Share

06. Wanna U

"Mau kamu."

Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong.

"Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu."

Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah.

"Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam.

"Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terkejut namun sedetik kemudian ia terlihat biasa saja. "Sudah sayang, jangan marah-marah." ucap Sean menenangkan.

Tangan Sean memegang kedua pipi Letta, "Cantik."

"Cepat sembuh, Rava." Cea menempelkan plester demam lalu mengusap pipi Gravano lembut, ternyata Gravano sudah terlelap, Cea duduk di samping ranjang Gravano lama, ia menatap pria didepannya dengan senyum yang tak luput dari wajah manisnya.

"Rava, tahu enggak?"

"Cea semakin kuat sekarang, Cea enggak menganggap Rava dulu itu jahat, walaupun sikap Rava demikian ke Cea. Cepat sembuh, biar bisa masak bareng lagi, nanti kita bikin yang manis saja, ya. Cea benci sama pedas, dia bikin Rava sakit." gerutu Cea, ia menggenggam tangan Gravano lalu mencium punggung tangannya. "Cea pulang, ya." ucap Cea sambil beranjak, tetapi pandangannya jatuh kepada note kecil di meja belajar Gravano.

Dengan iseng Cea menuliskan nomor teleponnya dengan catatan, 'Nomor Cea cantik, jangan lupa di simpan.' Cea terkekeh lalu keluar sambil menutup pintu kamar Gravano pelan.

"Hah, demi apa, langsung sembuh!" seru Gravano pelan, ia bangkit dari kasur lalu melompat kegirangan, sungguh dia ini kenapa?

Cea berjalan ke arah ruang tamu, ia melihat Letta dan Arka yang tengah siap-siap mau pulang. "Mau pulang kapan?" tanya Letta.

"Nanti saja, kalian hati-hati." ucap Cea, Letta dan Sean mengangguk dan langsung berlalu. Cea menghembuskan napas kasar, ia masih khawatir jika Gravano kembali sakit. Ia khawatir? Tentu. Apakah ia menyukai pria itu? Tidak, ia tidak mau berharap lebih kepada pria itu mengingat banyak perempuan yang lebih unggul dari segala hal menyukai Gravano.

Cea tidak tahu saja laki-laki yang tadi terkapar diranjangnya sekarang sedang bergoyang ria setelah mendapatkan perlakuan manis dari Cea. Dering telepon Cea menyadarkan dari lamunannya, ia menatap deretan angka yang tidak ia kenal.

"Iya, siapa?" tanya Cea.

"Ini Rava, Rava sakit lagi."

"Sebentar, Cea kesana!" ucap Cea lalu beranjak dari sofa dan langsung membuka pintu kamar Gravano, ia tersentak ketika melihat Gravano terbaring sambil memeluk buku catatan yang berisi tulisan Cea dengan senyum anehnya. "Astaghfirullah, Rava kesurupan?" ucap Cea panik.

"Kok sudah disini?"

"Cea daritadi diem di ruang tamu, belum pulang."

"H-Hah?"

Mau disimpan dimana wajahmu wahai Tuan Gravano?

"Mana yang sakit? Sepertinya baik-baik saja." ucap Cea menatap tajam ke arah Gravano, Gravano terkekeh, wajah Cea yang seperti itu jatuhnya malah lucu bukan menakutkan.

"Ini sakit."

Cea membelalakan matanya, "Kenapa?"

"Kering, butuh kecupan."

Cea mengangguk paham, ia merogoh polaroid dari balik casenya dan menempelkan di bibir Gravano, sedetik kemudian Cea mengecup polaroidnya. Cea dengan polosnya memasukkan polaroid tadi ke tempat asalnya, Gravano terdiam sesaat menyadari apa yang terjadi barusan, sungguh ia benar-benar sudah sembuh totaln kenapa wanita manis didepannya ini berbuat begitu terhadapnya?

"Kenapa, masih ada yang sakit?" tanya Cea, Gravano menggeleng ia mengangkat ponsel Cea dan melihat polaroid yang terpampang wajah tampan idol dari negara ginseng itu, "Ini siapa?" tanya Gravano.

"Lee Know, pacar Cea." ingin sekali Gravano langsung menangkap Cea dan tidak akan ia lepaskan seumur hidup, "Ganteng bukan?" tanya Cea sambil menaik-turunkan alisnya.

"Gantengan Rava."

Benar saja hari ini Gravano telah sembuh total, ia memarkirkan motornya diparkiran dan merapikan sedikit rambutnya, namun teriakan histeris dari penggemarnya tidak luput dari pendengaran Gravano.

"Hai, kemarin kenapa enggak masuk, aku merindukanmu."

Gravano tersenyum lebar, "Aku juga merindukanmu."

"Apakah benar?" tanya Ariana senang, "Tidak." wajah Gravano kembali ke kata datar kembali, bagaimana bisa ia merindukan perempuan yang paling menyebalkan seperti Ariana.

"Vano tunggu!" teriak Ariana saat Gravano berlalu begitu saja.

Cea hari ini membawa kotak bekal karena sebelum berangkat sekolah Gravano mengatakan jika ia belum makan.

"Ceaaa!"

Cea membalikkan badannya, "Kenapa?" tanya Cea kepada Letta yang memanggilnya. "Tugas kimia kemarin sudah?" tanya Letta, Cea mengangguk.

Letta dan Cea tipikal pelajar yang cerdas namun mereka tidak banyak bergaul dengan banyak orang, ketika semua orang menjauhi Cea, Letta akan selalu bersamanya. "Tumben bawa bekal?" tanya Letta heran.

"Buat Rava, katanya dia belum sarapan."

Letta menghentikan langkahnya lalu memegang pundak sahabatnya itu, "Hati-hati yang suka dia banyak, jangan sampai sahabatku ini tersakiti karena para penggemarnya." Cea mengangguk, "Terima kasih!" seru Cea.

Cea menepuk bahu Gravano saat anak itu tengah berkumpul dengan Sean dan teman-temannya yang lain, "Wah, itu siapa?" tanya seseorang, tapi Cea membulatkan matanya, "Kalian kembar?" Cea menutup mulutnya tidak percaya.

"Dia sepupuku, anak baru kelas sebelas." jelas Sean.

Cea segera duduk disamping laki-laki dengan wajah sama itu tetapi Gravano menarik Cea agar duduk didekatnya, sangat protektif padahal bukan siapa-siapa. "Hai, Aku Cea, kelas dua belas." ucap Cea sambil mengulurkan lengannya namun malah Gravano yang menjabatnya. "Jangan bersentuhan, belum muhrim." ucap Gravano.

"Yak! Kau bahkan memegang tangan Cea, ingat!" cerocos Letta, sedangkan Gravano malah menampilkan wajah dinginnya. Aish, sudah salah berlagak tidak tahu.

"Aku Devan dan ini Davin," ucap yang lebih kecil. "Kita berbeda lima menit saja." ucap keduanya. Cea menahan diri untuk tidak mencubit mereka yang terlihat sangat menggemaskan.

"Lucu banget!" pekik Cea.

"Mana makanannya, Rava lapar." rengek Gravano membuat semua teman-temannya bergidik ngeri, sejak kapan batu es berubah menjadi es cendol?

Cea mengeluarkan kotak bekalnya yang langsung dibuka oleh Gravano, "Enak?" tanya Cea memastikan bahwa udang sosis asam manisnya diterima oleh indra pengecap Gravano, "Banget!" seru Gravano. Ia melanjutkan acara sarapannya sampai tidak terganggu oleh pandangan para temannya yang memandangnya aneh.

Sean memberi kode kepada Cea, Cea berkedip untuk menerima kode itu, "Bagaimana cara menjinakkannya?" tanya Sean dengan bisikan, Cea ingin melempar Sean keluar sekolah namun sadar Letta-nya ada disini, bisa-bisa Cea ikut dilempar juga.

"Dia milikku, dia milikku!"

"Kau menyukainya? Aku akan membantumu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status