Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.
“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang. Kosong. Tak ada siapa-siapa. Namun suara itu… tetap ada. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Lingsir malam… dirimu menuju sirna…) Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya. Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku. Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, ada sosok putih berdiri tegak. Rambut panjang tergerai sampai ke tanah, wajahnya tertutup bayangan. Gaunnya lusuh, bagian bawahnya tampak basah, seolah baru diseret melewati lumpur. Ratna membeku. Kakinya menolak bergerak. Sosok itu maju perlahan. Langkahnya berat, seperti menyeret kaki. Suara krek… krek… mengoyak kesunyian. Ratna ingin lari, tapi tubuhnya seolah ditanam dalam tanah. Nafasnya tersengal, bulu kuduknya berdiri. Sosok itu semakin dekat. Dan ketika jarak tinggal beberapa meter, ia mendongakkan kepala. Ratna menahan napas. Mata sosok itu kosong, hitam legam seperti sumur tak berdasar. Wajahnya pucat, kulitnya robek di pipi, hingga mulutnya tampak lebih lebar dari manusia biasa. Dari mulut yang rusak itu, tembang kembali mengalun—lirih tapi jelas, langsung menusuk jantung Ratna. “Yen tembangé wis manut jenengmu… kuwi tegese dheweke ora bakal lunga nganti entuk awakmu.” (Kalau tembangnya sudah mengikuti namamu… itu artinya dia tidak akan pergi sampai mendapatkan ragamu.) “Tidak… jangan…” Ratna terisak, mundur satu langkah, lalu dua langkah. Tapi setiap ia mundur, bayangan itu semakin dekat. Bukan lagi berjalan, melainkan meluncur seperti kabut, menutup jarak dalam sekejap. Ratna berteriak. Tubuhnya berbalik lari, tapi jalan yang tadi ia kenal kini memanjang tak wajar. Pohon-pohon seperti bergerak, menutup jalan, menekuk ke bawah, membuat lorong gelap yang memerangkapnya. Ia tersandung lagi, kali ini jatuh lebih keras. Suara retakan terdengar di pergelangan tangannya saat mencoba menopang tubuh. Sakitnya membuatnya menjerit, namun jeritan itu langsung tenggelam oleh tembang yang tiba-tiba menggema di sekeliling hutan. Bukan satu suara. Bukan satu nyanyian. Melainkan puluhan, ratusan, seolah dari mulut-mulut tak terlihat yang ikut bersenandung dalam kegelapan. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Ratna menutup telinga sekuat tenaga, kepalanya nyaris pecah. Ia terengah, tubuhnya bergetar hebat. Lalu, dari tanah di hadapannya, tangan-tangan pucat bermunculan. Jemari kurus dengan kuku panjang menggapai-gapai, mencoba meraih kakinya. “Lepas!! Jangan sentuh aku!!” Ratna menendang, menjerit, berusaha berdiri. Tapi satu tangan berhasil menggenggam pergelangan kakinya. Dingin, kaku, seolah es yang hidup. Ia menendang dengan sisa tenaga, terlepas, lalu berlari kembali. Tapi kali ini langkahnya membawanya ke sebuah tanah lapang. Rumput liar bergoyang pelan, dan di tengahnya… sebuah panggung tua dari kayu berdiri, penuh lumut dan hampir roboh. Ratna ternganga. Ia tahu panggung itu. Panggung sinden yang dulu pernah dipakai di desa, sebelum terbakar. Tapi mengapa berdiri di sini? Suara gamelan samar terdengar. Alunan kendang, gong, dan suara sinden berlapis-lapis muncul dari arah panggung. Lampu-lampu minyak tua di sekitarnya menyala sendiri, satu per satu, menerangi bayangan penari-penari tak berkaki yang bergerak berputar. Ratna terhuyung, matanya tak berkedip. Di atas panggung, sosok sinden itu berdiri, gaunnya putih, rambut tergerai panjang, wajahnya kini jelas. Ia tersenyum lebar, senyum yang salah, yang menusuk ke dalam tulang Ratna. “Ratna…” panggilnya dengan suara merdu namun dingin. “Nyawamu… suwene wes tak enteni…” (Nyawamu… sudah lama aku tunggu…) Suara gamelan bertalu-talu semakin cepat. Penari-penari tanpa wajah menari liar, suaranya seperti jeritan yang disamarkan irama. Ratna menjerit histeris, mencoba lari dari tanah lapang itu. Tapi setiap ia melangkah, ia selalu kembali ke titik semula—menghadap panggung, menghadap sinden yang kini mulai turun dari atas panggung dengan gerakan patah-patah, seperti boneka rusak. “Sliramu… saiki kagungan kulo…” (Dirimu… sekarang milikku…) Ratna tersudut, terjatuh, tubuhnya menempel pada tanah. Suara gamelan makin bising, suara sinden makin menusuk, sampai dunia seakan hanya berputar pada tembang itu. Lalu, dingin kembali menyentuh lehernya. Jemari itu—kurus, panjang, kuku-kukunya tajam—meraba pelan kulitnya. Ratna tak berani menoleh. Air matanya mengalir deras. Tapi dari balik telinga, suara bisikan itu begitu dekat, begitu nyata, seolah langsung menembus darahnya: “Wis wayahe, Ratna…” (Sudah waktunya, Ratna…) Ratna akhirnya menoleh perlahan—dan apa yang dilihatnya, membuat jeritannya terputus begitu saja, hilang ditelan gelap. Wajah itu… terlalu dekat. Sinden bergaun putih, dengan kulit wajah terkoyak hingga bibirnya melebar tak wajar, sedang menempelkan wajahnya hanya sejengkal dari mata Ratna. Bau anyir darah bercampur harum melati menyergap hidungnya, membuat perutnya mual hebat. Ratna ingin menjerit, tapi suaranya hilang. Tenggorokannya terkunci, seakan jemari dingin itu bukan hanya menggenggam leher, tapi juga menekan pita suaranya. “Saiki kowe ora iso lunga…” bisik sinden itu, matanya menatap lurus tanpa berkedip. (Sekarang kau tak bisa pergi…) Air mata Ratna pecah. Tubuhnya gemetar hebat. Tangan-tangan pucat dari tanah terus bermunculan, menahan kakinya, pinggangnya, menariknya perlahan ke bawah. Ratna berusaha melepaskan diri, mencakar tanah, tapi setiap cakarannya justru menghasilkan lebih banyak tangan yang menjulur keluar. Dari kejauhan, suara gamelan masih bertalu-talu. Suara gong bergema, berat, berulang-ulang, membuat kepalanya berdengung. Penari-penari tanpa wajah menari semakin cepat, tubuh mereka berputar tak terkendali hingga beberapa terlempar ke tanah, namun tetap bangkit kembali dan menari dengan leher terpelintir. Ratna menatap ke langit, mencari bulan, mencari bintang, mencari sedikit tanda ia masih di dunia nyata. Tapi langit di atasnya kosong—gelap legam tanpa cahaya, seolah ia terjebak dalam ruang tanpa ujung. “Ratna…” suara sinden itu lagi, kali ini lirih, hampir seperti nyanyian pengantar tidur. “Wis suwé aku ngenteni awakmu…” (Sudah lama aku menunggu tubuhmu…) Ratna menggeleng lemah, suara isakannya akhirnya pecah. “Kenapa aku?! Aku nggak tahu kamu… aku nggak tahu apa-apa!” Sinden itu tersenyum, senyum yang penuh luka. “Tembangé… wis milih jenengmu. Ora kabeh wong iso…” (Tembang ini… sudah memilih namamu. Tidak semua orang bisa…) Jemari dingin itu merayap dari leher ke wajah Ratna, menyentuh pipinya, meninggalkan jejak seperti es yang membakar. Ratna menutup mata rapat, berharap semua ini mimpi buruk. Dan seketika, dunia runtuh. Ratna terbangun dengan teriakan tercekat. Nafasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat. Ia mendapati dirinya sudah berada di dalam kamarnya—di ranjang, dengan jendela tertutup rapat. Lampu kamar menyala redup, seolah tak pernah padam sejak tadi. Ratna menatap sekeliling. Tak ada panggung. Tak ada sinden. Tak ada tangan-tangan dari tanah. Hanya kamar yang biasa ia kenal. Ia meraih wajahnya dengan gemetar. Masih utuh. Masih dirinya. “Cuma mimpi…” Ratna berbisik, menenangkan diri. “Cuma mimpi, cuma mimpi…” Namun saat ia menoleh ke cermin di sudut kamar, hatinya membeku. Di pipi kanannya—ada bekas goresan merah panjang, seolah dicakar jemari tajam. Ratna tersentak mundur. “Astaghfirullah… ini… ini nyata…” --- Di luar kamar, suara langkah kaki samar terdengar. Ratna menajamkan telinga, jantungnya berdetak keras. Krek… krek… Langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Ratna menahan nafas, tubuhnya kaku. Perlahan, gagang pintu bergetar. Seseorang mencoba membukanya dari luar. “Siapa di sana?!” Ratna berseru, suaranya pecah. Tak ada jawaban. Hanya derit pelan ketika pintu bergerak sedikit, meski terkunci dari dalam. Ratna mundur ke ranjang, tubuhnya menempel pada dinding. Bibirnya bergetar, air matanya kembali jatuh. Kemudian, dari luar pintu terdengar suara—suara perempuan, pelan, namun jelas. “Ratna…” Ratna menutup telinganya. Suara itu terlalu sama. Suara sinden. --- Malam itu, di rumah-rumah tetangga, beberapa orang terbangun karena mendengar jeritan samar dari arah rumah Ratna. Mereka saling pandang, gelisah, namun tak ada yang berani mendekat. Dan di pagi harinya, ketika matahari terbit, rumah Ratna tetap sunyi. Pintu tertutup. Jendela rapat. Tak ada tanda kehidupan. Hanya satu hal yang berbeda—di tanah halaman depan, ada bekas jejak kaki perempuan, basah, seolah baru keluar dari air.Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua
Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…
Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a
Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan
Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.
Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran