Share

Warisan Utang Mertua
Warisan Utang Mertua
Author: Duo Sul Enjelika

BAB 1

last update Last Updated: 2023-11-11 16:09:41

“Pesan dari siapa, Mas?” tanya Sinta pada lelaki yang belum lama berstatus menjadi suaminya itu.

“Pesan dari Adikku, dia minta kirimi uang lagi. Katanya, untuk biaya hidup mereka bulan ini belum aku berikan,” jawab Mas Arman sambil memainkan gawainya.

“Apakah suaminya tidak memberikan nafkah untuknya, sampai dia terus -terusan meminta kiriman biaya jatah bulanan dari kamu Mas?“

“Kamu tahu sendirikan aku yang dipercayakan mengelola usaha orang tuaku sayang. Jadi, kedua saudaraku punya hak untuk dinafkahi olehku,” jelas Mas Arman sambil mengelus pipi Sinta yang mulai kembung.

“Minggu lalu adik kamu juga minta dikirimi sepuluh juta Mas? Saya rasa, itu sudah lebih dari cukup untuknya sebulan jika ditambah dengan jatah bulanan dari suaminya.”

“Iya , tapi saat ini dia lagi membangun usaha kecil–kecilan di rumahnya. Jadi, dia butuh tambahan modal buat usahanya. Tidak apa – apa kan?” jelasnya Mas Arman.

“Bukannya uang suami juga uang istri Mas? Seharusnya Kesya mintanya bukan ke kamu tapi ke aku. Karena kamu sudah beristri Mas beda posisi kamu sebelum menikah dengan aku.” Sinta yang mulai kesal segera meninggalkan suaminya yang lagi duduk di sofa.

“Sin, dengarkan aku dulu!” Segera dibujuknya Sinta dengan memegang lengannya.

“Mau jelaskan apa lagi Mas? Aku capek susahnya kamu sama aku. Tapi, senangnya saudara kamu yang nikmati.”

“Sin, tolong dengarkan penjelasanku dulu! Aku janji, setelah ini aku tidak memberikan jatah bulanan lagi ke Kesya. Setidaknya, untuk tambahan modal buat usahanya sudah aku berikan. Jadi, setelah itu bisa kupastikan dia sudah berkurang meminta jatah bulanan. Karena, dia sudah punya penghasilan sendiri.”

“Terserah kamu Mas! Aku bisa apa? Toh, keuangan di rumah tangga kita masih selalu di Atur sama orang tua kamu.” Sinta melepas rangkulannya Arman dari lengannya kemudian pergi meninggalkan Mas Arman.

Sinta dan Mas Arman masih tergolong pengantin baru. Usia pernikahan mereka baru menginjak usia empat bulan. Di awal usia pernikahan semua terasa baik -baik saja. Namun memasuki Minggu kedua pernikahan mereka, Sinta bingung mengatur keuangan yang diberikan Mas Arman kepadanya.

Kesya adik Mas Arman dan Bang Junet Kakaknya, selalu minta dikirimi jatah uang bulanan. Terlebih lagi semua jajan anak mereka bahkan pulsa bulanan Kesya dan Bang Junet semua diberikan oleh Mas Arman.

Sebagai istri Mas Arman, pastinya Dia kesal suaminya selalu mengirim uang untuk kedua saudaranya tanpa pedulikan perasaan Sinta sebagai istrinya.

Bahkan kedua orang tua Mas Arman harus mengetahui penghasilan Mas Arman setiap harinya.

Sinta ingin membeli bakso semangkok saja harus diketahui oleh kedua orang tua Mas Arman. Semua ini Mas Arman lakukan hanya untuk berbakti kepada keluarganya.

Karena Mas Arman yang dipercayakan mengelola usaha barang campuran milik orang tuanya sehingga kebutuhan saudaranya yang sudah menikah pun harus dipenuhinya.

Sebagai istri yang baru menikah dan masuk di keluarga Mas Arman dirinya tak bisa berbuat apa. Sinta hanya bisa bersabar dan diam agar menjadi menantu yang tidak durhaka dengan keluarga Mas Arman.

