"Mau kamu."
Cea tertawa lepas, "Rava lagi sakit, bobo ya, jangan ngelantur, ih!" ucap Cea sambil Gravano merebahkan diri lalu menyelimuti pria itu, "Mau dikompres?" Gravano mengangguk, "Sebentar, ya!" ucap Cea lalu keluar sambil membawa piring dan mangkuk kosong.
"Maaf telah menyakitimu dulu, sekarang aku akan melindungimu dan mencintaimu."
Jujur Gravano memang telah jatuh hati kepada Cea setelah lebih tau kehidupan Cea yang sebenarnya, ia membenci sikap Cea yang terlalu lemah ternyata ia salah, kenyataan yang berat yang membuatnya tidak sempat untuk melawan takdir. Takdir Cea lebih pedih jika tahu tentang kehidupan wanita itu, jadi, Cea lemah karena lelah.
"Astaghfirullah, mata Cea ada dua!" pekik Cea kaget melihat wajah Sean dan Letta berdekatan, dengan polosnya Cea berlalu begitu saja dan mengobrak-abrik tasnya untuk mengambil plester demam.
"Itu anak kenapa, aish!" Letta tidak habis fikir dengan tingkah laku Cea, tadi Cea benar-benar terkejut namun sedetik kemudian ia terlihat biasa saja. "Sudah sayang, jangan marah-marah." ucap Sean menenangkan.
Tangan Sean memegang kedua pipi Letta, "Cantik."
"Cepat sembuh, Rava." Cea menempelkan plester demam lalu mengusap pipi Gravano lembut, ternyata Gravano sudah terlelap, Cea duduk di samping ranjang Gravano lama, ia menatap pria didepannya dengan senyum yang tak luput dari wajah manisnya.
"Rava, tahu enggak?"
"Cea semakin kuat sekarang, Cea enggak menganggap Rava dulu itu jahat, walaupun sikap Rava demikian ke Cea. Cepat sembuh, biar bisa masak bareng lagi, nanti kita bikin yang manis saja, ya. Cea benci sama pedas, dia bikin Rava sakit." gerutu Cea, ia menggenggam tangan Gravano lalu mencium punggung tangannya. "Cea pulang, ya." ucap Cea sambil beranjak, tetapi pandangannya jatuh kepada note kecil di meja belajar Gravano.
Dengan iseng Cea menuliskan nomor teleponnya dengan catatan, 'Nomor Cea cantik, jangan lupa di simpan.' Cea terkekeh lalu keluar sambil menutup pintu kamar Gravano pelan.
"Hah, demi apa, langsung sembuh!" seru Gravano pelan, ia bangkit dari kasur lalu melompat kegirangan, sungguh dia ini kenapa?
Cea berjalan ke arah ruang tamu, ia melihat Letta dan Arka yang tengah siap-siap mau pulang. "Mau pulang kapan?" tanya Letta.
"Nanti saja, kalian hati-hati." ucap Cea, Letta dan Sean mengangguk dan langsung berlalu. Cea menghembuskan napas kasar, ia masih khawatir jika Gravano kembali sakit. Ia khawatir? Tentu. Apakah ia menyukai pria itu? Tidak, ia tidak mau berharap lebih kepada pria itu mengingat banyak perempuan yang lebih unggul dari segala hal menyukai Gravano.
Cea tidak tahu saja laki-laki yang tadi terkapar diranjangnya sekarang sedang bergoyang ria setelah mendapatkan perlakuan manis dari Cea. Dering telepon Cea menyadarkan dari lamunannya, ia menatap deretan angka yang tidak ia kenal.
"Iya, siapa?" tanya Cea.
"Ini Rava, Rava sakit lagi."
"Sebentar, Cea kesana!" ucap Cea lalu beranjak dari sofa dan langsung membuka pintu kamar Gravano, ia tersentak ketika melihat Gravano terbaring sambil memeluk buku catatan yang berisi tulisan Cea dengan senyum anehnya. "Astaghfirullah, Rava kesurupan?" ucap Cea panik.
