"Gak apa-apa udah," ketik Isaac, datar tanpa tambahan emot apapun. Meskipun sebenarnya jantungnya berdegup kencang. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Annastasia, sudah pasti Isaac lah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban oleh orang tuanya, oleh masyarakat, oleh lingkungan dan oleh segenap kaum Noktarian serta seluruh penduduk Negeri North Bank. Istri adalah seratus persen tanggungjawab suami. Begitulah prinsip dan hukum alamnya.
Gak apa-apa terus, Annastasia ngedumel di dalam hati. Aku beneran takut, Abang. Dan apakah Isaac akan terus begitu? Tanya Ann dalam hati. Apakah suaminya benar-benar tidak peduli kalau ia celaka? Hari ini Gestapo. Besok apalagi? Bagaimana kalau ada monster? Makhluk-makhluk malam yang mengerikan? Ann memang tidak pernah menemui makhluk-makhluk semacam itu, tapi di Dunia Sejada, apapun bisa terjadi. Waktu kecil, Ann bahkan pernah mendengar bahwa nun jauh dibalik pegunungan di Negeri Azimuth, hiduplah kaum Jabbar, kaum raksasa berwajah jelek dengan mata sebesar semangka, hidung sepanjang mentimun dan bersuara menggelegar. Entah mamanya menceritakan itu hanya untuk menakut-nakutinya karena tidak mau tidur siang atau memang Tuhan telah menciptakan makhluk bermodel begitu. Tak ada yang tahu.
"Udah lo santai aja. Gak akan kenapa-napa juga. Gestapo doang mah," ketik Isaac, yang ditanggapi oleh Annastasia dengan amarah. Gestapo doang? Hiihhh dasar suami gak peka! Pengen banget istrinya mati kayaknya yaa!
"Abang kapan pulang?" Annastasia mengalihkan pembicaraan.
Argh! Pertanyaan yang sama yang sudah diajukan berkali-kali dalam sehari. Isaac kesal lagi. Entah sudah berapa kali dalam sehari ia merasa kesal begini. Dan sebagaimana pertanyaan yang sama yang sudah diajukan berkali-kali itu, Isaac pun cuma me-read pesan dari Ann, membuat gadis itu yang sudah dongkol, menjadi makin dongkol.
Dua manusia. Suami-istri. Suami yang dingin, yang memilih menutupi perasaan dan kurang berterus-terang. Istri yang manja, yang selalu minta diperhatikan. Mereka hidup berdua tetapi terus memendam kekesalan masing-masing. Argh!
***
Akhirnya, semua akan tiba,
Pada suatu hari yang biasa,
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui,
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku,
(Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih,
Lembah Mandalawangi.
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang
menjadi suram, meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?
Ketika kudekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
(Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi.
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya.
Kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara.
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata?
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta.
(Hari pun menjadi malam. Kulihat semuanya
menjadi muram.
Wajah-wajah yang tidak kita kenal
berbicara dalam bahasa yang kita tidak
mengerti.
Seperti kabut pagi itu)
Manisku, aku akan jalan terus.
Membawa kenang-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru.
-Sebuah Tanya, Soe Hoek Gie-
Annastasia menutup buku puisinya. Buku lama, salah satu buku paling bagus yang pernah ia baca. Annastasia memang pecinta buku. Ia hobi membaca kisah-kisah romantis, membayangkannya, mengkhayalkannya, lalu pikirannya akan terbang ke lamunan awan senja, ketika segala sesuatunya tampak seperti impian yang menjadi nyata.
Seperti hari ini, ketika ia duduk di bawah jendela, membaca puisi karya Soe Hoek Gie sembari ditemani secangkir kopi. Angin meniup dedaunan kering di halaman, mendersikkan ranting-ranting Oak dan menggugurkan dedaunannya. Bebek-bebek tanpa tuan masih berkecipak di kolam tua. Sepasang tonggaret bercicit di dahan-dahan rendah. Langit kelabu, separuh hitam, separuh ungu, menandakan musim yang tak lama lagi akan berganti. Suhu turun menjadi lebih dingin.
Ann masih duduk dibawah jendela selama dua jam lamanya, membolak-balik buku karya Soe Hoek Gie. Ia bertanya-tanya di dalam hati. Seperti apakah Jakarta itu? Atau Lembah Mandalawangi itu? Dua buah tempat yang selalu dituliskan berulang-ulang oleh Soe Hoek Gie. Dan siapakah Soe Hoek Gie itu? Ann tidak tahu. Ia menemukan buku ini di sebuah p***r loak di daerah pinggiran Zerubabel. Tak ada yang melirik buku bekas itu. Namun karena covernya yang terasa asing bagi Annastasia, ia pun nekat membelinya. Tak disangka, ternyata itu adalah buku yang ditulis dari dunia sebelah, sebuah dunia pararel tanpa ujung pangkal, sebuah dunia misteri yang tak diketahui oleh Ann.
Tapi orang-orang suka membicarakannya. Tentang New York yang sibuk. Atau Las Vegaz yang gemerlap. Tentang London yang tua ataupun tentang Wina yang katanya dipenuhi musik klasik. Apakah dunia sebelah lebih menarik daripada dunia yang tengah ditinggalinya ini? Ann terus bertanya-tanya. Apakah di dunia sana ada Kaum Noktarian? Adakah disana Raja yang keji seperti The Holy Lord Nathaniel yang memaksa seluruh dunia Sejada untuk menyembahnya? Adakah perang atau kejahatan kemanusiaan? Apakah orang-orang di dunia sebelah hidupnya lebih bahagia daripada disini? Dan bagaimana pula seseorang bisa sampai kesana? Tembus ke dunia sana? Dimana celahnya? Lewat apa?
Ann berasumsi. Jika sebuah buku dari dunia sebelah saja bisa tembus sampai kesini, tentulah ada orang-orang yang juga bisa menembus dua dunia itu. Tapi bagaimana caranya? Itulah yang tak pernah diketahui Ann. Betapapun, ia bukanlah Tuhan yang mampu mengetahui segala hal. Penglihatannya terbatas. Pandangannya terbatas. Hanya jangkauan pikirannya yang tak terbatas, liar bercabang-cabang menembus ketinggian angkasa dan kedalaman tanah.
Soe Hoek Gie. Ann suka puisi karyanya. Sebuah tanya, judulnya.
Akhirnya, semua akan tiba pada suatu hari yang biasa.
Itu adalah larik favorit Ann. Larik yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tetapi memiliki kesan tersendiri di lubuk kalbunya. Pada suatu hari yang biasa, seolah seseorang telah melewati hari-hari yang berat nan dipenuhi badai bergejolak, untuk kemudian akhirnya tiba untuk beristirahat, menjalani kehidupan yang sederhana, kembali pada suatu hari, yang biasa.
Kapankah hari yang biasa itu muncul untuk dirinya? Ann bertanya lagi di dalam hati. Ia memang selalu bertanya-tanya dan memikirkan banyak hal. Kapankah hari yang biasa itu muncul untuk dirinya? Nun diluar sana, peperangan dahsyat terus terjadi. Raja Nathaniel terus berusaha meluaskan ekspansi dan pengaruhnya. Sekarang lelaki berambut setengah cokelat setengah blonde itu telah berhasil menguasai Negeri Dovarian. Sebelumnya, lelaki itu menguasai Hegelian dan Azimuth. Sementara Negerinya sendiri, Meyhem, luasnya sudah nyaris separuh dari Dunia Sejada. Maka tak terbayangkan lagi betapa luasnya kekuasaan beliau. Tapi, biar begitu, masih ada Negeri Fenicte, Elazar, Petra, Maharabad dan Menokrakh yang belum dikuasai. Dan sekarang, Negeri North Bank, Negeri tempat Ann tinggal ini, sedang banyak diuji. Peperangan antara Meyhem dan North Bank belum menunjukkan titik akhirnya. Walau jelas-jelas North Bank terus mengalami kekalahan disana-sini, namun Ann berharap ada sebuah keajaiban. Entah di celah mana dan di sudut mana dari dunia, Ann berharap Raja North Bank mampu mengalahkan Raja Nathaniel.
Dan seiring dengan orang yang suka membaca buku, tentulah ia juga suka menulis. Begitu pula dengan Annastasia. Setelah puas menyantap satu puisi karya Soe Hoek Gie, ia pun mengambil buku tulis dan pulpen. Annastasia mulai menulis,
"Kamu mungkin bisa mencabut bunga-bunga yang kita tanam. Tapi mereka tidak bisa menghalangi musim semi yang akan datang. Tidak ada yang mampu menahan bunga-bunga itu untuk tumbuh dan mekar."
Ann tersenyum puas dengan kata-kata yang dirajutnya sendiri. Saat ini ia belum sadar, tapi jauh setelah ini, kelak ia akan mengetahui betapa pentingnya sebuah tulisan. Sebuah coret-coretan di atas kertas yang mampu mengubah cara pandang seseorang pada dunia. Sebuah kata-kata sederhana yang tak pernah ia sangka akan menyentuh hati jutaan orang. Sebuah ketidaksederhanaan dari sesuatu yang awalnya amat sederhana.
Sekali lagi, Annastasia tersenyum.