***

“Dik, bisakah aku pinjam uang kamu dua puluh juta? Mas janji dua hari ke depan akan Mas ganti.” Mas Arman yang pada saat itu bersiap - siap pergi ke tempat kerja.

“Uang untuk apa Mas? Bukannya kemarin kamu bilang keuntungan menjual di toko dalam seminggu naik mencapai tiga puluh juta?” tanyaku yang pada saat itu juga bersiap-siap pergi kerja.

“Iya sih dik! Tapi, uang keuntungan itu diambil Ibu katanya mau dibelikan emas,” jawabnya dengan sedikit malu.

“Loh! Kalau Ibu mengambilnya, modal untuk usaha kamu nanti apa Mas?” Aku yang saat ini makin kesal dengan sikap Mas Arman Karena terlalu menurut dengan keluarganya.

Ditambah lagi mereka selama ini menganggap aku hanya guru honorer dengan gaji di bawah lima ratus ribu sebulan.

“Dik, ini kan tanggal muda pasti kamu sudah gajian. Tunjangan sertifikasi kamu sudah cairkan? Pinjam ke Mas dulu ya.”

“Alhamdulillah sudah cair Mas. Aku bersedia bantu Mas tapi janji, Mas harus diganti.”

Selama ini keluarga Mas Arman hanya menganggap aku sebagai guru honorer.

Karena, diriku selalu titip jajanan anak – anak di kantin sekolah buat menambah penghasilan sampinganku sehingga keluarganya Mas Arman menganggap diriku selama ini hanya guru honorer.

Sebelum menikah dengan Mas Arman aku sudah menjadi seorang guru ASN dan berstatus guru yang sudah mempunyai sertifikat pendidik atau guru yang sudah sertifikasi.

Sebulan sebelum menikah dengan Mas Arman aku dilantik menjadi kepala sekolah. Tapi, sebelum menikah aku berpesan dengan Mas Arman agar identitasku sebagai kepala sekolah tak perlu diberitahukan kepada keluarganya.

Segera aku melangkah masuk ke kamar dan membuka lemari tempatku menyimpan uang. Kemudian aku keluar memberikan uang itu ke Mas Arman.

“Ini Mas! Kalau begitu aku berikan pinjaman ke kamu dua puluh juta. Tapi janji ya, harus di ganti karena ini uang pribadi hasil kerjaku.” Kuberikan padanya uang pecahan seratus ribu berjumlah dua puluh juta buat tambahan usaha Mas Arman.

“Terima kasih ya dik, insya Allah secepatnya Mas akan menggantinya.” Lelaki yang baru empat bulan menikah denganku itu segera mengambil uang yang kupinjamkan tak lupa seperti biasa dikecupnya kening ini sebelum berangkat ke tempat kerja.

“Eh, kalian berdua di sini rupanya! Arman, uang yang kemarin kamu berikan ke Ibu belum cukup. Bisakah ditambah lima juta lagi?” Ibu mertuaku yang pada saat itu muncul dari dalam.

“Maaf Bu, bukannya Arman tidak mau beri kali ini aku juga butuh uang buat tambahan modal usaha kita”

“Tuh, duit yang kamu pegang kasih Ibu lima juta saja ya!” Segera ditariknya beberapa lembar uang seratus ribu tersebut dari tangan Mas Arman.

“Eh, Ibu jangan ini uang yang kupinjam dari Sinta! Buat, tambahan modal di toko nanti.” Diambilnya kembali beberapa lembar uang seratus ribu tersebut dari tangan Ibu mertuaku.

“Benar Bu, ini uang tabungan aku yang dipinjam Mas Arman.”

“Alah, guru honorer kaya kamu mana bisa punya uang sampai Dua Puluh Juta gaji kamu sebulan saja paling cuma sekitar lima ratusan,” jawabnya dengan nada yang menghina.

“Bu, sampai kapan Ibu meremehkan Sinta? Sinta ini menantu Ibu,” balas Mas Arman berusaha membelaku.

“Ingat ya Arman! Bapakmu itu mempercayakan kamu yang mengelola usahanya. Jadi, ibu berharap wanita ini jangan sampai ikut campur masalah keuangan yang ada di toko.

“Bu, Sinta ini istri aku. Dia berhak mengatur keuanganku karena dia adalah bendahara dalam rumah tangga Ku.”

“ Terserah kamulah, yang jelas Ibu mau tambahan uang lima juta lagi.” Sambil mengangkat tangannya untuk meminta uang ke Mas Arman.

“Tapi Bu, tambahan modal untuk di to...”

“ Ibu tak mau dengar alasan kamu, sini uangnya.” Ibu mertua yang sudah tidak sabar langsung mengambil paksa uang yang kuberikan pada Mas Arman.

“Bu, itu uang aku! Kembalikan ke Mas Arman.”

“ Guru honorer seperti kamu penghasilan sebulannya pasti tidak seberapa. Sudahlah, kamu tak usah membela diri supaya kami menganggap kamu banyak uang.” Mata Ibu mertuaku melotot ke arahku.

Aku yang melihat kejadian ini hanya bisa diam dan sabar menyaksikan uang yang kuberikan ke Mas Arman diambil oleh Ibu.

Segera kumasuk ke kamar dan ingin pulang ke rumah orang tuaku. Namun, lagi-lagi Mas Arman Menahan Ku.

“Mas, Sampai kapan aku Diam dan sabar seperti ini? Aku lelah Mas, aku capek dirimu diperalat oleh keluargamu. Sebagai istrimu tak bisa berbuat apa.” Aku yang mulai mengumpul baju dan menyimpannya dalam tas koperku.

“Sin, Mas mohon kali ini saja! Dengarkan permintaanku. Janji, kedepannya aku tidak akan memberikan uang pendapatanku secara bebas uang kepada keluargaku lagi,” bujuknya dengan memohon.

“Percuma Mas! Itu bukan hanya uang kamu yang diambil sama Ibu. Tapi, sudah uang pribadi dari hasil gajiku. Kamu sebagai suami juga tidak bisa membelaku.” Segera kumenuju ke rumah yang selama ini aku beli dengan hasil keringatku sendiri sebelum aku menikah dengan Mas Arman.

Rumah ini tepat berada dekat dengan sekolah tempat aku tugas. Tapi, keberadaan rumah ini Mas Arman dan keluarga menganggap ini hanya rumah sederhana milik Novita temanku.

Setelah selesai memasukkan baju di dalam tas koperku kemudian aku pamit ke Mas Arman.

“Mas, aku pergi kamu urus saja Ibu kamu sampai dia kembalikan uangku,” kataku sambil menahan amarah.

“Dik, apakah kamu tidak bisa memaafkan kelakuan Ibuku!”

“Aku bisa memaafkan Ibumu, tapi kembalikan dulu uangku!” jawabku dengan kesal.

Segera aku keluar dari rumah itu kemudian berjalan kaki menuju jalan raya untuk menunggu taksi yang lewat.

Aku berjalan kaki dari rumah Mas Arman ke jalan raya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Sengaja aku keluar dari rumah Mas Arman tidak membawa kendaraan mobil dan motor. Agar keluarga Mas Arman tidak mengetahui bahwa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini adalah menantu idaman orang tua di luar sana.

Dalam perjalanan rasa capek berjalan di bawah terik sinar matahari mulai terasa. Baru aku sadari ternyata sudah jam sepuluh pagi. Aku baru ingat, bahwa belum memberi kabar pada teman – teman guru di sekolah bahwa aku tidak bisa hadir.

Kuambil gawaiku di kantong saku kemudian segera memberikan kabar di Wa grup sekolah. Saking asyiknya melihat ke arah gawai hingga tak ku perhatikan kendaraan yang lewat ke arahku.

Ahh...!” Sebuah mobil berwarna putih berada tepat di depanku

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status