Home / Horor / Lingsir Wengi -Tembang jawa / Bab 7 Yang di Pilih

Share

Bab 7 Yang di Pilih

last update Last Updated: 2025-09-29 01:34:47

Ratna membeku. Dadanya naik turun, napasnya tersengal, tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Tawa itu tidak datang dari luar jendela, tidak juga dari lorong sempit rumah kosong itu. Ia mendengar tawa itu pecah di dalam kepalanya, seperti ada sosok yang duduk di balik matanya, menertawakan ketakutannya sendiri.

Gelap makin pekat. Dinding kamarnya terasa merapat, seperti hidup dan mendekat perlahan. Bau anyir, campuran tanah basah dan darah yang lama mengering, memenuhi hidungnya. Ratna menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan mual, tapi perutnya bergejolak.

Kemudian, dari sudut ruangan, terdengar sesuatu menyeret di lantai. “Srekkk… srekkk…” Suara kain, atau mungkin daging, yang digesekkan pada lantai kayu. Ratna memaksa matanya menatap ke arah sana, meski kelopak terasa berat. Dan di tengah kegelapan itu, ia melihat… bukan wujud utuh, hanya bayangan samar. Seperti tubuh seseorang yang terlalu panjang untuk disebut manusia, dengan tangan yang menyentuh lantai, bergerak mendekat, langkah demi langkah.

Tawa itu pecah lagi. Panjang. Dingin. Membelah sunyi.

Ratna mundur, punggungnya menempel pada dinding. Tangannya meraba ke samping, mencari sesuatu untuk membela diri—apa saja. Tapi yang ia sentuh hanyalah dingin kayu yang lembap. Tak ada jalan keluar.

Sosok itu berhenti. Dan dari gelap, suara serak berbisik, jelas menyebut namanya:

“Raaatnaaa…”

“Raaatnaaa…”

Suara itu serak, dalam, seperti datang dari kerongkongan yang sudah berkarat. Ratna menutup telinga, tapi suaranya tetap menusuk masuk. Ia tahu, menutup telinga tidak akan menghentikan apapun yang sedang terjadi.

Tubuh bayangan itu bergerak pelan, menyeret dirinya dari kegelapan. Ratna akhirnya bisa melihat lebih jelas: rambut panjang kusut menutupi sebagian wajah, kulit pucat kehijauan, tangan menjuntai sampai menyentuh lantai, kukunya hitam panjang berlumur tanah. Tapi yang paling membuat darahnya membeku—mulut sosok itu tersenyum lebar, terlalu lebar, seakan rahangnya pernah dipaksa robek sampai ke telinga.

Tawa itu lagi. “Hhhhhh… ha… ha… haaa…”

Ratna menjerit, suaranya pecah memenuhi kamar, tapi jeritan itu tak membawa pertolongan apa pun. Langit-langit kamar mendadak berubah, catnya terkelupas satu per satu, kayu lapuk jatuh, dan di sela-sela retakan itu, Ratna melihat sesuatu yang mustahil—mata. Puluhan, ratusan, menatapnya dari atas, semua terbuka lebar tanpa berkedip.

Ia gemetar, lututnya lemas, tapi tubuhnya dipaksa berdiri tegak. Udara di kamar terasa menekan, seperti ada tangan raksasa yang menindih dadanya.

“Kenapa aku?” Ratna terisak, hampir tak terdengar di tengah suara tawa yang terus bergema. “Kenapa aku?”

Sosok itu berhenti beberapa langkah darinya. Kepala miring, rambut jatuh menutupi wajah, hanya menyisakan sepasang mata putih keruh yang berkilat di gelap. Mulutnya membuka… dan kali ini, bukan tawa yang keluar.

Suara itu lirih, retak, seperti suara paku beradu dengan kaca.

“Karena… kamu… sudah dipilih.”

Ratna merasa lututnya lemas. “Dipilih? Dipilih siapa?”

Sosok itu tidak menjawab dengan kata. Ia mengangkat tangan panjangnya, dan di ujung jari-jari hitam itu, ada potongan kain merah tua yang berlumur darah. Ratna membeku—itu kain yang dikenakan ibunya dulu, sebelum mereka pindah.

