Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur.
Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu. Dua bola mata merah menyala menatapnya balik. Ratna terlompat mundur sambil menjerit histeris, hampir jatuh terduduk. Bola matanya terasa hendak meloncat dari tengkorak. Ia menekan mulut dengan tangan agar jeritannya tak semakin keras. Tapi terlambat. Sesuatu di bawah ranjang itu bergerak. Gesrek… gesrek… Suara kain diseret kembali terdengar. Lalu terdengar pula suara napas berat, dalam, seolah dada yang hampa udara sedang berusaha bernafas. Ratna panik. Ia melirik pintu kamar—terkunci dari dalam. Satu-satunya jalan keluar adalah jendela. Dengan sisa tenaga, ia berlari ke sana. Tirai tipis ia singkap paksa, lalu membuka kaitan jendela. Udara malam yang dingin langsung menyergap wajahnya. Ia hendak melompat keluar, tapi sesuatu menahan pergelangan kakinya. Dingin, basah, dan lengket. Ratna menoleh. Dari bawah ranjang, tampak tangan pucat berurat hitam menjulur, mencengkeram kakinya erat-erat. Kuku-kukunya panjang, hitam, dan tajam, menusuk kulitnya. “Lepas! Lepas!!” Ratna menendang sekuat tenaga. Keringat bercucuran di wajahnya, air mata mulai mengalir. Namun genggaman itu makin kuat, menariknya perlahan kembali ke arah ranjang. Sampai akhirnya, dari kegelapan bawah ranjang itu, terdengar suara lirih yang sama… “Ratna…” Suara itu parau, dalam, seperti keluar dari rongga dada yang sudah lama membusuk. Ratna meronta semakin keras, lututnya menghantam tepian ranjang sampai memar. Ia berteriak sejadi-jadinya, meski suaranya seolah tenggelam dalam ruang hampa. Genggaman dingin itu makin kuat. Ratna merasakan kukunya menusuk lebih dalam, membuat kulit pergelangan kakinya perih, hangat—darah mulai mengalir. Ia menendang, meraih apa saja yang bisa dijangkau. Tangannya mengenai vas bunga kecil di meja samping ranjang. Dengan tenaga panik, ia melempar vas itu ke arah bawah ranjang. Prak! Suara pecahan kaca memecah keheningan. Untuk sesaat, genggaman itu melemah. Ratna tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menendang sekali lagi, sekuat tenaga, hingga cengkeraman dingin itu terlepas. Ia segera melompat ke luar jendela tanpa pikir panjang. Tubuhnya jatuh menghantam tanah keras di halaman, membuat siku dan lututnya tergores. Tapi Ratna tidak peduli. Ia berlari, terhuyung, napas terengah, matanya basah oleh air mata dan keringat. Di belakang, dari arah kamarnya, terdengar suara benda berat jatuh ke lantai. Duuugg! Disusul suara langkah terseret. Gesrek… gesrek… Suara itu bukan lagi dari bawah ranjang. Itu… sudah berada di dalam kamarnya. Ratna menoleh sekilas ke arah jendela kamar. Dan di sana, tepat di balik tirai, sesosok tubuh pucat berdiri diam. Rambutnya menutupi wajah, tapi senyuman lebarnya masih terlihat samar. Ratna terperanjat. Ia ingin menjerit lagi, tapi suara tercekat. Tubuhnya kaku, langkahnya terseret seperti lumpuh. Angin malam bertiup kencang, membawa aroma melati yang terlalu menyengat. Dan di antara desau angin itu, Ratna kembali mendengar nyanyian lirih, kali ini bukan hanya di telinga—tapi di dalam kepalanya sendiri. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Ratna menutup telinga, berlari sekuat tenaga ke jalan kecil di depan rumah. Tapi suara itu tidak hilang. Semakin ia berlari, semakin jelas terdengar, seakan sosok itu mengejarnya, menempel di punggungnya. Sampai akhirnya Ratna menabrak sesuatu. Tubuhnya hampir terjengkang, tapi sebuah tangan hangat menahannya. Ratna mendongak dengan napas terengah, matanya membelalak ketakutan. Seorang lelaki tua berdiri di hadapannya, mengenakan sarung lusuh dan peci hitam. Wajahnya keriput, tapi sorot matanya tajam menusuk. “Kowe… wes nyawang dheweke, ya?” tanyanya lirih, suara serak dan berat. (Kamu… sudah melihat dia, kan?) Ratna tidak bisa menjawab. Bibirnya bergetar, suaranya tercekat di tenggorokan. Lelaki itu menatap lebih dalam, lalu mendekatkan wajahnya. “Cepet mlebu omahku. Yen ora… nyawamu bakal dijupuk bengi iki uga.” (Cepat masuk ke rumahku. Kalau tidak… nyawamu akan diambil malam ini juga.) Ratna gemetar, air matanya mengalir deras. Ia hanya bisa mengangguk, meski kakinya masih terasa lemas. Lelaki tua itu segera menggandeng lengannya, menariknya menuju sebuah rumah joglo tua di ujung jalan yang remang oleh cahaya lampu minyak. Di sepanjang langkahnya, Ratna masih mendengar suara itu samar-samar. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Dan semakin jauh ia berjalan, semakin jelas ia sadari—nyanyian itu kini bukan hanya terdengar dari arah rumah kosong tadi. Suara itu… mengikuti dari balik kegelapan pepohonan di sekitar jalan. Ratna menoleh cepat ke belakang. Gelap. Hanya pohon-pohon besar dengan bayangan yang menjuntai panjang di tanah. Tapi telinganya tak bisa dibohongi. Ada langkah lain di sana. Ada sesuatu yang bergerak mengikuti mereka. Lelaki tua yang menggandeng lengannya mempercepat langkah. “Ojo ndelok mburi, Nduk,” ucapnya tegas. (Jangan menoleh ke belakang, Nak.) Ratna tercekat. Nafasnya semakin berat, tapi ia memaksa untuk tetap menunduk, mengikuti langkah lelaki itu. Namun rasa penasarannya menjerit. Bagian dalam dirinya memaksa untuk melihat. Apa benar ada sesuatu di belakangku? Langkah mereka semakin menjauh dari rumah tua kakeknya. Tapi suara nyanyian itu tidak meredup, justru semakin jelas, semakin tajam menusuk telinga. “Sliramu tumeking sirno…” Ratna menutup mulutnya, menahan isak tangis. Dadanya naik turun, hampir pingsan menahan teror. Mereka tiba di depan sebuah rumah joglo tua yang masih berdiri kokoh meski catnya sudah mengelupas. Lelaki tua itu buru-buru membuka pintu kayu besar yang berderit berat, lalu mendorong Ratna masuk. Begitu pintu ditutup, ia cepat-cepat mengambil sesuatu dari atas meja kayu dekat pintu—seikat daun kelor kering yang diikat dengan benang hitam. Lelaki itu menggantungnya di atas pintu, lalu merapal doa lirih dalam bahasa Jawa halus. “Ya Allah… sing ndherekke cah iki, ojo nganti mlebu kene…” (Ya Allah… yang mengikuti anak ini, jangan sampai masuk ke sini…) Ratna terhuyung, jatuh terduduk di lantai. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Tubuhnya gemetar hebat. “Pak… aku… aku ora ngerti… opo sing nyekel sikilku… aku ora ngerti…” (Pak… saya… saya tidak tahu… apa yang tadi mencengkeram kaki saya… saya tidak tahu…) Lelaki tua itu menatap Ratna lekat-lekat, sorot matanya serius. “Kowe wes kesawang, Nduk. Wes keperang.” (Kamu sudah terlihat, Nak. Sudah terperangkap.) Ratna terdiam, matanya membelalak. “Apa maksudnya…?” suaranya bergetar. Lelaki itu duduk perlahan di hadapannya, wajahnya menunduk sejenak sebelum berucap lirih: “Tembang iku… dudu sekadar lagu. Sing nyanyi bengi iki… dudu manungsa maneh.” (Tembang itu… bukan sekadar lagu. Yang menyanyikan malam ini… bukan manusia lagi.) Ratna terperanjat, tubuhnya langsung dingin seperti es. Tenggorokannya kering, ingin bicara tapi lidahnya kelu. Suara nyanyian itu masih samar terdengar dari luar—pelan, mendayu, seperti berputar mengelilingi rumah. “Pak… opo maksude…?” Ratna akhirnya bersuara lirih, hampir berbisik. (Pak… apa maksudnya…?) Lelaki tua itu menatap Ratna dengan sorot mata yang penuh rahasia, tapi bibirnya rapat. Ia berdiri, mengambil pelita minyak dari pojok ruangan, lalu menyalakannya. Api kecil itu menari, menyingkap bayangan yang bergerak di dinding. “Aku ora iso crito saiki, Nduk,” ucapnya singkat, suaranya berat. (Aku tidak bisa cerita sekarang, Nak.) Ratna makin bingung, matanya basah. “Tapi kenapa suaranya tetep ada disini, Pak? Kenapa gak ilang?” Lelaki itu mendekat, lalu menepuk bahunya pelan. “Sabar dhisik. Yen kowe ngerti kabeh, bisa wae atimu ora kuat.” (Sabar dulu. Kalau kamu tahu semuanya sekarang, bisa saja hatimu tidak kuat.) Ratna terdiam. Nafasnya terengah, matanya terus menatap pintu kayu yang bergeming. Tapi telinganya menangkap sesuatu… suara nyanyian itu kini terdengar jelas sekali, seolah berdiri tepat di depan rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Suara itu begitu dekat. Begitu nyata. Ratna menutup telinganya erat-erat, tubuhnya gemetar. Lelaki tua itu menunduk, memejamkan mata, bibirnya berkomat-kamit membaca doa. Tapi dalam hati Ratna, satu pertanyaan semakin membuncah—siapa yang sebenarnya mengikuti mereka sejak tadi?Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua
Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…
Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a
Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan
Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.
Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran