Share

Kencan Pertama

Author: Oryza_Sativa
last update Last Updated: 2021-08-20 06:37:32

"Nisya, makan yuk!" Arsena menghampiriku saat jam istirahat tiba, dengan membawa dua buah kotak bekal tup***ware. Yang aku tahu pasti dari siapa pengirimnya.

"Dikirim lagi?" 

Dia mengangguk, "Iya, pokoknya sebelum aku maafin, pasti dia bakal kirim terus. Dia tau banget kalau aku lemah sama makanan buatannya. Cuma disogok ginian aja udah bikin aku luluh, murahan banget ini perut."

"Kali ini gara-gara apa lagi?"

"Biasa, nggak usah ditanya," ketusnya sambil cemberut.

Sena lantas duduk di depanku dan menata bekal yang dibawanya di atas meja. Dengan aku yang lebih dulu menyingkirkan tumpukan kertas berukut menggeser laptop ke samping.

"Sekali-kali ngalah Sen, masak mau rebutan sama anak SMA, malu tuh sama anak didikmu."

"Kamu nggak tau aja Nis, betapa ngeselinya keponakannya itu, kelaminnya doang cowok tapi mulutnya subhanallah ngalah-ngalahin si Angel anak IPA 1 itu."

Sepertinya dia lagi ngambek lagi sama pacarnya, terbukti sudah dua hari ini kulihat dia dikirim makanan oleh Samudra Biru, pacarnya yang memang punya hobby memasak. Masalahnya cukup lucu sih menurutku pasti karena berebut perhatian sama keponakannya Mas Biru.

Dari cerita Sena kalau keponakan Mas Biru itu sering banget mengganggu waktu kencan dia, ada saja yang dilakukan anak itu demi untuk membuat Sena jengkel, seperti sudah jadi hobi dia buat mengganggu Sena.

Aku akui, ini makanan emang enak banget, apalagi sushi buatannya, best banget sumpah ngalah-ngalahin sushi**i Surabaya. Keenakan Sena kalau dapat ginian tiap hari. Aku juga mau sih sebenarnya, sayang hanya saja aku tidak akan pernah mendapatkannya. Berharap Mas Ryan akan melakukannya sama saja dengan mengharapkan bulan jatuh ke panhkuanku yang sangat mustahil.

Lagi asyik-asyiknya makan ponselku kembali berdering, lagi-lagi nama yang sama tapi kali ini bukan pesan yang dia kirim, melainkan telepon langsung. Sehingga tanpa sadar aku mengembuskan napas kesal, aku masih kesal saat ingat kejadian pagi tadi.

"iya, Mas?" jawabku setelah menggeser icon hijau di layar ponselku.

"Sudah makan?"

"Ini lagi makan."

"Sama apa?"

"Sushi, Sena yang bawa. Mas sendiri?"

"Belum, ya sudah selamat makan jangan lupa hubungin mas kalau sudah selesai ngajarnya."

Ini cuma begini doang? Fix Mas Ryan kurang kerjaan banget, pesan yang tadi pagi saja kubiarkan karena bingung mau bales apa, dan ini nggak biasanya dia telepon pas jam istirahat gini.

"Mas Ryan?" tanya Sena.

Aku hanya mengangguk, "Aneh banget sih, akhir-akhir ini sepertinya dia mulai gencar menunjukkan kedekatanya padaku."

"Ya bagus dong Nis, itu artinya dia sudah mau berusaha buat ngambil hatimu, kamu aja yang kurang peka."

"Entahlah, aku bingung Sen. Aku takut jika nanti malah membuatnya kecewa kalau tau aku yang sebenarnya."

"Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan Nis, emang kamu kenapa? Mulai sekarang belajarlah untuk menerima semua perhatian Mas Ryan, aku yakin kalau nantinya kalian akan bahagia jika waktunya tiba."

"Nggak segampang yang kamu ucapkan, Sen."

"Mudah, asal kamunya mau berusaha, beda lagi kalau kamu sudah apatis seperti ini."

Apa memang semudah itu? Ah, aku saja masih bingung mengenai perasaanku sendiri. 

"Aku nggak nyuruh kamu buat lupain 'dia', bagaimanapun dia punya tempat tersendiri di sudut hatimu, tapi sekarang situasinya sudah beda Nisya. Ada Mas Ryan dan juga Alshad yang sudah siap untuk bahagia bersama kamu. Yang lalu biarlah berlalu, cukup kamu kenang sebagai pengalaman hidup, sudah selesai. Jangan kamu bawa lagi kemasa yang sekarang karena hasilnya kamu akan stuck di sini aja, dan nggak akan bisa maju."

"Andai saja bisa semudah Sena, selama ini aku sudah mencoba untuk menerimanya. Tapi hasilnya masih tetap sama, Sen. Bahkan setiap kali aku paksa untuk menerima dan menyingkirkan bayang-bayang masa lalu keadaan malah berbalik menyerangku. Lalu aku harus bagaimana?"

"Ikhlas! Kamu hanya perlu ikhlaskan dia yang sudah bahagia. Dan sekarang giliran kamu yang harus bahagia juga."

"Apa aku bisa, Sen."

"Sangat bisa, aku yakin itu."

Ada benarnya sama apa yang dibilang Sena, mungkin ini sudah saatnya buat aku membuka diri kepada Mas Ryan, "Thanks Sen."

"your Wellcome, " ucapnya dengan sedikit memberi remasan dijemariku sebagai bentuk dukungannya.

"Dimulai dari telepon Mas Ryan mungkin, bukanya kamu sudah nggak ada kelas, ya? Tadi Mas Ryan suruh hubungin dia kan, kalau sudah selesai?"

"Ck, kamu nguping?"

"Mana ada, aku cuma enggak sengaja dengar aja sih," ucap Sena dengan cengirannya.

Dengan segera aku mengusir Sena dari hadapanku, tentunya setelah selesai menikmati makan siang  kami, sesuai saran dari Sena tadi aku akan menghubungi Mas Ryan untuk menjemputku.

Tapi sebelum itu aku harus menyelesaikan tugasku dulu, agar besok tidak terlalu keteteran. Baru setelahnya aku akan kirim pesan pada Mas Ryan, itu pilihan terbaik dari pada harus bicara langsung lewat telepon. Dan akan membuatku semakin grogi dan berakhir tidak baik.

"Sen, aku balik, ya," pamitku pada Sena yang masih terlihat sibuk di depan layar komputernya.

Sementara guru yang lainya sudah mengajar di kelas masing-masing, hanya tertinggal beberapa saja di ruang guru termasuk aku diantaranya.

"Hati-hati, dan ingat pesanku tadi." balas Sena sembari mengingatkan apa yang diutarakannya tadi kepadaku, aku hanya tersenyum dan mengangguk saja membalas ucapannya.

Saat aku berjalan keluar menuju lobby aku sudah melihat mobil Mas Ryan terparkir rapi di samping pos penjagaan, sementara orangnya tengah berbincang bersama Pak Satpam tepat di depan pos jaga. Aku sedikit berjalan lebih cepat agar tidak membuatnya menunggu terlalu lama.

Melihat kedatanganku Mas Ryan lantas beranjak membukakan pintu penumpang untukku, lalu dia pamit kepada pak satpam yang sudah menemaninya mengobrol sambari menungguku.

"Kenapa nggak bilang pas mas telepon tadi?" tanyanya setelah mulai melajukan kuda besinya menuju jalan raya.

"Tadi rencana mau periksa tugasnya anak-anak dulu, tapi nggak jadi nanti aja di rumah. Apa Nisya ganggu waktu kerja Mas?" Tanyaku menoleh ke arahnya yang sexang fokus dengan jalan di depannya.

"Enggak, kalau saja tadi bilangnya kita bisa makan siang bareng."

"Mas, belum makan?"

Mas Ryan hanya menggeleng dan masih tetap fokus sama kemudinya, sama sekali nggak menoleh ke arahku barang sebentar saja.

"Mau makan apa? Kita mampir dulu deh cari tempat makan, gimana?"

"Boleh, ke tempat yang biasa kamu makan aja, gimana," usulnya.

"Jauh banget Mas, nanti kerjaan Mas bagaimana?"

"Mas udah ijin tadi."

"Tau gitu tadi Nisya pulang sendiri saja, kalau Mas mau ijin bolos."

"Beda, Mas ijin bukan bolos." Sanggahnya.

"Kalau keseringan Mas bisa dikatain makan gaji buta tahu." kataku, sedangkan Mas Ryan hanya tersenyum samar.

Selama enam bulan usia pernikahan kami, aku belum pernah melihat Mas Ryan tersenyum lebar.

"Selama ini mas nggak pernah sekalipun bolos, jadi kalaupun sekarang mas bolos, nggak ada salahnya, kan."

Aku hanya mendengkus menanggapi ucapanya, tapi selanjutnya aku merasakan seperti suhu di dalam mobil ini semakin panas dan jantungku sepertinya ingin segera keluar dari singgasananya, sebab kurasakan detakannya semakin kencang.

Saat Mas Ryan dengan tiba-tiba mengusap puncak kepalaku dengan lembut, lalu tangannya turun dan mengambil jemariku untuk digenggamnya.

Aksinya itu sukses membuatku seperti patung saat ini. Aliran darahku seakan berpusat di wajahku, mungkin jika aku bisa melihatnya pasti sudah memerah. Semoga saja Mas Ryan tidak menyadari perubahan pada wajahku, juga tidak bisa mendengar detakan jantungku yang sudah seperti genderang perang. Karena aku aku akui kini perasaanku pun mulai nyaman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   EXTRA PART

    Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   EPILOG

    "Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   End

    "Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   Akhir Sebuah Penyelesaian

    "Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   Terlahir Kembali

    "Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l

  • Terjerat Cinta Duda Bucin   Memohon Keselamatan

    "Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status