Seketika udara kamar menjadi berat. Nafas Ratna tersengal, dadanya ditekan sesuatu yang tak kasat mata. Dari balik dinding, terdengar suara berderak, seperti tulang yang dipatahkan satu per satu. Lalu… dari bawah ranjang, muncul tangan lain, kurus, pucat, jumlahnya lebih dari dua, meraih pergelangan kaki Ratna.

Ratna menjerit, meronta, tapi genggaman itu dingin dan kuat. Ia ditarik perlahan ke bawah ranjang, ke kegelapan yang semakin pekat. Dan di saat matanya hampir tertutup ketakutan, sosok itu berbisik sekali lagi:

“Malam ini… kamu akan tahu siapa yang menginginkanmu…”

---

Genggaman tangan-tangan itu semakin kuat, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Ratna meronta sekuat tenaga, kukunya mencakar lantai, meninggalkan bekas panjang yang berdarah karena kulit jarinya ikut terkelupas. Suaranya parau, jeritannya menggema, tapi tidak ada yang datang menolong.

Kegelapan di bawah ranjang itu bukan sekadar ruang kosong. Saat tubuh Ratna mulai terseret masuk, matanya melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Lorong panjang, hitam, seakan tanpa ujung. Dindingnya bukan kayu, tapi daging—basah, berdenyut, dan mengeluarkan bau anyir bercampur busuk.

“Lepas! Lepas aku!!” Ratna berteriak, suaranya pecah, tapi hanya berbalas tawa dingin dari sosok tinggi yang masih berdiri di tengah kamar. Tawa itu semakin keras, sampai dinding bergetar, kaca jendela retak satu per satu.

Tangan-tangan itu menarik Ratna lebih dalam. Rambutnya terurai, wajahnya membentur sisi ranjang, darah menetes di pipinya. Dengan sisa tenaga, ia menendang, tapi kakinya malah semakin dalam masuk ke lorong itu.

Di dalam lorong, mata-mata merah mulai terbuka satu per satu. Ada puluhan, ratusan, menatapnya dari setiap sisi dinding daging itu. Dan dari jauh, dari ujung lorong, terdengar suara gamelan samar-samar, pelan, seperti bunyi yang datang dari balik tanah.

Ratna terisak. Napasnya tersengal. “Tolong…”

Sosok tinggi di kamar itu tiba-tiba mendekat, wajahnya kini hanya sejengkal dari Ratna. Rambut kusutnya jatuh menutupi pipi Ratna, dan dari bibir hitamnya keluar bisikan yang menusuk telinga.

“Kalau sudah dipilih… kamu tidak bisa lari.”

Dan dalam sekejap, tubuh Ratna sepenuhnya ditarik masuk ke dalam lorong gelap itu. Ranjang menutup kembali seolah tak pernah terjadi apa-apa. Kamar menjadi sunyi. Hanya menyisakan dingin, dan bau darah samar yang menggantung di udara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 7 Yang di Pilih

    Ratna membeku. Dadanya naik turun, napasnya tersengal, tapi tubuhnya tak sanggup bergerak. Tawa itu tidak datang dari luar jendela, tidak juga dari lorong sempit rumah kosong itu. Ia mendengar tawa itu pecah di dalam kepalanya, seperti ada sosok yang duduk di balik matanya, menertawakan ketakutannya sendiri.Gelap makin pekat. Dinding kamarnya terasa merapat, seperti hidup dan mendekat perlahan. Bau anyir, campuran tanah basah dan darah yang lama mengering, memenuhi hidungnya. Ratna menutup mulut dengan telapak tangan, berusaha menahan mual, tapi perutnya bergejolak.Kemudian, dari sudut ruangan, terdengar sesuatu menyeret di lantai. “Srekkk… srekkk…” Suara kain, atau mungkin daging, yang digesekkan pada lantai kayu. Ratna memaksa matanya menatap ke arah sana, meski kelopak terasa berat. Dan di tengah kegelapan itu, ia melihat… bukan wujud utuh, hanya bayangan samar. Seperti tubuh seseorang yang terlalu panjang untuk disebut manusia, dengan tangan yang menyentuh la

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 6 Pintu yang Tak Pernah Terbuka

    Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 5 Sosok di depan cermin

    Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 4 Jeritan Yang Hilang

    Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 3 Bayangan di balik Tembang

    Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 2 Jejak di bawah Ranjang

    Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status