Share

Bab 6 - India atau Ilusi

Penulis: Sofia Saarah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-20 21:41:47

Suara klakson bersahutan. Aroma asing. Udara berbeda.

Shaz terduduk cepat. Ini… bukan apartemen mereka.

Dindingnya krem, dihiasi bingkai foto hitam putih yang tak ia kenali. Tirai jendela renda melambai pelan. Di luar, suara burung bersahut-sahutan, seolah jadi alarm hidup yang mengganggu.

Bukan Doha. Bukan Aynora Residence.

Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih berat. Langkah kakinya canggung menyentuh lantai kayu dingin.

Ia membuka pintu ruangan itu…

Dadanya langsung bergemuruh.

“Ini seperti di…”

Shaz membeku.

Tangannya gemetar. Matanya nyaris tak percaya.

“Apa... ini?”

Sebelum otaknya sempat memproses, suara berat dan cempreng terdengar kembali dari luar.

“Shaaaaz!!”

Itu suara… Afzal?

Dan benar saja. Sesosok pria bertubuh kurus tinggi dengan kulit kecokelatan dan rambut sedikit gondrong menyelonong masuk, mengenakan kemeja kotak-kotak oversized, celana kain longgar, dan sandal jepit merah. Tangannya membawa segelas chai panas dan sebuah surat kabar yang warnanya sudah lebih kusam dari nasibnya.

“Shaz!” serunya lagi. “Bibi bilang kau pulang dan meninggalkan pekerjaanmu di Doha karena putus dari wanita Argentina itu?”

Shaz berdiri di ambang pintu kamar, membatu. “Wait... wanita Argentina?” gumamnya. “Itu bukan... Alysaa. Istriku orang Indonesia.”

Afzal memelototinya. “Kau demam, ya?”

Shaz menatap sepupunya dengan pandangan bingung. Ini Afzal Hassan Khan, tapi... bukan versi terakhir yang ia ingat. Yang satu ini seperti... versi jadul, versi belum glow-up.

Yang terakhir ia lihat di acara pernikahannya dan Alysaa, Afzal turun dari mobil Jaguar XF warna hitam kilap, pakai jas linen krem, jam tangan Tag Heuer, dan kacamata hitam besar. Rambutnya selalu klimis, sepatu mengilap seperti kepribadiannya yang mencintai kemewahan.

Tapi sekarang?

“Ya Tuhan,” Shaz tertawa terbahak, “kau terlihat seperti figuran di serial India jam tujuh pagi!”

Afzal memutar bola mata. “Kau benar-benar sudah gila.”

“Dan kau terlihat seperti karakter drama yang menolak warisan keluarga karena... ego dan dosa masa lalu!” balas Shaz sambil menahan tawa.

Afzal meletakkan chai di meja kecil, lalu mencubit pipi Shaz. “Ini kau beneran? Kau ketabrak unta ya di Qatar?”

Shaz terbahak lagi, walau hatinya tak bisa tenang. Suasana ini terlalu nyata untuk jadi mimpi. Tapi juga terlalu aneh untuk jadi kenyataan.

Kamarnya yang baru ia bangun tadi berukuran cukup besar, dengan dinding pastel krem, tirai renda putih, dan poster film Bollywood lama menempel di belakang pintu. Ranjang kayu kokoh, kasur yang tak senyaman miliknya saat di apartemen, dan selimut bunga mawar pink membuatnya terasa seperti kembali ke rumah… rumah lamanya.

Rumah yang ia tinggalkan tujuh tahun lalu.

Kenangan itu mulai menyeruak… membuat bulu kuduknya berdiri.

Kenapa aku di sini? Apa ini mimpi? Atau… waktu?

Afzal mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Shaz. “Halo? Jangan bilang kau amnesia juga. Bibi akan pingsan kalau tahu kau pulang-pulang jadi laki-laki linglung.”

Shaz menggeleng. “Afzal... di mana istriku? Alysaa ikut aku pulang, kan?”

Afzal menghentikan langkah. “Apa? Kapan kau menikah?”