"Kok sudah disini?"
"Cea daritadi diem di ruang tamu, belum pulang."
"H-Hah?"
Mau disimpan dimana wajahmu wahai Tuan Gravano?
"Mana yang sakit? Sepertinya baik-baik saja." ucap Cea menatap tajam ke arah Gravano, Gravano terkekeh, wajah Cea yang seperti itu jatuhnya malah lucu bukan menakutkan.
"Ini sakit."
Cea membelalakan matanya, "Kenapa?"
"Kering, butuh kecupan."
Cea mengangguk paham, ia merogoh polaroid dari balik casenya dan menempelkan di bibir Gravano, sedetik kemudian Cea mengecup polaroidnya. Cea dengan polosnya memasukkan polaroid tadi ke tempat asalnya, Gravano terdiam sesaat menyadari apa yang terjadi barusan, sungguh ia benar-benar sudah sembuh totaln kenapa wanita manis didepannya ini berbuat begitu terhadapnya?
"Kenapa, masih ada yang sakit?" tanya Cea, Gravano menggeleng ia mengangkat ponsel Cea dan melihat polaroid yang terpampang wajah tampan idol dari negara ginseng itu, "Ini siapa?" tanya Gravano.
"Lee Know, pacar Cea." ingin sekali Gravano langsung menangkap Cea dan tidak akan ia lepaskan seumur hidup, "Ganteng bukan?" tanya Cea sambil menaik-turunkan alisnya.
"Gantengan Rava."
Benar saja hari ini Gravano telah sembuh total, ia memarkirkan motornya diparkiran dan merapikan sedikit rambutnya, namun teriakan histeris dari penggemarnya tidak luput dari pendengaran Gravano.
"Hai, kemarin kenapa enggak masuk, aku merindukanmu."
Gravano tersenyum lebar, "Aku juga merindukanmu."
"Apakah benar?" tanya Ariana senang, "Tidak." wajah Gravano kembali ke kata datar kembali, bagaimana bisa ia merindukan perempuan yang paling menyebalkan seperti Ariana.
"Vano tunggu!" teriak Ariana saat Gravano berlalu begitu saja.
Cea hari ini membawa kotak bekal karena sebelum berangkat sekolah Gravano mengatakan jika ia belum makan.
"Ceaaa!"
Cea membalikkan badannya, "Kenapa?" tanya Cea kepada Letta yang memanggilnya. "Tugas kimia kemarin sudah?" tanya Letta, Cea mengangguk.
Letta dan Cea tipikal pelajar yang cerdas namun mereka tidak banyak bergaul dengan banyak orang, ketika semua orang menjauhi Cea, Letta akan selalu bersamanya. "Tumben bawa bekal?" tanya Letta heran.
"Buat Rava, katanya dia belum sarapan."
Letta menghentikan langkahnya lalu memegang pundak sahabatnya itu, "Hati-hati yang suka dia banyak, jangan sampai sahabatku ini tersakiti karena para penggemarnya." Cea mengangguk, "Terima kasih!" seru Cea.
Cea menepuk bahu Gravano saat anak itu tengah berkumpul dengan Sean dan teman-temannya yang lain, "Wah, itu siapa?" tanya seseorang, tapi Cea membulatkan matanya, "Kalian kembar?" Cea menutup mulutnya tidak percaya.
"Dia sepupuku, anak baru kelas sebelas." jelas Sean.
Cea segera duduk disamping laki-laki dengan wajah sama itu tetapi Gravano menarik Cea agar duduk didekatnya, sangat protektif padahal bukan siapa-siapa. "Hai, Aku Cea, kelas dua belas." ucap Cea sambil mengulurkan lengannya namun malah Gravano yang menjabatnya. "Jangan bersentuhan, belum muhrim." ucap Gravano.
"Yak! Kau bahkan memegang tangan Cea, ingat!" cerocos Letta, sedangkan Gravano malah menampilkan wajah dinginnya. Aish, sudah salah berlagak tidak tahu.
"Aku Devan dan ini Davin," ucap yang lebih kecil. "Kita berbeda lima menit saja." ucap keduanya. Cea menahan diri untuk tidak mencubit mereka yang terlihat sangat menggemaskan.
"Lucu banget!" pekik Cea.
"Mana makanannya, Rava lapar." rengek Gravano membuat semua teman-temannya bergidik ngeri, sejak kapan batu es berubah menjadi es cendol?
Cea mengeluarkan kotak bekalnya yang langsung dibuka oleh Gravano, "Enak?" tanya Cea memastikan bahwa udang sosis asam manisnya diterima oleh indra pengecap Gravano, "Banget!" seru Gravano. Ia melanjutkan acara sarapannya sampai tidak terganggu oleh pandangan para temannya yang memandangnya aneh.
Sean memberi kode kepada Cea, Cea berkedip untuk menerima kode itu, "Bagaimana cara menjinakkannya?" tanya Sean dengan bisikan, Cea ingin melempar Sean keluar sekolah namun sadar Letta-nya ada disini, bisa-bisa Cea ikut dilempar juga.
"Dia milikku, dia milikku!"
"Kau menyukainya? Aku akan membantumu."
Cea menghembuskan napasnya jengah, sekarang total sudah 1 minggu sejak kejadian kemarin, namun ia belum bertemu lagi dengan sang Ibu. Ia mengaduk milkshake vanilanya sambil sedikit bercengkrama dengan para sahabatnya, walaupun Cea hanya akan tertawa."Ariana di kelas bagaimana?" tanya Letta."Baik-baik saja, Cea sudah bilang dia minta maaf waktu itu, jadi enggak akan ganggu Cea lagi."Letta mengangguk, "Benar juga,""Eh, aku ada kelas, duluan, ya!" seru Letta tergesa-gesa.Kini hanya tersisa Cea dan Sean, sedangkan Gravano belum kembali dari kelas sebelumnya. Mereka berdua hanya diam fokus dengan pekerjaan masing-masing, beberapa kali Sean akan bertanya namun Sean lebih banyak diam dan mengerjakan tugasnya."Aw!" Cea berteriak saat merasakan bibirnya berdarah karena ujung sedotan yang runcing, "Berdarah?" tanya Cea sambil membuka sedikit mulutnya.Sean mendekat dan melihatnya, "Hanya sedikit," ucapnya.Cea mengangguk lalu berla
Vania menarik Cea ke parkiran klinik, "Kau berteman dengannya?" tanya Vania, Cea hanya mengangguk ia tidak ingin sekalipun menjawab pertanyaan yang dilontarkan oelh Vania."Kau dekat dengan keluarganya?"Cea menatap Vania tajam, "Bukan urusanmu, sekarang katakan apa yang membuatmu datang kesini?"Cea tahu, Vania tidak akan datang ke tempat seperti ini, walaupun Ibunya sendiri sedang di rawat. Entah apa alasannya, hanya Vania yang tahu."Kau bertemu dengan Ibumu?""Iya," jawab Cea singkat."Woah, bagaimana dia bisa kemari, berani sekali.""Memangnya kenapa?" tanya Cea."Ah, bukan apa-apa, hanya saja jika ia kembali kesini berarti ia siap mempertaruhkan semuanya, termasuk nyawanya."Mata Cea terbuka lebar, "Apa yang kau katakan?!"Vania tertawa, sesaat sebelum ia mencekik leher Cea kencang, "Kau ditakdirkan terlalu bahagia, aku tidak menyukainya," ucap Vania tajam, lalu menghempaskan Cea begitu saja.Cea meng
"Kenapa?"Cea menggeleng, ia hanya menyesap teh manis hangat yang diberikan Gravano padanya. Sedangkan Gravano menghela napasnya, baik, ini bukan waktu yang tepat untuk mendengarkan Cea bercerita."Baby?"Cea menatap tajam ke arah Gravano, "Manggil siapa?" tanya Cea sewot."Baby, mau cokelat?" tanya Gravano sambil melambaikan dua cokelat chungky bar.Mata Cea berbinar, tetapi apa tadi, Baby? Cea membuang wajahnya malas, ia terus menyesap teh manis hangat sambil memperhatikan kotak yang sudah dirapikan oleh Gravano."Baby?""...""Cea?""Hm?"Gravano tertawa, memang menggelikan jika ia memanggil dengan manis seperti itu, tetapi ia lebih senang jika melihat Cea kesal padanya daripada melihat Cea menangis seperti tadi. "Baby, mau cokelat?""Ya, aku bukan bayi, sana pulang!"Gravano kembali tertawa saat melihat wajah Cea yang bersemu, namun ia menahannya dan mulai berdecak sebal. Gemas, menurutnya.
Cea melengguh pelan saat merasakan sesuatu menempel dikeningnya, bahkan ada tetesan air yang terjatuh di pipi Cea. Ia berpikir jika itu mimpi dan tanpa pikir panjang, ia kembali melanjutkan tidurnya."Pagi," ucap Cea dengan suara khas bangun tidur, ia meregangkan tubuhnya yang pegal karena harus tidur dengan posisi duduk, hingga kakinya mengenai sebuah benda di bawah ranjang."Nenek, ini apa?" tanya Cea sambil mengangkat kotak warna biru langit itu, ia menatap pin matahari yang langsung membawanya mengingat masa lalu, ia ingat bahwa ia pernah memberikan pin ini kepada Ibunya dulu.Mata Cea memanas ia meletakkan kembali kotak itu ke bawah ranjang, lalu menatap Neneknya yang tengah tersenyum hangat. "Ini dari Ibu?" tanya Cea.Nenek hanya menggeleng, bukan ia tidak tahu, ia ingin Cea mengetahui semuanya sendiri. Ia tahu, bahkan ia sangat tahu saat Hana mencium sayang kening Cea, ia tahu."Um, Cea keluar dulu, Nek."Cea mendudukan dirinya di kur
Hari sudah malam, langit sudah menggelap, seluruh manusia sedang beristirahat begitupun dengan matahari yang sudah terlelap. Seorang wanita dewasa berdiri mematung beberapa jam di depan sebuah caffe yang sekarang sudah tutup, sesuai dengan adanya tanda closed di depan pintunya."Cepat atau lambat, aku harus mengatakan yang sebenarnya. Mas, aku akan jujur kepada Cea, anak kita."Wanita itu menengadah melihat bintang yang sepertinya tidak banyak yang terlihat, air matanya sudah turun daritadi, ia merasakan sesak dan sempit mengisi rongga udaranya. Ia merindukan suaminya, ia merindukan Ibunya, dan tentu saja ia merindukan Cea."Nenek, Cea pulang!" teriak Cea dengan riang, ia berjalan cepat ke arah kamar neneknya."Nenek, Cea bawain maka- Nenek!"Sudah pukul jam 12 malam namun mata gadis manis ini enggan tertutup sama sekali, tangannya masih tertaut dengan tangan sang nenek yang tengah tertidur pulas di atas ranjang."Cea?""Nenek sudah b
Gravano mengusap lembut rambut Cea yang terurai, gadis itu terlihat fokus dengan ponselnya, sesekali Cea akan memekik senang bahkan sesekali akan tertawa dan menangis."Kayak Rava, ya?"Cea hanya mendelik, "In your dream."Kini giliran Gravano yang kesal, awalnya Cea mengajak ia pergi ke kedai es krim karena ingin mencoba es krim rasa baru, namun kenyataannya gadis itu malah asik melihat idolanya yang tengah menari sambil menyanyi."Cea, Rava mau pulang," ucap Rava.Cea meletakkan ponselnya lalu menahan Rava yang sudah beranjak, "Okay, Cea makan, jangan pergi!" seru Cea buru-buru, ia langsung menghabiskan satu cup es krim yang sudah setengah mencair."Pelan-pelan makannya," Cea hanya mengangguk.Letta menatap tak percaya dengan wanita yang kini tengah tersenyum miring padanya, "Jangan ganggu sahabat gue lagi!""Mari kita lihat kedepannya bagaimana, saya permisi." ucap Ariana penuh intimidasi diiringi dengan senyum liciknya.
"Aaaaa!"Itu Cea, bukan Gravano.Tidak, bukan Gravano yang menjahili Cea kembaliPerpustakaan ini sangat luas, semua ruangan terpancar lampu yang terang, hanya saja entah kenapa saat ini semuanya padam, membuat Cea berteriak dan memeluk tubuh Gravano."Ini ada Rava, jangan takut." Gravano membalas pelukan Cea, perlahan pelukan itu melonggar, kini Cea menatap seisi perpustakaan yang sangat gelap, nafasnya tercekat dan jantungnya kembali memompa dengan cepat."Rava, Cea takut."Gravano mengeluarkan sebuah lampu kecil berbentuk matahari, "Cea, lihat ini," titah Gravano."I-Itu apa?""Ini lampu, walaupun tidak terlalu terang, setidaknya ia bisa menemanimu."Gravano memasangkan lampu kecil itu ke pergelangan tangan Cea, bentuknya seperti gelang, namun liontinnya berbentuk matahari dan bisa menyala. Entah kenapa, Cea merasa lebih aman sekarang."Terima kasih, Rava." Cea kembali memeluk Gravano, tidak lama setalah itu la
"Maaf, Ibu belum bisa menceritakan semuanya sekarang, dan Ibu juga harus pergi."Cea menatap nanar tubuh Ibunya yang perlahan menjauh, ia memukul dadanya berulang kali demi menetralkan sakit hatinya, "Kenapa harus Cea, kenapa?" rintih Cea perlahan."Cea, you fine?""Ah, Cea baik-baik saja," ucap Cea sambil tersenyum tipis."Tadi siapa?""Bukan siapa-siapa,""Dia membuatmu menangis?""Tidak, Cea hanya sedikit pusing,""Mau pulang?"Cea termenung sebentar, "Tidak perlu, Cea mau lanjut bekerja, Kak!" seru Cea, Fadil hanya tersenyum, ia tahu sedikit karena ia tidak sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Kenapa harus ada rahasia dibalik rahasia?Setelah pertemuan yang singkat dan menyakitkan kini Cea terlihat banyak murung, Letta yang menyadari hal itu untuk pertama kali. "Cea, ada apa?" tanya Letta."A-Ah, tidak, Cea hanya sedang banyak tugas saja." Cea tersenyum, sambil kembali menyesap es jeruknya.
Sudah 5 bulan berlalu dengan sangat cepat, mereka akhirnya bisa menikmati kembali bangku pendidikan. Cea, Gravano, Letta, dan Sean memasuki Universitas Cyanide bersama-sama, walaupun dengan jurusan yang berbeda tentunya.Cea mengambil jurusan bahasa asing, Gravano dengan jurusan kedokteran, Letta masuk psikolog, sedangkan Sean memasuki jurusan multimedia. Mereka berpisah dan menjadi satu dalam ekstrakulikuler seni dan fotography."Gue yang foto, kalian siap-siap." Gravano mengatur lensa kamera, matanya terfokus kepada gadis yang sedang tertawa di sebelah kiri Letta, ia adalah Cea, tanpa sadar Gravano memfokuskan pada titik itu dan foto sempurna dari Cea yang tengah tertawa lepas bisa diabadikan sempurna oleh Gravano."Rava ikutan saja disini," ujar Sean, ia meraih kamera dari tangan Gravano dan memanggil orang yang lewat untuk membantu mengambil gambar."Hitung, Kak!" seru Sean."Baik, satu, dua, tiga."Satu foto telah dipotret sempurna, "Sa