Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.
Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam. Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal. “Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?) Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna. Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok… masih basah begini…) Beberapa ibu-ibu mulai mendekat, membawa rasa penasaran mereka. “Lho, Ratna ki durung metu yo, Pak?” tanya Bu Marni, sambil melirik-lirik jendela yang tertutup rapat. “Durung. Padahal biasane jam segini wes rame,” jawab Pak Slamet pelan. Mereka berdiri, saling tatap, lalu satu persatu menunduk ketika ingatan tentang jeritan semalam kembali terngiang. Ya, mereka semua mendengarnya. Suara Ratna, samar tapi jelas, menembus dinding malam. Tapi tidak ada satu pun yang berani keluar saat itu. Pak Slamet mengetuk pintu pelan. Tok tok tok. “Ratna? Nduk? Kowe ora opo-opo to?” (Ratna? Nak? Kamu nggak apa-apa kan?) Sunyi. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Tok tok tok tok. “Ratnaaa! Iki aku, Pak Slamet!” (Ratnaaa! Ini aku, Pak Slamet!) Tetap tak ada jawaban. Suasana makin aneh ketika ayam-ayam di halaman Ratna tiba-tiba berkokok serentak, padahal matahari sudah cukup tinggi. Bulu-bulu mereka berdiri, beberapa bahkan berlari tak tentu arah, seperti ketakutan oleh sesuatu yang tak terlihat. “Ih, kok aku merinding yo…” bisik Bu Marni, memeluk dirinya sendiri. Pak Slamet menatap pintu sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Wis, tak dobrak wae.” (Sudah, saya dobrak saja.) Dengan sekali hentakan bahu, pintu kayu tua itu terlepas dari kuncinya. Suara berdebam keras membuat semua orang yang menonton dari luar merapatkan diri, penasaran sekaligus takut. Pintu terbuka. Rumah Ratna gelap. Tirai semua tertutup, udara di dalam dingin dan pengap, seperti rumah yang sudah lama tak dihuni. “Ratna?” panggil Pak Slamet lagi, langkahnya hati-hati masuk ke ruang tamu. Lantai kayu berderit di bawah kakinya. Beberapa tetangga menyusul, saling mendorong pelan, ragu-ragu tapi penasaran. Mereka menutup hidung ketika aroma samar anyir menyambut. “Astagaa… kok koyo mambu amis yo, Pak…” (Astaga… kok kayak bau amis ya, Pak…) bisik salah satu. Pak Slamet menyalakan lampu. Bohlam tua itu berkelip-kelip sebelum akhirnya menyala redup. Ruangan kosong. Tak ada Ratna. Tak ada tanda ia baru bangun tidur. Semua perabot rapi—terlalu rapi, bahkan. Namun ada sesuatu di lantai. Goresan-goresan panjang, seolah ada benda tajam yang diseret dari arah kamar Ratna menuju ruang tamu. Semua terdiam. Jantung mereka berdegup kencang, merasakan ada sesuatu yang benar-benar tidak beres. “Coba delok kamare…” ucap Pak Slamet pelan. (Coba lihat kamarnya…) Mereka berjalan hati-hati menuju kamar Ratna. Pintu kamar itu terbuka sedikit, seakan menunggu mereka masuk. Pak Slamet mendorong pelan. Kreeeet. Lampu kamar mati total. Namun yang pertama kali mereka lihat bukan Ratna, melainkan cermin besar di sudut kamar. Dan di sana… …ada sosok perempuan bergaun putih, rambut panjang menutupi wajahnya, berdiri membelakangi mereka. Ruangan itu senyap. Nafas orang-orang yang ikut masuk terdengar semakin berat, bercampur dengan suara degup jantung yang memukul dada masing-masing. Sosok itu berdiri diam, membelakangi mereka, tepat di depan cermin besar yang sudah sedikit berkarat di pinggirannya. Gaun putihnya lusuh, kotor di bagian bawah, seolah baru saja diseret melewati lumpur. Rambut hitam panjang menutupi wajahnya, membuatnya tampak semakin tak wajar. “Ratna…?” Pak Slamet memberanikan diri, suaranya bergetar. Tak ada jawaban. Sosok itu hanya sedikit memiringkan kepala, pelan sekali, seperti boneka yang lehernya dilonggarkan. Dari sela rambutnya, terlihat sedikit kulit wajah yang pucat, terlalu pucat seperti kertas. “Ratna… nduk, iki kowe ta?” (Ratna… nak, ini kamu kan?) ulang Pak Slamet, lebih lirih. Lalu… sesuatu terjadi. Cermin besar itu bergetar halus, seperti ada angin yang bertiup dari dalamnya, padahal ruangan itu tertutup rapat. Bayangan di cermin tak lagi mengikuti gerakan sosok putih itu. Ketika ia memiringkan kepala ke kanan, bayangannya di cermin justru memiringkan ke kiri. “I-iih Gusti…” salah satu ibu-ibu langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya melebar ketakutan. Sosok itu bergerak pelan, bahunya naik-turun seperti sedang tertawa tanpa suara. Lalu, dari cermin, terdengar jelas bisikan lirih seorang perempuan—merdu sekaligus menyeramkan. “Sliramu… saiki dadi kagungan kulo…” (Dirimu… sekarang sudah jadi milikku…) Pak Slamet mundur satu langkah, wajahnya pucat pasi. “Bukan Ratna iki… dudu…” (Ini bukan Ratna… bukan…) Tiba-tiba, sosok itu menunduk. Rambut panjangnya jatuh lebih menutupi wajah, dan dari arah gaunnya menetes cairan hitam pekat ke lantai, membentuk noda yang cepat menyebar. Bau amis bercampur melati menyengat ke seluruh kamar. Beberapa tetangga langsung mundur, ada yang hampir jatuh saking paniknya. Lalu, dengan gerakan tak wajar—cepat, patah-patah—sosok itu menoleh setengah, memperlihatkan wajahnya. Mereka semua terperangah. Wajah itu memang wajah Ratna… tapi matanya hitam legam, bola matanya lenyap. Senyumnya sobek terlalu lebar, hingga hampir mencapai telinga. “Ya Allah…” lirih Bu Marni, tubuhnya lemas. Tiba-tiba cermin bergetar keras, retakan mulai muncul di permukaannya. Dari retakan itu, tangan-tangan pucat bermunculan, meraih ke arah mereka. “Metu! Cepet metu!!” teriak Pak Slamet panik. (Keluar! Cepat keluar!!) Mereka berebut keluar dari kamar, berdesakan di pintu. Sementara itu, sosok Ratna tertawa—tawa nyaring yang menggema aneh, bersamaan dengan suara tembang sinden yang pecah dari segala arah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” Pintu kamar terbanting menutup dengan keras, membuat beberapa orang yang belum sempat keluar terjebak di dalam. Pintu kamar terkunci rapat, meski dari luar Pak Slamet dan beberapa tetangga sudah menghantam-hantam gagangnya dengan bahu, kayu, bahkan kursi. Namun, pintu itu seakan menyatu dengan dinding, tak goyah sedikit pun. Di dalam ruangan, suasana berubah drastis. Udara jadi berat, dingin menusuk hingga membuat napas membeku di kerongkongan. Bau amis darah bercampur wangi melati semakin kuat, membuat tiga orang yang masih terjebak di dalam ruangan itu—Bu Marni, Joko, dan seorang pemuda bernama Budi—mulai mual dan kehilangan tenaga. Cermin besar di dinding kini sudah retak parah, tapi alih-alih pecah, retakan itu justru melebar seperti mulut yang menganga. Dari balik celahnya, terdengar suara bisikan perempuan, lirih tapi jelas. “Sliramu… ojo metu. Kene wae bareng aku…” (Dirimu… jangan keluar. Tetaplah di sini bersamaku…) Bu Marni gemetar hebat, tangannya meraih kerudungnya yang hampir terlepas. “Astaghfirullah… Gusti, tulung…” (Ya Allah, Tuhan, tolong…) Budi berusaha menyeret Bu Marni ke arah pintu. “Bu, sabar, sabar! Kita keluar, ayo! Pak Slamet di luar, pasti bisa buka!” Tapi langkahnya terhenti ketika cermin itu mengeluarkan suara kraakk panjang, dan dari dalamnya muncul bayangan tangan—lebih banyak dari sebelumnya. Tangan-tangan pucat dengan kuku panjang tajam menempel ke permukaan kaca, seakan mencari jalan keluar. Joko, yang berdiri paling dekat dengan cermin, terpaku. Matanya melebar, tubuhnya kaku. Dari cermin itu, sosok Ratna muncul perlahan. Tapi kali ini wajahnya lebih jelas. Kulitnya pucat membiru, bibirnya hitam, matanya kosong tanpa bola mata. Gaun putihnya meneteskan cairan hitam ke lantai, menimbulkan noda yang terus menyebar seperti akar pohon. “Rat… Ratna?” suara Joko pecah, seolah setengah tak percaya dan setengah berharap masih ada harapan. Sosok itu menoleh ke arahnya, tersenyum lebar hingga bibirnya sobek tak wajar. Dari mulutnya keluar suara retakan, seperti tulang yang dipatahkan satu per satu. “Aku dudu Ratna…” bisiknya lirih. (Aku bukan Ratna…) Tiba-tiba, sosok itu melesat cepat ke arah Joko. Gerakannya tak terlihat jelas—hanya bayangan putih yang tiba-tiba sudah menempel di wajah Joko. Jeritan panjang langsung pecah. “Aaaaaakhhhhhh!!!” Tubuh Joko terlempar ke dinding, menabrak rak kayu hingga roboh. Darah muncrat dari mulutnya, matanya membelalak seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Bu Marni histeris, berlari ke arah pintu sambil menghantam-hantam kayu dengan tangan kosong. “Bukaaaa!! Bukaa pintune!!” (Buka! Buka pintunya!!) Budi yang masih waras mencoba menariknya, “Bu, jangan dekat pintu! Kita bisa—” kalimatnya terhenti karena tiba-tiba suara tawa perempuan menggema keras dari cermin. Tawa itu bercampur dengan suara gamelan, sinden, dan tangisan bayi yang entah dari mana asalnya. “Sliramu wes dadi kulo… siji-sijine dalan… mung liwat mriki…” (Dirimu sudah jadi milikku… satu-satunya jalan… hanya lewat sini…) Cermin itu semakin melebar retakannya, hingga lubang hitam terbuka di tengahnya. Dari dalam, terlihat bayangan rumah tua lain, gelap, penuh kain putih tergantung. Angin dingin menyedot ke arah sana, membuat tubuh Bu Marni dan Budi hampir terhisap masuk. Di luar kamar, warga yang mendengar teriakan itu hanya bisa menjerit ketakutan. “Ya Allah, opo sing ana ning njero kuwi?! Cepet panggil kyai, cepet!!” (Ya Allah, apa yang ada di dalam itu?! Cepat panggil kyai, cepat!!) Sementara itu, di dalam kamar, Joko perlahan diseret mendekat ke arah cermin oleh tangan-tangan pucat yang muncul dari balik kaca. Ia menjerit, tubuhnya meronta, tapi semakin keras ia berusaha, semakin kuat tangan-tangan itu menariknya. Dan sebelum siapapun bisa menolong, tubuh Joko lenyap—ditarik masuk ke dalam cermin, meninggalkan darah yang berceceran di lantai. Suara cermin itu kembali bergema, kali ini lebih dingin: “Saiki… giliranmu…” (Sekarang… giliranmu…) Bu Marni dan Budi menatap cermin itu dengan wajah pucat pasi, sadar bahwa mereka selanjutnya.Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua
Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…
Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a
Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan
Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.
Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran