wanita Argentina itu?”
Shaz berdiri di ambang pintu kamar, membatu. “Wait... wanita Argentina?” gumamnya. “Itu bukan... Alysaa. Istriku orang Indonesia.”
Afzal memelototinya. “Kau demam, ya?”
Shaz menatap sepupunya dengan pandangan bingung. Ini Afzal Hassan Khan, tapi... bukan versi terakhir yang ia ingat. Yang satu ini seperti... versi jadul, versi belum glow-up.
Yang terakhir ia lihat di acara pernikahannya dan Alysaa, Afzal turun dari mobil Jaguar XF warna hitam kilap, pakai jas linen krem, jam tangan Tag Heuer, dan kacamata hitam besar. Rambutnya selalu klimis, sepatu mengilap seperti kepribadiannya yang mencintai kemewahan.
Tapi sekarang?
“Ya Tuhan,” Shaz tertawa terbahak, “kau terlihat seperti figuran di serial India jam tujuh pagi!”
Afzal memutar bola mata. “Kau benar-benar sudah gila.”
“Dan kau terlihat seperti karakter drama yang menolak warisan keluarga karena... ego dan dosa masa lalu!” balas Shaz sambil menahan tawa.
Afzal meletakkan chai di meja kecil, lalu mencubit pipi Shaz. “Ini kau beneran? Kau ketabrak unta ya di Qatar?”
Shaz terbahak lagi, walau hatinya tak bisa tenang. Suasana ini terlalu nyata untuk jadi mimpi. Tapi juga terlalu aneh untuk jadi kenyataan.
Kamarnya yang baru ia bangun tadi berukuran cukup besar, dengan dinding pastel krem, tirai renda putih, dan poster film Bollywood lama menempel di belakang pintu. Ranjang kayu kokoh, kasur yang tak senyaman miliknya saat di apartemen, dan selimut bunga mawar pink membuatnya terasa seperti kembali ke rumah… rumah lamanya.
Rumah yang ia tinggalkan tujuh tahun lalu.
Kenangan itu mulai menyeruak… membuat bulu kuduknya berdiri.
Kenapa aku di sini? Apa ini mimpi? Atau… waktu?
Afzal mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Shaz. “Halo? Jangan bilang kau amnesia juga. Bibi akan pingsan kalau tahu kau pulang-pulang jadi laki-laki linglung.”
Shaz menggeleng. “Afzal... di mana istriku? Alysaa ikut aku pulang, kan?”
Afzal menghentikan langkah. “Apa? Kapan kau menikah?”
“Jawab. Mana istriku?”
“Siapa? Si wanita Argentina itu?”
“Bukan!” Shaz mulai naik nada. “Istriku dari Indonesia. Alysaa. Kami menikah tujuh bulan lalu. Kamu bahkan datang ke pernikahan kami!”
Afzal melongo. “Kau gila?”
“Afzal!”
“Shaz!” Afzal menepuk bahunya. “Sudah, sudahlah. Ini tahun 2017. Kalau satu wanita meninggalkanmu, kita cari yang lain. Kau tampan, sepupuku!”
Shaz mengerutkan kening. “Apa kau bilang… tahun 2017?”
Afzal mengangguk malas. “Iya. Maret. Kau baru menjadi jomblo waras. Dua minggu kau ngurung diri, muter lagu patah hati pakai speaker JBL pinjamanku!”
Shaz langsung terduduk. Tangannya dingin. 2017.
Jazzlyne.
Dan Alysaa?
Dia belum masuk ke hidupnya…
Shaz berlari ke cermin lagi. Wajah itu… lebih muda. Rambutnya lebih tebal, kulit lebih segar, dan pipinya masih agak berisi.
“No way…”
Ia menyentuh wajahnya. Menarik kulit pipi. Lalu mendadak berbalik.
“Where’s my phone?!”
“Masih di kasurmu, pasti udah mati total,” jawab Afzal dengan ekspresi bosan.
Shaz meraih ponsel. Benar, layarnya gelap.
“Kasih aku punyamu!”
“Ha?”
“Cepat!”
Afzal menyerahkan ponsel. Shaz langsung membuka layar dan melihatnya.
12 Maret 2017.
Tangannya gemetar. Ia melempar ponsel ke kasur, lalu keluar kamar seperti orang kesurupan.
“Alysaa!” teriaknya, menuruni tangga dengan langkah panik. “Alysaa!”
“Shaz!” terdengar suara maminya dari arah dapur. “Kenapa kau teriak-teriak begitu?”
Maminya muncul dengan celemek dan sendok kayu. Matanya was-was.
“Mami… di mana Alysaa?”
Maminya bingung. “Siapa?”
“Istriku. Dia datang bersamaku, kan? Kita sudah menikah tujuh bulan. Kau suka dia! Kamu bilang dia seperti anakmu sendiri!”
Wanita itu menatap Shaz seperti melihat orang kesurupan. Ia menyentuh dahi anaknya. “Shaz... kamu mimpi buruk ya?”
Shaz menepis tangan itu. “No! Dia nyata! Alysaa perempuan Indonesia. Mirip Kareena Kapoor versi sholehah, kamu bilang begitu waktu itu!”
Afzal turun dari tangga sambil mengunyah roti. “Wah, sekarang halusinasinya religius juga.”
Shaz memandangi mereka. Panik. “Dia nyata. Aku ingat wajahnya, suaranya... bahkan caranya menatapku. Kita menikah di Bandung. Kamu datang, Mami. Baba juga bahkan keluarga kita juga datang kesana.”
Maminya perlahan duduk. “Shaz... kamu putus dari Jazzlyne dua minggu lalu. Kau pulang karena kamu... depresi.”
“Jazzlyne?” bisik Shaz.
Semua orang di sekitarnya yakin, hidupnya berhenti di nama itu.Bukan Alysaa.
Shaz terduduk di tangga. Wajahnya terkubur di telapak tangan.
Kata-kata Alysaa kembali menggema.
“Seandainya aku bisa memutar kembali waktu... dan tahu kamu belum selesai dengan masa lalumu, aku nggak akan pernah mau menikah denganmu.”
Dan sekarang... seolah alam semesta menjawab.
Waktu benar-benar diputar. Tapi di mana Alysaa?
Langit Kochi sore itu mulai memudar warnanya, berubah dari biru laut menjadi oranye lembut, seperti susu teh yang terlalu lama diaduk. Jalanan kecil di sekitar lingkungan keluarga Alavi tampak sibuk dengan aktivitas khas penduduk lokal.Shaz menyalakan motor matic-nya Hero Maestro edisi 2016 yang masih gagah berdiri, berwarna hitam doff dengan stiker kecil “Ride Safe, Not Fast” di bagian samping. Ia tersenyum kecil saat tangannya menyentuh setang motor itu. Motor yang masih akan ia gunakan hingga tahun 2025. Saksi bisu banyak perjalanan... dan luka."Kau masih hidup, ya? Bahkan mesinmu lebih setia daripada beberapa manusia,” gumamnya sambil menekan starter.Mesin motor menyala halus. Shaz melaju perlahan melewati gang kecil di pinggir jalan menuju rumah Raheem. Jalan itu... begitu familiar. Tapi kali ini, waktunya yang berbeda. Langit, bau rempah dari dapur warga, dan suara pedagang lewat semuanya terasa seperti lukisan nostalgia.Ia sempat melambatkan laju motornya saat melewati bari
Sore hari di Kochi terasa hangat dan tenang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat kisi-kisi jendela kamar Shaz, menyapu lembut meja tempat laptopnya terbuka. Aroma kapulaga dan cengkeh dari dapur sesekali terbawa angin, menandakan Mami sedang menyeduh teh sore.Tapi kali ini, Shaz tak menyentuh teh. Ia duduk tegak, mengenakan kemeja putih dan jam tangan sederhana. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih. Tak ada jejak lelah atau bimbang.Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan ruang rapat virtual dengan tiga wajah yang tampak formal dan tajam.Perempuan berhijab bernama Farah Iskandar dari tim HR.Pria berkacamata bernama Anand Mehra, Kepala Departemen Analisis Pasar.Dan satu lagi wanita berkacamata elegan bernama Datin Amira, Wakil Presiden Wilayah Asia Tenggara.“Selamat sore, Tuan Shahjaz. Apakah suara kami terdengar jelas?”Shaz mengangguk, senyumnya sopan dan tenang.“Jelas sekali. Selamat sore. Terima kasih atas kesempatannya.”“Baik. Mari kita mulai dengan perkenalan
Hari-hari berlalu seperti teh tanpa gula, mengalir, tapi hambar.Setiap pagi, Shaz terbangun dengan harapan kecil yang absurd, semoga ketika ia membuka mata, ia sudah kembali ke apartemen mereka di Doha. Bahwa ia akan mendengar suara khas Alysaa saat merapikan selimut, mencium aroma kopi buatan istrinya, dan memeluk tubuh hangatnya yang wangi vanilla-honey, khas shampoo mahal kesayangannya.Tapi yang ada hanyalah guling biru dongker.Dan kipas langit-langit yang berdecit seperti suara dosa kecil.Shaz tetap memeluk guling itu erat, menutup mata seolah bisa memaksa semesta mengembalikannya ke pelukan Alysaa. Tapi yang terasa hanya… dingin.Lalu, ada yang aneh pagi itu.Guling yang ia peluk… mengeluarkan aroma. Aroma yang sangat ia kenal. Aroma tubuh Alysaa. Bukan hanya samar. Jelas. Menggoda. Membuat jantungnya menjerit lirih.Ia terperanjat. Bangun cepat. Duduk tegak.Matanya melotot ke arah guling yang kini kembali netral.“Guling haram,” gumamnya panik.Ia mengendus bajunya. Udara.
Ponsel masih bergetar ringan di tangan Shaz.“Raheem calling…”Shaz akhirnya menekan tombol hijau.“Halo?” suaranya berat, masih setengah emosional.Suara Raheem langsung menyambar cepat dari seberang.“KU DENGAR DARI AFZAL KAU PULANG KE INDIA?!”Shaz menjauhkan ponsel dari telinga. “Iya...”“Baiklah, kawan,” suara Raheem menurun setengah dramatis, “aku akan ke rumahmu sekarang. Ceritakan padaku... apa yang wanita Argentina itu lakukan padamu.”Shaz memejamkan mata. “Dia dari Portugal, Raheem. Kau ingat?”“Portugal... Argentina… sama aja. Aku pendukung Ronaldo, jadi siapapun mantanmu, aku anggap dari negara Messi!”Shaz mendesah panjang. “Terserah kau.”“Aku serius. Kalau dia dari Argentina, berarti dia bagian dari taktik Messi menjatuhkan Ronaldo. Dan kau… korban konspirasi global.”“Raheem… ini bukan Piala Dunia.”“Justru karena itu aku datang! Tunggu aku di sana. Siapkan teh panas dan dua roti prata. Kita akan membedah trauma dan strategi comeback!”Shaz menggeleng, tapi senyum tip
Setelah sesi psikiater yang terasa seperti talk show keluarga, Shaz akhirnya masuk lagi ke kamarnya. Kepalanya berdenyut, pikirannya campur aduk.Ia menjatuhkan diri ke kasur, lalu melirik meja samping.Di sana, iPhonenya masih iPhone 7 Jet Black, rilis paling keren tahun itu, dan baterainya sudah terisi penuh.“Mungkin Afzal yang charge,” gumamnya.Ia mengambil ponsel itu, memeriksa casingnya yang sudah sedikit retak di sudut."Ini... benar-benar ponsel lamaku," desahnya.Terakhir kali ia pegang ponsel, itu iPhone 16 Pro Max dengan tiga kamera segede kamera CCTV. Tapi ini? Hape yang harus digeser dulu buat lihat notifikasi.Ia membuka kunci layar.Backgroundnya… langit senja di Kerala. Icon aplikasinya masih jadul. Bahkan, Instagram masih belum punya fitur story!“Kalau memang aku kembali ke masa lalu… berarti Alysaa sekarang ada di Indonesia?”Shaz buru-buru membuka Instagram. Sinyalnya lelet. Loading-nya muter kayak fidget spinner."Astaghfirullah… sinyal Wi-Fi rumah tahun 2017 mem
Shaz masih terduduk di tangga, wajahnya tertutup tangan. Pikirannya kacau. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.Ia mendongak perlahan, matanya memindai ruang tamu. Pandangannya jatuh pada kalender duduk di atas meja sudut. Tangannya bergerak cepat meraihnya.Maret 2017.Tertulis jelas. Tanpa belas kasihan.Shaz menatap tanggal itu lama-lama. “Ini... nyata?” gumamnya lemas.Di atas sofa, Afzal sedang duduk santai sambil memainkan sendok teh di gelas chai-nya. Ia menoleh sambil mengangkat alis. “Bibi... aku rasa dia benar-benar depresi.”Mami yang baru kembali dari dapur mengangguk pelan, sambil membawa sepiring samosa. “Kau benar, Afzal. Matanya kosong. Tatapannya... seperti habis diputusin dua kali oleh wanita yang sama.”“Tapi aku nggak diputusin!” Shaz berdiri. “Aku... aku menikah!”Afzal menyipitkan mata. “Waduh, parah. Sudah delusi. Parah banget.”Shaz memijat pelipisnya. Suasana di rumah makin suram—dan lucu sekaligus tragis.Pintu depan terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan se