Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah.
“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangannya. Seketika ruangan tenggelam dalam gelap. Ratna ingin menjerit, tapi tertahan. Karena di balik pintu kayu itu, suara tembang mendadak berhenti. Sunyi. Hening. Dan dalam keheningan yang mencekam itu… terdengar sesuatu menggesek pelan di jendela samping. Sriiit… sriiitt… Ratna menoleh perlahan. Bayangan hitam dengan rambut panjang tergerai tampak menempel di kaca, wajahnya tertutupi rambut, tubuhnya seperti menempel tanpa bentuk. Ratna menahan napas, lututnya melemas. Lelaki tua itu menunduk dalam-dalam, tak berani menoleh. Lalu, dari balik rambut yang menutupi kaca, terdengar bisikan halus, jelas menyebut namanya: “Ratna…” Ratna tak berani bernapas keras. Matanya terpaku pada jendela yang berembun, di mana bayangan hitam itu masih menempel. Rambut panjang terurai menutupi hampir seluruh kaca, hanya menyisakan gurat pipi pucat dan… senyum samar yang merayap pelan di balik kegelapan. “Ratna…” bisikan itu terdengar jelas. Suaranya serak, seperti keluar dari kerongkongan yang kering dan penuh debu. Ratna menjerit pelan, mundur ke belakang hingga tubuhnya hampir roboh. Lelaki tua itu buru-buru meraih lengannya, menahan agar ia tidak jatuh. “Ojo ndelok, Nduk! Tutup mripatmu!” (Jangan lihat, Nak! Tutup matamu!) Dengan tubuh gemetar, Ratna memejamkan mata rapat-rapat. Tapi suara itu tetap merayap masuk, semakin dekat, seakan kini berada tepat di telinganya. “Sliramu tumeking sirno…” (Bayanganmu lenyap…) Lelaki tua itu meraih segenggam garam dari kantong kain di pinggangnya, lalu melemparkannya ke arah jendela. Seketika suara melengking nyaring terdengar, membuat Ratna menutup telinga. Kaca jendela bergetar keras, lalu hening. Saat Ratna membuka mata, bayangan itu sudah hilang. Yang tersisa hanya kaca berembun dengan bekas sidik tangan panjang, seperti kuku yang menggores dari luar. Ratna memandang lelaki tua itu dengan wajah pucat. “Pak… siapa kuwi? Kenapa nyebut jenengku?” (Pak… siapa itu? Kenapa dia menyebut namaku?) Lelaki tua itu menghela napas berat, sorot matanya muram. Ia berjalan ke kursi tua di sudut ruangan, duduk, lalu menunduk dalam. “Kowe wes kecantol, Nduk…” katanya lirih. (Kau sudah tersangkut, Nak…) Ratna terdiam, bulu kuduknya berdiri. “Kecantol? Maksude opo to, Pak?” (Tersangkut? Maksudnya apa, Pak?) Namun sebelum lelaki tua itu menjawab, suara dari luar kembali terdengar—bukan lagi nyanyian, tapi derap langkah. Pelan, berat, berputar mengelilingi rumah panggung tua itu. Dug… dug… dug… Ratna menahan napas. Tubuhnya kaku. Lelaki tua itu kembali berdiri, wajahnya penuh ketegangan. Ia mengambil pelita lagi, menyalakannya, lalu berkata singkat dengan suara bergetar: “Yen tembangé wis manut jenengmu… kuwi tegese dheweke ora bakal lunga nganti entuk awakmu.” (Kalau tembangnya sudah mengikuti namamu… itu artinya dia tidak akan pergi sampai mendapatkan ragamu.) Ratna terpaku, wajahnya pucat pasi. Kata-kata lelaki tua itu terus bergaung di kepalanya. Tidak akan pergi sampai mendapatkan ragamu. Tubuhnya bergetar. “Pak… maksude, dheweke iku sopo? Kenapa aku sing dikejar?” (Pak… maksudnya, dia itu siapa? Kenapa aku yang dikejar?) Lelaki tua itu tak segera menjawab. Tatapannya kosong, seakan menimbang sesuatu yang terlalu berat untuk diucapkan. Ia hanya menggeleng pelan, lalu berkata, “Ora kabeh kudu kowe ngerti dina iki, Nduk.” (Tidak semua harus kau ketahui hari ini, Nak.) Ratna menggigit bibir, air matanya hampir jatuh. “Tapi aku wedi, Pak… suarane kuwi ora ilang-ilang…” (Tapi aku takut, Pak… suaranya itu tidak hilang-hilang…) Seolah menjawab, tiba-tiba suara tembang itu terdengar lagi, kali ini samar, datang dari kejauhan. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna menutup telinganya, tapi lagu itu justru semakin meresap, menembus kulit, darah, sampai ke tulangnya. Ia terhuyung, jatuh berlutut, tubuhnya gemetar hebat. Lelaki tua itu buru-buru meraih segenggam garam lagi, menaburkannya mengelilingi Ratna sambil bergumam doa. “Kuwi mung kanggo nahan sementara. Nanging, nek dheweke wes nemu jenengmu… angel kanggo ngusir.” (Itu hanya untuk menahan sementara. Tapi kalau dia sudah menemukan namamu… sulit untuk diusir.) Ratna menunduk, air matanya jatuh menetes ke lantai. Dadanya sesak, pikirannya kacau. Ia ingin lari, tapi ke mana? Suara itu sudah mengikutinya, bahkan sampai dalam kepalanya sendiri. Dan malam itu, saat ia akhirnya mencoba memejamkan mata di sudut ruangan… Ratna terlempar ke dalam mimpi. Dalam mimpinya, ia berdiri di panggung tua. Lampu-lampu temaram, bau kemenyan bercampur bunga melati menusuk hidungnya. Di hadapannya, ratusan orang duduk diam, menatap tanpa ekspresi. Ratna menoleh. Di sampingnya, seorang perempuan bergaun putih lusuh sedang duduk bersila. Rambutnya panjang, menutupi wajah. Suaranya lirih, tapi jelas: “Saiki giliranmu nyanyi, Ratna…” (Sekarang giliranmu bernyanyi, Ratna…) Ratna ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa digerakkan. Bibirnya kaku, tapi tiba-tiba tembang itu keluar dari mulutnya sendiri tanpa kendali. “Lingsir wengi…” Suara tembang itu keluar dari mulut Ratna tanpa bisa ia kendalikan. Lidahnya kaku, suaranya lirih tapi jelas, seperti ada yang mengatur dari dalam tubuhnya. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Para penonton di depannya, yang tadinya diam tanpa ekspresi, kini menundukkan kepala serempak. Gerakan mereka pelan, tapi serasi, seperti dipimpin oleh satu komando tak terlihat. Ratna terisak di tengah nyanyiannya, air matanya jatuh, tapi tubuhnya tetap menyanyi. Ia merasakan dingin menjalar dari ujung kaki ke seluruh tubuh. Tangannya bergetar, matanya nyaris tertutup. Dan ketika bait berikutnya hendak keluar, perempuan di sampingnya perlahan mengangkat wajah. Rambut panjang itu terurai, jatuh ke bahu, menyingkap sebagian wajah yang pucat pasi. Dari sela rambut, Ratna melihat bibir yang tersenyum lebar. Terlalu lebar. Senyum itu seolah merobek wajahnya sampai ke telinga. “Ratna…” suara itu terdengar di dalam kepalanya, bukan dari luar. Penonton yang duduk di depan panggung kini mendongak. Mata mereka kosong, tapi hitamnya membesar, memenuhi bola mata. Suara mereka bergema, serempak, mengulang namanya. “Ratna… Ratna… Ratna…” Ratna menjerit, mencoba berlari. Tapi tubuhnya terpaku di panggung. Tangannya diikat oleh rambut perempuan itu yang kini melilit pergelangannya, kuat seperti tali hidup. Perempuan itu menoleh penuh. Wajahnya kini tampak jelas—kulit pucat penuh retakan, mata hitam pekat tanpa bola, dan senyum itu… senyum yang tak wajar, menampilkan gigi-gigi panjang dan tajam. Ia mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Ratna, lalu berbisik dengan napas berbau busuk bercampur melati: “Yen kowe wis nyanyi, saiki kowe kudu nyawang aku…” (Kalau kau sudah bernyanyi, sekarang kau harus menatapku…) Rambutnya menyibak seluruh wajah, memperlihatkan mata hitamnya yang dalam dan menghisap. Ratna tak mampu memalingkan pandangan. Tubuhnya ditarik masuk ke dalam tatapan itu, semakin jauh, semakin gelap… Sampai akhirnya Ratna terjerembab ke dalam kegelapan, jeritannya pecah di udara. Dan ia terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Nafasnya terengah, matanya melebar. Ia sudah tidak berada di rumah lelaki tua itu… melainkan kembali di kamarnya sendiri. Di jendela, tirai tipis bergoyang pelan. Dan dari balik kaca… wajah itu menempel, tersenyum.Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua
Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…
Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a
Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan
Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.
Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran