Share

Warisan Utang Mertua
Warisan Utang Mertua
Penulis: Duo Sul Enjelika

BAB 1

“Pesan dari siapa, Mas?” tanyaku pada lelaki yang belum lama berstatus suamiku itu.

“Pesan dari Adikku, dia minta kirimi uang lagi. Katanya, untuk biaya hidup mereka bulan ini belum aku berikan,” jawabnya sambil memainkan gawainya.

“Apakah suaminya tidak memberikan nafkah untuknya, sampai dia terus -terusan meminta kiriman biaya jatah bulanan dari kamu Mas?“ tanyaku dengan sedikit berlebihan.

“Kamu tahu sendirikan aku yang dipercayakan mengelola usaha orang tuaku sayang. Jadi, kedua saudaraku punya hak untuk dinafkahi olehku,” jawabnya sambil mengelus pipiku yang mulai kembung.

“Tapi, bukankah minggu lalu adik kamu juga minta dikirimi sepuluh juta Mas? Saya rasa, itu sudah lebih dari cukup untuknya sebulan jika ditambah dengan jatah bulanan dari suaminya.”

“Iya , tapi saat ini dia lagi membangun usaha kecil – kecilan di rumahnya. Jadi, dia butuh tambahan modal buat usahanya. Tidak apa – apa kan?” jelasnya padaku.

“Bukannya uang suami juga uang istri Mas? Seharusnya Kesya mintanya bukan ke kamu tapi ke aku. Karena kamu sudah beristri Mas beda posisi kamu sebelum menikah dengan aku.” Aku yang mulai kesal segera meninggalkan Mas Arman yang lagi duduk di sofa.

“ Sin, dengarkan aku dulu!” Segera dibujuknya diriku dengan memegang lenganku.

“Mau jelaskan apa lagi Mas? Aku capek susahnya kamu sama aku. Tapi, senangnya saudara kamu yang nikmati.”

“Sin, tolong dengarkan penjelasanku dulu! Aku janji, setelah ini aku tidak memberikan jatah bulanan lagi ke Kesya. Setidaknya, untuk tambahan modal buat usahanya sudah aku berikan. Jadi, setelah itu bisa kupastikan dia sudah berkurang meminta jatah bulanan. Karena, dia sudah punya penghasilan sendiri.”

“Terserah kamu Mas! Aku bisa apa? Toh, keuangan di rumah tangga kita masih selalu di Atur sama orang tua kamu.” Ku lepas rangkulannya di lenganku kemudian aku pergi meninggalkan Mas Arman duduk sendiri.

Aku dan Mas Arman masih tergolong pengantin baru. Usia pernikahan kami baru menginjak usia empat bulan. Di awal usia pernikahan semua terasa baik -baik saja. Namun memasuki Minggu kedua pernikahan kami aku bingung mengatur keuangan yang diberikan Mas Arman kepadaku.

Kesya adik Mas Arman dan Bang Junet Kakaknya, selalu minta dikirimi jatah uang bulanan. Terlebih lagi semua jajan anak mereka bahkan pulsa bulanan Kesya dan Bang Junet semua diberikan oleh Mas Arman.

Sebagai istri Mas Arman, pastinya aku kesal dirinya selalu mengirim uang untuk kedua saudaranya tanpa pedulikan perasaanku sebagai istrinya.

Bahkan kedua orang tua Mas Arman harus mengetahui penghasilan Mas Arman setiap harinya.

Aku ingin membeli bakso semangkok saja harus diketahui oleh kedua orang tua Mas Arman. Semua ini Mas Arman lakukan hanya untuk berbakti kepada keluarganya.

Karena Mas Arman yang dipercayakan mengelola usaha barang campuran milik mertuaku sehingga kebutuhan saudaranya yang sudah menikah pun harus dipenuhinya.

Sebagai istri yang baru menikah dan masuk di keluarga Mas Arman aku tak bisa berbuat apa. Aku hanya bisa bersabar dan diam agar menjadi menantu yang tidak durhaka dengan keluarga Mas Arman.

***

“Dik, bisakah aku pinjam uang kamu dua puluh juta? Mas janji dua hari ke depan akan Mas ganti.” Mas Arman yang pada saat itu bersiap - siap pergi ke tempat kerja.

“Uang untuk apa Mas? Bukannya kemarin kamu bilang keuntungan menjual di toko dalam seminggu naik mencapai tiga puluh juta?” tanyaku yang pada saat itu juga bersiap-siap pergi kerja.

“Iya sih dik! Tapi, uang keuntungan itu diambil Ibu katanya mau dibelikan emas,” jawabnya dengan sedikit malu.

“Loh! Kalau Ibu mengambilnya, modal untuk usaha kamu nanti apa Mas?” Aku yang saat ini makin kesal dengan sikap Mas Arman Karena terlalu menurut dengan keluarganya.

Ditambah lagi mereka selama ini menganggap aku hanya guru honorer dengan gaji di bawah lima ratus ribu sebulan.

“Dik, ini kan tanggal muda pasti kamu sudah gajian. Tunjangan sertifikasi kamu sudah cairkan? Pinjam ke Mas dulu ya.”

“Alhamdulillah sudah cair Mas. Aku bersedia bantu Mas tapi janji, Mas harus diganti.”

Selama ini keluarga Mas Arman hanya menganggap aku sebagai guru honorer.

Karena, diriku selalu titip jajanan anak – anak di kantin sekolah buat menambah penghasilan sampinganku sehingga keluarganya Mas Arman menganggap diriku selama ini hanya guru honorer.

Sebelum menikah dengan Mas Arman aku sudah menjadi seorang guru ASN dan berstatus guru yang sudah mempunyai sertifikat pendidik atau guru yang sudah sertifikasi.

Sebulan sebelum menikah dengan Mas Arman aku dilantik menjadi kepala sekolah. Tapi, sebelum menikah aku berpesan dengan Mas Arman agar identitasku sebagai kepala sekolah tak perlu diberitahukan kepada keluarganya.

Segera aku melangkah masuk ke kamar dan membuka lemari tempatku menyimpan uang. Kemudian aku keluar memberikan uang itu ke Mas Arman.

“Ini Mas! Kalau begitu aku berikan pinjaman ke kamu dua puluh juta. Tapi janji ya, harus di ganti karena ini uang pribadi hasil kerjaku.” Kuberikan padanya uang pecahan seratus ribu berjumlah dua puluh juta buat tambahan usaha Mas Arman.

“Terima kasih ya dik, insya Allah secepatnya Mas akan menggantinya.” Lelaki yang baru empat bulan menikah denganku itu segera mengambil uang yang kupinjamkan tak lupa seperti biasa dikecupnya kening ini sebelum berangkat ke tempat kerja.

“Eh, kalian berdua di sini rupanya! Arman, uang yang kemarin kamu berikan ke Ibu belum cukup. Bisakah ditambah lima juta lagi?” Ibu mertuaku yang pada saat itu muncul dari dalam.

“Maaf Bu, bukannya Arman tidak mau beri kali ini aku juga butuh uang buat tambahan modal usaha kita”

“Tuh, duit yang kamu pegang kasih Ibu lima juta saja ya!” Segera ditariknya beberapa lembar uang seratus ribu tersebut dari tangan Mas Arman.

“Eh, Ibu jangan ini uang yang kupinjam dari Sinta! Buat, tambahan modal di toko nanti.” Diambilnya kembali beberapa lembar uang seratus ribu tersebut dari tangan Ibu mertuaku.

“Benar Bu, ini uang tabungan aku yang dipinjam Mas Arman.”

“Alah, guru honorer kaya kamu mana bisa punya uang sampai Dua Puluh Juta gaji kamu sebulan saja paling cuma sekitar lima ratusan,” jawabnya dengan nada yang menghina.

“Bu, sampai kapan Ibu meremehkan Sinta? Sinta ini menantu Ibu,” balas Mas Arman berusaha membelaku.

“Ingat ya Arman! Bapakmu itu mempercayakan kamu yang mengelola usahanya. Jadi, ibu berharap wanita ini jangan sampai ikut campur masalah keuangan yang ada di toko.

“Bu, Sinta ini istri aku. Dia berhak mengatur keuanganku karena dia adalah bendahara dalam rumah tangga Ku.”

“ Terserah kamulah, yang jelas Ibu mau tambahan uang lima juta lagi.” Sambil mengangkat tangannya untuk meminta uang ke Mas Arman.

“Tapi Bu, tambahan modal untuk di to...”

“ Ibu tak mau dengar alasan kamu, sini uangnya.” Ibu mertua yang sudah tidak sabar langsung mengambil paksa uang yang kuberikan pada Mas Arman.

“Bu, itu uang aku! Kembalikan ke Mas Arman.”

“ Guru honorer seperti kamu penghasilan sebulannya pasti tidak seberapa. Sudahlah, kamu tak usah membela diri supaya kami menganggap kamu banyak uang.” Mata Ibu mertuaku melotot ke arahku.

Aku yang melihat kejadian ini hanya bisa diam dan sabar menyaksikan uang yang kuberikan ke Mas Arman diambil oleh Ibu.

Segera kumasuk ke kamar dan ingin pulang ke rumah orang tuaku. Namun, lagi-lagi Mas Arman Menahan Ku.

“Mas, Sampai kapan aku Diam dan sabar seperti ini? Aku lelah Mas, aku capek dirimu diperalat oleh keluargamu. Sebagai istrimu tak bisa berbuat apa.” Aku yang mulai mengumpul baju dan menyimpannya dalam tas koperku.

“Sin, Mas mohon kali ini saja! Dengarkan permintaanku. Janji, kedepannya aku tidak akan memberikan uang pendapatanku secara bebas uang kepada keluargaku lagi,” bujuknya dengan memohon.

“Percuma Mas! Itu bukan hanya uang kamu yang diambil sama Ibu. Tapi, sudah uang pribadi dari hasil gajiku. Kamu sebagai suami juga tidak bisa membelaku.” Segera kumenuju ke rumah yang selama ini aku beli dengan hasil keringatku sendiri sebelum aku menikah dengan Mas Arman.

Rumah ini tepat berada dekat dengan sekolah tempat aku tugas. Tapi, keberadaan rumah ini Mas Arman dan keluarga menganggap ini hanya rumah sederhana milik Novita temanku.

Setelah selesai memasukkan baju di dalam tas koperku kemudian aku pamit ke Mas Arman.

“Mas, aku pergi kamu urus saja Ibu kamu sampai dia kembalikan uangku,” kataku sambil menahan amarah.

“Dik, apakah kamu tidak bisa memaafkan kelakuan Ibuku!”

“Aku bisa memaafkan Ibumu, tapi kembalikan dulu uangku!” jawabku dengan kesal.

Segera aku keluar dari rumah itu kemudian berjalan kaki menuju jalan raya untuk menunggu taksi yang lewat.

Aku berjalan kaki dari rumah Mas Arman ke jalan raya membutuhkan waktu sekitar lima menit. Sengaja aku keluar dari rumah Mas Arman tidak membawa kendaraan mobil dan motor. Agar keluarga Mas Arman tidak mengetahui bahwa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini adalah menantu idaman orang tua di luar sana.

Dalam perjalanan rasa capek berjalan di bawah terik sinar matahari mulai terasa. Baru aku sadari ternyata sudah jam sepuluh pagi. Aku baru ingat, bahwa belum memberi kabar pada teman – teman guru di sekolah bahwa aku tidak bisa hadir.

Kuambil gawaiku di kantong saku kemudian segera memberikan kabar di Wa grup sekolah. Saking asyiknya melihat ke arah gawai hingga tak ku perhatikan kendaraan yang lewat ke arahku.

Ahh...!” Sebuah mobil berwarna putih berada tepat di depanku

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status