Malam menyelimuti rumah Kael dengan kegelapan pekat, seolah-olah selimut malam menutupi setiap sudutnya. Angin dingin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang baru saja diguyur hujan, berpadu dengan kabut yang menggantung di udara. Di depan pintu rumahnya yang rusak dan tampak rapuh, Kael berdiri tegap, menjadi satu-satunya pelindung bagi keluarganya yang berharga.
Dari kegelapan, tiga penyihir Ordo Umbra muncul. Jubah hitam mereka berkibar bagaikan sayap gagak, menandakan kematian yang mengintai di setiap langkah mereka. Mata merah mereka bersinar di balik topeng, memancarkan kebencian yang tak pernah padam. Dalam cahaya bulan yang redup, mereka tampak seperti perwujudan kegelapan yang menjelma menjadi manusia, seolah-olah mereka lahir dari mimpi buruk. "Kael Aethel," suara salah satu dari mereka terdengar kasar dan dingin, memecah keheningan malam. "Serahkan Teknik sihir Racun Tiga Mayat. Atau kami akan menyelesaikan ini dengan cara kami." Kael mengepalkan tangan, merasakan energi sihirnya berdenyut penuh semangat. "Jika kalian menginginkan teknik ini," jawabnya dengan senyum sinis yang menipu, "mengapa tidak coba ambil sendiri?" Salah satu penyihir melangkah maju, tongkat hitam panjang di tangannya berkilau dengan aura gelap yang mengintimidasi. Aliran energi hitam melesat bagaikan ular ganas, membidik Kael dengan niat menghancurkan. Namun, Kael tidak kalah gesit. Tubuhnya melesat ke samping, meninggalkan bayangan samar di tempatnya berdiri sebelumnya. Gelombang serangan itu menghantam pintu rumahnya, merobeknya menjadi serpihan kayu yang beterbangan seperti debu di udara. Kael muncul di atas akar pohon raksasa yang menjulang tinggi, angin berbisik di antara dedaunan lembab. Energi hijau kehitaman berdenyut di atmosfer saat ia mengangkat tangannya, membentuk kabut beracun yang segera mengepung salah satu penyihir. Musuhnya terbatuk-batuk, tubuhnya melemah dalam hitungan detik, terjepit dalam cengkeraman racun sihir yang diciptakan Kael. Di dalam ruang bawah tanah yang gelap dan pengap, Sarah duduk bersila, wajahnya tegang namun berusaha tenang. Matanya yang semula buta kini berpendar ungu, memancarkan cahaya seperti bintang yang menyala dalam kegelapan. Melalui Mata Sihir, ia bisa melihat energi-energi yang bergerak liar di atas sana, menyaksikan pertarungan intens yang membuat udara di sekitarnya bergetar. "Mereka semakin dekat," gumam Sarah, iris ungunya berkilat dalam kegelapan. "Kael tidak akan mampu bertahan lama. Energi sihirnya mulai melemah." Laila menggenggam tangan Sarah erat, jemarinya bergerak membentuk isyarat cepat, mengungkapkan ketakutan yang mendalam. "Apa yang bisa kita lakukan? Kael memerlukan kita, kita tidak bisa hanya duduk di sini." Sarah membalas isyarat dengan hati-hati, matanya tetap terfokus pada pertarungan di atas melalui pandangan sihirnya. "Kael bilang kita harus tetap di sini. Kita hanya akan menyulitkannya jika keluar dan menambah beban." Di luar, pertarungan semakin sengit. Kael menyadari dengan mendalam bahwa ia tidak dapat terus bertarung di dekat rumah. Dengan gerakan cepat, ia melompat mundur menuju hutan purba, tempat di mana kabut tebal menyelimuti tanah, berjuta bayangan menanti. Kedua penyihir yang tersisa mengejarnya, meninggalkan rekan mereka yang terbaring lemah, dan dalam sekejap, kegelapan menyambutnya. Hutan menyambut dengan kegelapan pekat yang menakutkan. Pepohonan menjulang tinggi bagaikan pilar bayangan, dengan akar-akarnya melintang bagaikan ular raksasa yang sedang tertidur. Kabut tipis menyelimuti dasar hutan, menciptakan suasana menyeramkan yang mencekam, seakan-akan makhluk-makhluk purba mengawasi dari jauh. "Kau tidak akan bisa melarikan diri, Kael!" teriak salah satu penyihir, suaranya menggema di antara pepohonan, menciptakan gema yang melingkupi seluruh hutan. Kael terus bergerak, memanfaatkan setiap celah dan bayangan untuk mengaburkan jejaknya. Mantra pelacak mereka membuat sisa energi sihirnya berkilau dalam kegelapan, mengungkapkan keberadaannya dan membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tidak adil dan membingungkan. Mencapai sebuah batu besar, Kael berhenti sejenak untuk memperhitungkan langkahnya. Ia mengangkat tangannya, menciptakan kabut ungu yang menyebar dengan cepat—Racun Halusinasi. Kabut itu segera mempengaruhi para pengejar, dan salah satu penyihir terhenti dengan tatapan kosong, terperangkap dalam ilusi yang dibuat oleh kekuatannya. Yang lainnya tampak bingung, mengikuti bayangan Kael yang tercipta dari halusinasi, tersesat dalam kegelapan. Memanfaatkan kesempatan ini, Kael melesat lebih dalam ke dalam hutan. Ia menemukan celah di bawah akar pohon tumbang dan bersembunyi di sana, menekan energi sihirnya dengan hati-hati untuk menghapus jejak, berharap agar permukaan tanah di atasnya tidak mengkhianati keberadaannya. Langkah-langkah berat terdengar di atas, mendekat dan menjauh. "Dia harus ada di sini!" teriak salah satu penyihir, suaranya frustasi dan penuh kemarahan, serta kebencian yang mendalam. Kael tetap diam, tidak bergerak sedikitpun, berusaha menahan napasnya agar tidak terdengar. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, langkah kaki itu menjauh, menghilang dalam kegelapan hutan yang menakutkan, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimuti. Dalam keheningan yang kembali, wajah ibunya muncul dalam pikirannya, bersama kata-kata terakhir dari suratnya yang berisi harapan dan petunjuk: "Lindungi mereka, Kael. Kalian adalah kekuatan Ibu. Jangan pernah menyerah, meski kegelapan datang." Ia menggertakkan gigi, rasa bersalah dan tekad berkumpul menjadi satu dalam hatinya. Perjuangan ini baru permulaan, dan ia tahu tantangan yang lebih besar menantinya. Dengan napas berat dan semangat yang menyala, Kael keluar dari persembunyiannya, kembali ke dalam bayangan hutan. Ia siap menghadapi apa pun yang akan datang, demi melindungi keluarganya dan mematahkan kegelapan yang mengancam kehidupan mereka. Dalam pikiran dan hatinya, ia berjanji untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga melawan.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya