Chapter: Bab 7 Yang di PilihRatna membeku. Dadanya naik turun, napasnya tersengal, tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Tawa itu tidak datang dari luar jendela, tidak juga dari lorong sempit rumah kosong itu. Ia mendengar tawa itu pecah di dalam kepalanya, seperti ada sosok yang duduk di balik matanya, menertawakan ketakutannya sendiri.Gelap makin pekat. Dinding kamarnya terasa merapat, seperti hidup dan mendekat perlahan. Bau anyir, campuran tanah basah dan darah yang lama mengering, memenuhi hidungnya. Ratna menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan mual, tapi perutnya bergejolak.Kemudian, dari sudut ruangan, terdengar sesuatu menyeret di lantai. “Srekkk… srekkk…” Suara kain, atau mungkin daging, yang digesekkan pada lantai kayu. Ratna memaksa matanya menatap ke arah sana, meski kelopak terasa berat. Dan di tengah kegelapan itu, ia melihat… bukan wujud utuh, hanya bayangan samar. Seperti tubuh seseorang yang terlalu panjang untuk disebut manusia, dengan tangan yang menyentuh la
Last Updated: 2025-09-29
Chapter: Bab 6 Pintu yang Tak Pernah TerbukaTeriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua
Last Updated: 2025-09-27
Chapter: Bab 5 Sosok di depan cerminPagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…
Last Updated: 2025-09-22
Chapter: Bab 4 Jeritan Yang HilangRatna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a
Last Updated: 2025-09-22
Chapter: Bab 3 Bayangan di balik TembangPintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan
Last Updated: 2025-09-21
Chapter: Bab 2 Jejak di bawah RanjangRatna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.
Last Updated: 2025-09-21