Home / Horor / Lingsir Wengi -Tembang jawa / Bab 6 Pintu yang Tak Pernah Terbuka

Share

Bab 6 Pintu yang Tak Pernah Terbuka

last update Huling Na-update: 2025-09-27 00:36:42

Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.

“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.

Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:

“Sliramu wis dadi sliraku…”

(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)

Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.

Dari luar kamar, Pak Slamet menghantam pintu dengan linggis. “Cepet! Kenceng maneh! Wong-wong njero kuwi jerit-jerit! Bukak pintune saiki!” (Cepat! Lebih keras lagi! Orang-orang di dalam itu menjerit! Buka pintunya sekarang!)

Tapi anehnya, dari luar suara itu hanya terdengar samar. Warga bisa mendengar tangisan Bu Marni, tapi gamelan dan nyanyian sinden tak terdengar sama sekali—seolah hanya Bu Marni dan Budi yang mendengar.

“Gusti… nyuwun pangapunten…” (Ya Allah… hamba mohon ampun…) Bu Marni terisak, matanya tak berani menatap cermin, tapi tubuhnya ditarik pelan sedikit demi sedikit.

Budi menguatkan genggamannya. “Bu! Jangan dilepas! Lihat aku! Lihat aku, jangan lihat sana!”

Lalu tiba-tiba—BRAKK!—salah satu kaca jendela kamar pecah dari dalam. Angin dingin menyapu seluruh ruangan, membuat lampu minyak padam seketika. Gelap gulita menelan segalanya.

Di dalam kegelapan, suara itu berganti. Kali ini terdengar jelas, seolah tepat di belakang telinga mereka:

“Jenengmu… wis kuceluk. Ora ana sing bisa nylametke maneh.”

(Namamu… sudah kusebut. Tak ada yang bisa menyelamatkanmu lagi.)

Bu Marni menjerit histeris, tubuhnya makin terseret. Kakinya menendang-nendang lantai, sementara kuku jarinya berdarah karena mencakar kayu.

“Lepas! Lepas aku!! Gustiiii!!!”

Budi yang tinggal sendirian melawan panik setengah mati. Ia nekat meraih pecahan kaca jendela yang jatuh di lantai, lalu menebaskannya ke tangan pucat yang muncul dari cermin. Tangan itu berdarah hitam pekat, tapi justru makin banyak yang keluar.

Tangisan, tawa, dan gamelan bercampur jadi satu. Cermin itu kini bergetar hebat, seakan ingin meledak.

Dari luar, Pak Slamet berhasil merusak kusen pintu sedikit. “Sedikit lagi! Sedikit lagi, tahan sebentar!”

Tapi waktu seakan habis. Budi merasakan genggaman Bu Marni semakin lemah, tubuhnya setengah sudah tertarik ke dalam cermin. Dan sebelum ia bisa menarik kembali—sosok Ratna muncul tepat di hadapannya, senyum lebar dengan darah menetes dari sudut bibir.

“Saiki giliranmu…”

(Sekarang giliranmu…)

Budi menjerit.

Dan saat pintu berhasil didobrak dari luar, warga berhamburan masuk. Tapi yang mereka temukan hanyalah kamar kosong… sunyi, berantakan, penuh darah di lantai.

Tak ada Bu Marni.

Tak ada Budi.

Tak ada siapa pun.

Hanya cermin besar yang kini sudah retak seribu, memantulkan wajah-wajah samar yang masih menyanyi lirih…

“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”

Suasana rumah Ratna masih mencekam. Warga berkumpul di halaman, sebagian menangis, sebagian lagi membaca doa dengan suara terbata. Pintu kamar sudah terbuka lebar, tapi isinya kosong—hanya darah berceceran dan cermin retak seribu.

Pak Slamet berdiri di depan pintu, wajahnya pucat pasi. “Aku… aku sing ninggalke linggis ning kene. Tapi kok saiki… ora iso mlebu maneh rasane.” (Aku… aku yang mendobrak pintu dengan linggis tadi. Tapi kenapa sekarang… rasanya tidak bisa lagi masuk ke dalam.)

Beberapa pemuda desa memberanikan diri menyalakan obor dan masuk. Namun langkah mereka segera terhenti. Dari dalam kamar, tercium bau melati bercampur amis darah yang menusuk. Obor bergetar di tangan salah seorang pemuda, apinya nyaris padam.

“Pak, iki ora wajar…” (Pak, ini nggak wajar…) bisik seorang pemuda sambil menutup hidungnya.

Tiba-tiba, dari sudut kamar, salah satu ibu berteriak. “Astaghfirullah! Iki opo?!” (Astaghfirullah! Ini apa?!)

Semua menoleh. Di pojok kamar, ada sehelai kain putih panjang, seperti kafan, tergeletak. Awalnya terlihat biasa, tapi begitu salah seorang berani mendekat, terlihat jelas: ada noda darah yang masih basah, seolah baru dipakai membungkus tubuh.

Orang-orang mundur serempak. Seorang bapak paruh baya langsung membaca ayat kursi keras-keras.

Tak lama, suara langkah terburu-buru datang dari arah jalan desa. Seorang pria berjubah putih dengan sorban di kepalanya muncul. Dialah Kyai Arwan, yang dipanggil warga sejak teriakan pertama terdengar.

Beliau masuk dengan tenang, meski wajahnya menunjukkan rasa berat. Tangannya membawa tas kecil berisi kitab dan botol berisi air.

“Apa sing wis kowe delok?” (Apa yang sudah kalian lihat?) tanya Kyai Arwan datar.

Pak Slamet menunjuk kamar dengan tangan gemetar. “Kyai… wong telu mlebu. Saiki ilang. Ning kene mung ana getih lan… lan kain kafan iku.” (Kyai… tiga orang masuk. Sekarang hilang. Di sini hanya ada darah dan… kain kafan itu.)

Kyai Arwan masuk pelan. Beliau tidak langsung menyentuh kain itu, hanya duduk bersila di lantai, membuka kitab kecilnya, lalu membaca doa dengan suara pelan namun tegas.

Saat ayat demi ayat keluar dari mulutnya, cermin yang retak tiba-tiba bergetar sendiri. Retakannya melebar, menimbulkan bunyi krekkk panjang.

Warga langsung panik mundur, sebagian ingin kabur dari rumah itu. Tapi Kyai Arwan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tetap diam.

“Ngono to…” gumam beliau lirih. (Jadi begitu rupanya…)

Beliau menatap cermin itu lama, lalu berkata dengan suara pelan namun menusuk:

“Sing manggon ning kene dudu manungsa. Iki panggonane wong sing mati ora tenang.”

(Yang mendiami tempat ini bukan manusia. Ini tempat orang yang mati tidak tenang.)

Semua orang saling pandang.

Kyai Arwan lalu menoleh ke Pak Slamet. “Aku kudu ngerti kabeh critane. Sapa sing gawe omah iki? Sapa sing sepisanan mati ning kene?” (Aku harus tahu seluruh ceritanya. Siapa yang membangun rumah ini? Siapa yang pertama kali mati di sini?)

Pak Slamet menelan ludah. Wajahnya tegang, seakan menyembunyikan sesuatu.

Sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba kain kafan di pojok kamar itu bergerak sendiri—pelan, seperti ada tubuh yang bergeliat dari dalamnya.

Semua orang langsung menjerit.

Kyai Arwan berdiri cepat, mengangkat botol air dan menyiramkan sebagian isinya ke arah kain kafan itu sambil membaca doa keras-keras. Air itu mengenai kain, dan seketika terdengar suara perempuan tertawa lirih dari dalamnya.

Bukan nyanyian.

Bukan bisikan.

Tapi tawa panjang, dingin, dan menusuk, seperti seseorang yang baru saja menang dalam permainan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 6 Pintu yang Tak Pernah Terbuka

    Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 5 Sosok di depan cermin

    Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 4 Jeritan Yang Hilang

    Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 3 Bayangan di balik Tembang

    Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 2 Jejak di bawah Ranjang

    Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 1 Pindahan

    Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status