“Jawab. Mana istriku?”

“Siapa? Si wanita Argentina itu?”

“Bukan!” Shaz mulai naik nada. “Istriku dari Indonesia. Alysaa. Kami menikah tujuh bulan lalu. Kamu bahkan datang ke pernikahan kami!”

Afzal melongo. “Kau gila?”

“Afzal!”

“Shaz!” Afzal menepuk bahunya. “Sudah, sudahlah. Ini tahun 2017. Kalau satu wanita meninggalkanmu, kita cari yang lain. Kau tampan, sepupuku!”

Shaz mengerutkan kening. “Apa kau bilang… tahun 2017?”

Afzal mengangguk malas. “Iya. Maret. Kau baru menjadi jomblo waras. Dua minggu kau ngurung diri, muter lagu patah hati pakai speaker JBL pinjamanku!”

Shaz langsung terduduk. Tangannya dingin. 2017.

Jazzlyne.

Dan Alysaa?

Dia belum masuk ke hidupnya…

Shaz berlari ke cermin lagi. Wajah itu… lebih muda. Rambutnya lebih tebal, kulit lebih segar, dan pipinya masih agak berisi.

“No way…”

Ia menyentuh wajahnya. Menarik kulit pipi. Lalu mendadak berbalik.

“Where’s my phone?!”

“Masih di kasurmu, pasti udah mati total,” jawab Afzal dengan ekspresi bosan.

Shaz meraih ponsel. Benar, layarnya gelap.

“Kasih aku punyamu!”

“Ha?”

“Cepat!”

Afzal menyerahkan ponsel. Shaz langsung membuka layar dan melihatnya.

12 Maret 2017.

Tangannya gemetar. Ia melempar ponsel ke kasur, lalu keluar kamar seperti orang kesurupan.

“Alysaa!” teriaknya, menuruni tangga dengan langkah panik. “Alysaa!”

“Shaz!” terdengar suara maminya dari arah dapur. “Kenapa kau teriak-teriak begitu?”

Maminya muncul dengan celemek dan sendok kayu. Matanya was-was.

“Mami… di mana Alysaa?”

Maminya bingung. “Siapa?”

“Istriku. Dia datang bersamaku, kan? Kita sudah menikah tujuh bulan. Kau suka dia! Kamu bilang dia seperti anakmu sendiri!”

Wanita itu menatap Shaz seperti melihat orang kesurupan. Ia menyentuh dahi anaknya. “Shaz... kamu mimpi buruk ya?”

Shaz menepis tangan itu. “No! Dia nyata! Alysaa perempuan Indonesia. Mirip Kareena Kapoor versi sholehah, kamu bilang begitu waktu itu!”

Afzal turun dari tangga sambil mengunyah roti. “Wah, sekarang halusinasinya religius juga.”

Shaz memandangi mereka. Panik. “Dia nyata. Aku ingat wajahnya, suaranya... bahkan caranya menatapku. Kita menikah di Bandung. Kamu datang, Mami. Baba juga bahkan keluarga kita juga datang kesana.”

Maminya perlahan duduk. “Shaz... kamu putus dari Jazzlyne dua minggu lalu. Kau pulang karena kamu... depresi.”

“Jazzlyne?” bisik Shaz.

Semua orang di sekitarnya yakin, hidupnya berhenti di nama itu.Bukan Alysaa.

Shaz terduduk di tangga. Wajahnya terkubur di telapak tangan.

Kata-kata Alysaa kembali menggema.

“Seandainya aku bisa memutar kembali waktu... dan tahu kamu belum selesai dengan masa lalumu, aku nggak akan pernah mau menikah denganmu.”

Dan sekarang... seolah alam semesta menjawab.

Waktu benar-benar diputar. Tapi di mana Alysaa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 46 - Bunga Lili yang Berguguran

    Langkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 45 - Pergilah !

    Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 44 - Lamaran

    Shaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 43 - Kenangan Masa Depan

    Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 42 - Menuju Rumah Mertua

    Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 41 - Terlambat

    Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status