Malam menjelang pagi, Felicia merasakan tubuhnya benar-benar ringan saat ia melihat dunia dan hiruk-pikuknya yang masih terus berputar. Bahkan saat Felicia tidak lagi bernapas. Hingar-bingar lampu jalanan dan ramainya kota benar-benar indah, hanya saja Felicia tidak tahu di zaman mana ia sedang berada.
Malaikat Maut membawa Felicia ke tempat yang sangat jauh. Felicia tidak memperhatikan. Ia sibuk dengan aktifitas manusia. Sampai mereka tiba di pintu suatu rumah kecil, Felicia pun akhirnya menoleh dan terdiam merenung.
"Ini—"
"Selamat datang kembali ke rumah orang tuamu, Felicia."
Felicia merasai bulu kuduknya naik, matanya menghangat dengan pelupuk menahan bendungan air. Semua yang Felicia takutkan, rasa bahagia, jejak penyesalan, titik air mata berasal dari sini. Felicia tak merasa pantas berdiri di sini.
"Saya beneran harus di sini?"
"Iya." jawab Malaikat Maut. "Kamu mau protes lagi?"
Felicia diam, kemudian menatap rumah orang tuanya kembali. Rumah tua itu rupanya belum juga berubah sedikit pun. Felicia jadi sedikit takut.
"Ayo, saya antar."
Felicia menyodorkan tangan kanannya dan terbang menembus pintu. Masuk ke lantai dua, lalu memasuki kamar lamanya. Felicia teridam sesaat. Matanya pun mengedar pandangan, melirik ke segala arah, rasa hangat pun mulai menyirami jiwanya.
"Banyak yang tidak berubah." ujar Malaikat Maut. "Mereka masih ingat kamu anaknya."
Air mata Felicia benar-benar jatuh usai kalimat itu. Kalimat yang hangat memeluk, tapi juga dingin menyakitkan. Felicia hanya diam tak menjawab, menyeka jejak air matanya sendiri.
"Kamu harus tidur sebelum matahari terbit. Lalu jalani hidupmu seperti seharusnya."
Felicia menurut. Ia langsung berbaring dan menarik selimut tinggi, sementara Malaikat Maut duduk di pinggir kasur, seperti akan menyanyikan lagu selamat tidur. Namun kondisinya kali ini sedikit berbeda. Mungkin selamat mati atau selamat hidup kembali.
"Ingat, Felicia. Tidak akan ada yang berubah. Relakan apa yang ada di masa depan, hidup sebagai dirimu sendiri dan manfaatkan semua waktu yang ada sampai saya jemput kamu lagi di waktu yang tepat. Mengerti?"
Felicia mengangguk paham dengan mata yang sudah tertutup. Suara Malaikat Maut mirip dengan cerita ibunya sebelum tidur dulu. Berbaring di ranjang lamanya benar-benar membuat Felicia seperti anak yang baru lahir. Hangat rumah yang lama memeluk Felicia erat, bahkan saat dua matanya terpejam.
"Selamat malam, Sari."
Malaikat Maut tahu perasaan Felicia yang merindukan hidup lamanya ini. Ia bergerak meraih kening Felicia, lalu mengusapnya pelan. Felicia pun mengernyit saat sebuah cahaya putih yang amat terang hadir, semakin lama semakin menyilaukan, menyakitkan mata.
***
"Hah!!"
Kedua mata itu terbuka lebar, pun dengan tubuh yang terduduk seketika dengan dahi banjir keringat. Dengan napas tersenggal, ia mengelap wajahnya frustasi.
"Ck, kenapa mimpi itu lagi sih!"
Ini bukan pertama kalinya ia bermimpi menembus rumah, iya, semengerikan itu. Kalau mau dihitung sejak kecil, ini mungkin sudah ratusan kalinya. Ia sangat tertekan melihat semua adegan yang terus berulang seperti film kuno hitam putih.
Memilih untuk masa bodoh, gadis itu beranjak turun dari kasur dan mengambil handuk serta peralatan mandi. Namun tiba di cermin, ia berhenti melangkah kemudian menolehkan kepala sepenuhnya.
"Eh?" gadis itu tersentak kaget, alisnya terangkat tinggi. Seakan tidak percaya, ia mengamati wajahnya dari pantulan kaca itu cukup lama. "Gue..."
"Sari, Nok! Ayo bangun, sekolah sek!"
Gadis itu tersentak kaget, "iya, Mak!" sahutnya segera berlari turun untuk mengarah ke sumur di belakang rumah. Namun lagi-lagi ia terhenti di depan kalender. Takut ibunya kembali mengomel, gadis itu pun langsung berlari ke belakang rumah.
Dia menurunkan ember dan mengambil air dari sumur. Sambil melihat cerminan dirinya di air, gadis itu berpikir. Sudah berapa lama ia terjebak di kehidupan ini? 15 tahun adalah waktu yang lama dalam perkiraan. Namun terasa begitu cepat saat dijalani begitu saja.
Siapa yang mengira kalau Felicia benar-benar berhasil kembali ke masa lalu sebagai Sari Kartika, biduan desa yang punya cita-cita gemilang itu?
Ah, nama asli Felicia memang Sari Kartika. Gadis desa dengan pendidikan yang tidak terlalu tinggi, lebih sering bolos dengan alasan mengejar mimpi sebagai penyanyi dangdut. Ia baru menggunakan Felicia sebagai nama panggung setelah rekaman dan bernyanyi di ibu kota.
Sari sering membaca komentar netizen dulunya, yang bilang kalau Sari mengambil nama Felicia hanya karena untuk jadi keren semata. Mereka tak pernah tahu, ada identitas yang Sari buang ketika memilih hidup sebagai Felicia.
Yah, orang mana tahu?
Sari mengguyur tubuhnya dengan air yang masih terasa dingin pagi itu. Tapi toh, dia harus berangkat sekolah. Jadi setelah melakukan rutinitas pagi, Sari pun membantu ibunya untuk membuat sarapan. Hal yang tak pernah Sari lakukan sebelumnya.
"Bapak jadi panen kemarin, Mak?" tanya Sari sambil mengulek sambel.
"Jadi. Bapakmu dapet jagung gede semua. Kowe sih gak pernah ikut ke sawah, nyanyi aja di pikiranmu terus!" sahut ibunya sembari menggoreng telur.
Sari hanya tersenyum tipis. Pertanyaan biasa dibalas kata-kata yang menyakitkan, ini alasan Sari malas bicara dengan ibunya dulu. Setelah pergi ke ibu kota pun, Sari sudah tidak pernah mendengar kata-kata itu. Tapi entahlah, Sari hanya akan diam mendengarkannya sekarang.
"Loh, anak wedok ikut nyambel?"
Sari mendongak, lalu tersenyum tipis saat ayahnya keluar dan duduk mengangkat satu kaki di meja makan. "Bapak garap sawah lagi hari ini?"
"Libur sek. Bapak mau mancing sama Pak Saidi." jawab ayahnya.
"Alah, kayak bisa aja." sahut ibu Sari.
"Kan sekali-kali, Mak. Libur sek abis panen,"
Sari hanya tersenyum tipis mendengar percakapan keduanya, sudah tidak mau ikut menyahut lagi. Kesempatan kedua membuat Sari lebih menghargai semuanya. Toh, dua orang tuanya itu tak benar-benar adu mulut besar.
***
Udara pagi mengelus kulit, Sari berjalan kaki menuju ke sekolah. Walau medannya berat dan jauh, hal-hal seperti ini tidak ada di kota, tidak ada di hidupnya sebagai Felicia.
Saat berpapasan dengan beberapa warga, Sari tidak lupa untuk menyapa dan menunduk hormat. Ya, memang ini yang benar. Ini hidup Sari. Bukan Felicia. Ini juga yang harusnya Sari lakukan sebagai dirinya sendiri belasan tahun lalu.
"Kamu suka berangkat pagi ini, to?"
Sari tersentak kacil saat seseorang dengan sepeda hitam bergerak di sebelahnya. Itu Adam, teman kelas Sari. Ya, awalnya memang hanya teman kelas.
Sari diam tak langsung menjawab. Perasaannya sedikit campur aduk. Sari tahu Adam akan jadi ayah yang tidak bertanggung jawab dari anaknya, Zenna. Tapi entahlah, Sari merasa masih ada debaran setiap kali melihat Adam. Pemuda tampan di desa yang Sari sukai juga sejak dulu. Ternyata, Sari benar-benar hidup sebagai Sari. Sari tidak bisa melihat Adam sepenuhnya dari kacamata Felicia.
"Emang bangunnya biasa jam segini, dibangunin Emak juga jam segini."
"Oh," Adam mengangguk. Kemudian mengayuh sepeda lebih cepat sampai tiba di depan Sari, lalu berhenti. "Kamu gak mau naik?"
Sari tersentak kaget, langkahnya langsung terhenti seketika.
"Kamu gak mau naik?"
Sari sebenarnya sudah tahu. Toh, kehidupan yang ini hanya mengulang hidupnya yang lama. Tapi tetap saja, bentuk keterkejutan Sari didekati pemuda pujaan hatinya membuat air mata Felicia yang sudah tahu semuanya membeku dalam diri.
"Iya," ujar Sari menjawab akhirnya.
Sari menggunakan pundak Adam sebagai tumpuan naik. Ia berdiri di pijakan belakang sepeda karena tidak ada jok belakang. Sementara itu, Adam yang sudah merasa Sari naik pun langsung mengayuh sepedanya ke sekolah.
Adam bukan orang baik.
Sari tahu itu, Sari menanamkan hal itu dalam dirinya. Namun ia tidak bisa menolak debaran dalam hatinya setiap kali bau harum shampoo Adam tercium di antara angin pagi. Pundaknya yang tegap lebar itu begitu proposional jika di lihat dari belakang maupun dari depan. Adam adalah sosok sempurna di desa.
Padahal, Adam bukan orang baik. Sari tidak ingin jatuh pada Adam.
Cinta Adam yang begitu nyata saat mereka pacaran dahulu kadang membutakan Sari, membuat Sari berpikir mungkin salahnya ada pada Sari. Sehingga Adam pergi. Padahal, mereka belum jadi apa-apa saat ini.
"Kamu tadi sarapan sama apa?" tanya Adam.
Sari melirik saat Adam bertanya. Namun bukannya menjawab, Sari justru terdiam melihat rambut hitam Adam yang terbang berantakan bersama angin pagi.
"Kenapa?" ujar Adam terkaget saat Sari mengusap kepalanya. "Rambutku aneh?"
Sari menggeleng pelan, sambil tersenyum tipis, sangat tipis. Ia mengusap kepala Adam sehingga memperlihatkan keningnya. Dalam jangka pendek sekarang ini, Adam adalah musuh. Tidak jatuh cinta pada Adam adalah tantangan di hidupnya yang kali ini.
Sinar matahari belum terlalu menusuk saat kelas X3 melakukan pemanasan. Tidak ada murid yang tahu apa yang akan mereka lakukan hari ini. Materi sepak bola sudah selesai lebih awal dari yang dijadwalkan, seharusnya ini jam kosong bagi mereka.Tapi Pak Mulyono berkata tidak."Ketua kelas silahkan pimpin. Setelah pemanasan, nanti kalian putari sawah sebelah barat satu kali. Saya tunggu kalian di sini, saya catat."Sari mengumpat kasar dalam hatinya. Sari benci pelajaran olahraga, dia tidak bisa dan fisiknya memang tidak mendukung. Apalagi sawah barat milik warga itu terhitung sangat luas, pelajaran olahraga benar-benar menyiksa. Tertulisnya menyiksa imajinasi, prakteknya menyiksa fisik."Ri, ayo lek ndang." ujar Mega, teman dekat Sari.Sari mengangguk pasrah dan mulai berlari keluar dari sekolah bersama Mega. Masih belum terlalu jauh, Sari yang sedang berlari pelan pun disenggol pundaknya secara sengaja oleh seseorang. Membuat Mega hampir iku
Kelas X3 kosong saat jam istirahat. Hanya ada beberapa siswa yang makan bekal mereka di kelas, salah satunya Sari. Sedangkan sisanya pergi ke kantin ataupun bermain bola di lapangan. Bangku sebelah Sari kosong. Mega pergi ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas, lalu mampir ke kamar mandi. Dan setelah kembali ke kelas, Mega berlari dengan wajah panik. Derap langkah terdengar di sepanjang koridor, Sari sampai menoleh sebelum Mega sampai di pintu. "Sari ayo, Ri! Felix! Felix! Kasihan Felix, ayo!" "Felix? Felix kenapa Felix?" Sari berusaha tenang. "Felix kesurupan!" Sari mendelik seketika mendengar itu. Ia pun langsung menutup kotak bekalnya dan berlari ke ruang kesehatan bersama Mega. Antara takut dan khawatir bercampur menjadi satu, tapi yang penting sekarang adalah mendampingi teman mereka. Mega langsung menjeblak ruang kesehatan saat ia tiba. Seketika mereka melihat Felix yang duduk tenang di atas ranjang, dengan teh hangat di tanganny
"SARI, IT'S RAINING!!!" Felix masuk ke kelas yang sedang tak diawasi guru dengan senyuman gembira, dia menari-nari senang dan tersenyum lebar. Mega pun seketika tersenyum lebar. Dia ikut berdiri dan bergabung heboh dengan Felix. Sari melirik ke jendela, awan mendung yang sedari tadi menggantung akhirnya pun menjatuhkan air hujan. Kalau begini sudah pasti guru tidak akan masuk ke kelas. Jarak ruang guru dan ruang kelas yang terlalu jauh hanya akan membuat para guru kebasahan kalaupun memakai payung sekalipun. Hujan semakin deras dalam waktu singkat. Sari tersenyum tipis dan akhirnya ikut bergabung dengan Felix dan Mega bermain air. Seperti anak kecil, mereka tertawa dan tersenyum lebar, saling menyiram air pada seragam satu sama lain. Siswa lain ikut keluar dari kelas. Baik anak kelas X3 maupun kelas lain. Mereka bermain air, dari menampung sampai saling siram. Ada yang melepas kemeja pramuka dan berguling di lantai yang licin.
Terik matahari masih berkuasa di langit saat Sari dan Mega tiba di rumah Felix. Meski ini bukan kali pertama mereka datang, tapi tetap saja kagum. Melihat rumah Felix yang besar dan sudah berkeramik lengkap. Hanya saja ada yang berbeda. Mobil putih yang biasanya terparkir di depan rumah itu tidak ada di tempatnya. Rumah tertutup rapat dan tidak terdengar suara sibuk dari dalam. "Aku yang ketuk pintunya ya," kata Mega. Sari mengangguk setuju. Mega pun mengetuk pintu kayu besar itu tiga kali. "Permisi, Feliiix!" Tidak ada sahutan dari dalam. Mega mengulum bibir ke dalam sambil menunggu ada suara yang datang. Namun sampai hitungan lima, tidak ada sahutan dari dalam. Mega pun hendak kembali mengetuk pintu, namun suara tiba-tiba terdengar. "Iya, sebentar!" Mega tersenyum lega. Itu suara Felix. Sari bisa mendengar suara langkah Felix mendekat. Ia menjadi sedikit lega, tidak sabar untuk menengok keadaan Felix dan memberika
Mega menghela napas berat. Ia menyangga dagu dengan tangan kanannya sambil memainkan pulpen di tangan kiri. Pandangannya tertunduk ke buku tulis yang masih kosong setengah, tapi niat untuk mengerjakan tugas sudah habis. Yah, memang terkadang mengumpulkan niat itu hal sulit. Mega melirik ke samping. Pekerjaan Sari malah belum sampai seperempat, tapi tatapan matanya sudah kosong melamun ke ruang tamu rumah Mega. "Kenapa sih, Ri?" tanya Mega menyenggol pundak Sari pelan. Sari pun menoleh, tapi tatapannya masih kosong. "Felix, Ga." jawabnya pelan. "Felix kenapa sih sebenernya? Tadi di kelas juga gak banyak omong sama kita. Lebih suka ngumpul sama yang cowok-cowok." Mega terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ya gimana ya, Ri. Felix kan juga cowok. Mungkin dia juga pengen punya temen cowok. Masa konconan sama awake dewe terus." Sari tidak langsung menjawab. Ada jeda sesaat. "Eh?" Mega menoleh.
Sari kembali ke rumah saat hari sudah malam. Ia mengulum bibir ke dalam dan beberapa kali meneguk saliva. Dengan langkah pelan dan hati-hati, Sari harus memastikan ayahnya belum pulang dari sawah. Masalahnya, Sari tidak memakai baju ganti. Masih dengan dress ungu yang biasa ia kenakan saat bernyanyi di panggung hajatan. Tentu akan sulit berbohong kalau Sari bermain ke rumah Mega karena dress ungu ini. Seiring langkah yang semakin dekat ke rumah, Sari bisa mendengar suara ayahnya yang jelas terdengar. Sari pun terdiam, mengutuk dalam hati. Sekarang mau beralasan bagaimana pun, pasti ketahuan. Jawaban amannya sekarang cuma ada satu. Memutar ke rumah Mega dan meminjam bajunya supaya seolah-olah Sari memang berkunjung ke sana. Memang jauh, tapi mau bagaimana lagi. Semua ini demi menghindari konflik di rumah. Sari membalikkan tubuh dan hendak berjalan pergi. Namun sepertinya, semua itu sudah terlalu terlambat. "SARI! MAU KE
Hembus angin pagi mengelus kulit. Sari berjalan kaki menuju sekolah ketika matahari masih malu-malu menampakkan diri. Maklum, jalanan desa tak sebaik di kota. Kalau tidak berangkat sekolah awal, bisa-bisa terlambat. Berpapasan dengan beberapa warga di jalan, Sari tidak lupa untuk menyapa dan menunduk hormat. Adab kebiasaan di kampung. Yang seharusnya masih ada juga di kota. Seharusnya. Soal kata-kata Mega kemarin, Sari jadi merenung. "Gak pernah pulang bareng sama cowok selama 16 tahun selain Felix." Sial, kalimat itu kembali terbayang. Sebenarnya kalau mau diceritakan sih, bukannya tidak ada. Tapi malah ada. Cuma ya, tidak semua berjalan manis. Mungkin salah satunya, adalah pemilik sepeda onthel yang rajin sekali membunyikan klakson sepedanya padahal jarak dengan Sari masih sangat jauh. Dari nada bicaranya yang bahagia, berani bertaruh cowok itu sudah tersenyum dari kejauhan. "Kring, kring, ada sepeda. Sepedaku roda lima. Kud