Pukul 20:00 Waktu Zerubabel, North Bank.Pesta meriah. Kembang api warna-warni meledak di langit malam. Di sebuah jembatan besar, para muda-mudi berkerumun. Sambil sesekali meneguk minuman kerasnya, mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan, larut dalam irama musik yang melantunkan lagu rock 'n roll bertema kebebasan.It's my life!!!It's now or never!!Ain't gonna live forever!!!I just wanna live while I am alive!!"It's my life!!" teriak Isaac di tengah-tengah kerumunan itu, seirama dengan lirik lagu dan teriakan muda-mudi lain di sekitarnya. Udara terasa panas meskipun angin mengalir deras. Itu bukan masalah. Seorang pria paruh baya bertubuh sintal berdiri di atas truk lalu menyemprotkan selang air ke kerumunan muda-mudi yang tengah berjingkrak-jingkrak itu. Ahhh!!! Mereka semua mandi hujan be
Dini hari pukul lima pagi, bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit yang perlahan berubah warna menuju ungu tua, terantuk di pucuk cemara, terjebak di bingkai jendela. Musim gugur seringkali menghadirkan malam yang lebih lama. Namun hari ini, dengan sangat ganjil, malam seakan ingin buru-buru pergi. Sementara awan mendung yang tidak kelihatan, perlahan mulai menurunkan gerimis, lalu terbawa oleh angin dan menyeruakkan harum aroma tanah basah. Dari dalam kamar hotelnya, Camilla menatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya. Segaris angin yang menyelinap lewat celah-celah jendela menyisir rambut pirangnya dan menerpa wajahnya yang teduh jelita."Aku tak pernah merasa rindu pada seseorang dalam hidupku seperti padamu," ucap Camilla, setengah berbisik, entah kepada siapa. Barangkali kepada Isaac, tetapi lelaki itu tengah pulas tertidur, terlentang dan telanjang di atas kasur berseprai putih. Barangkali Camilla bercerita bukan untuk siapa-siapa.
Camilla membuka jendela hotel saat matahari mulai meninggi dan menyiram langit menjadi warna biru yang pudar. Udara pagi langsung menerpa wajahnya, terhirup oleh hidungnya lalu memberinya rasa segar yang nyaman. Ini adalah oksigen pertama yang keluar sebelum nantinya terkontaminasi oleh asap kendaraan dan asap dari cerobong pabrik. Meski begitu, suhu di pagi hari selalu terasa cukup dingin, membuat orang-orang harus tetap memakai mantel sekalipun hanya untuk membeli sabun di toko sebelah.Camilla memandang ke bawah dari unit kamar hotelnya di lantai lima, tampak genangan air di beberapa ruas jalan akibat rembesan dari gorong-gorong yang tidak ditangani dengan baik. Seorang pria berjas hitam berjalan di trotoar dengan terburu-buru. Ia tak mempedulikan sepatunya yang basah karena menginjak setiap area yang becek. Seorang perempuan berjalan santai. Sambil merapatkan mantelnya, ia melihat-lihat barisan toko sayuran yang baru dibuka di ujung jalan sana. Sebuah mobil sedan lewat de
"O Anne..." Eli mengusap punggung sahabatnya dengan prihatin. Waktu itu jam makan siang, di sebuah aula besar dengan langit-langit melengkung yang ditancapi tiang-tiang, di salah satu sudut meja yang dihiasi patung kepala rusa dan lukisan semi-realis di dinding, Eli mendengarkan keluh kesah Ann tentang kelakuan suaminya. Di luar, gerimis membawa dingin. Sebuah suara resah datang dari pohon-pohon neem yang ranting-rantingnya berkeriang-keriut tertiup angin. Sebuah pohon tabebuya gersang tanpa bunga teronggok di pinggir kebun belakang sekolah, yang bisa dilihat dari jendela di aula makan ini; perawakannya sangat jelek, bebonggol-bonggol dan dedaunannya layu. Ketika angin dingin bertiup sekali lagi, dedaunan tabebuya itu berterbangan menimpa dinding sekolah, bercampur dengan dedaunan kuning dari pohon maple."Mungkin kalian belum terbiasa saja hidup berdua," bujuk Eli, berusaha tidak menunjukkan sentimen apapun. Ia mengiris daging asap hingga terlepas dari tulangnya dengan teram
Langit biru tua dan separuh ungu muda membentang luas di atas samudera, memancarkan aura murung. Suara ombak berdebur, keras bagai ledakan besar. Petir menyambar-nyambar, menampilkan atraksi pedang cahaya yang menyeramkan. Annastasia berada di bawah nyala kilat-kilat itu, mencoba berenang melawan arus."Pergi, Ann! Pergi!" Suara itu memekik di hamparan air tak bertepi. Suara entah dari siapa, dengan maksud yang juga entah apa. Annastasia terus berenang berkejar-kejaran, seakan menghindari sesuatu di belakang yang ingin menangkapnya."Pergi, Ann! Pergi dari sini!"Ann terus berkecipak dengan air. Rasanya ia telah berenang bermil-mil jauhnya melintasi samudera bolak-balik. Ann terengah-engah sendiri."Ann, pergi! Sembunyilah, Ann! Sembunyi!"Kini Ann berusaha menggerakkan kakinya, tetapi nihil. Tiba-tiba kedua kakinya terasa begitu berat, bahkan nyaris ingin lepas dari persendiannya. Tangannya juga tiba-tiba menjadi begitu pegal, seakan ia tengah men
Makan malam dihidangkan dengan muram. Nasi sudah dingin, gulai sudah mengental dan es batu di dalam minuman sudah mencair, menyisakan titik-titik air di gelas kaca. Annastasia dan Isaac duduk bersebrangan. Tak ada perbincangan apapun yang keluar di antara keduanya. Hanya terdengar suara denting sendok dan garpu menggema, menjadi nyanyian paling kencang di ruangan yang luas dan sepi ini. Secara fisik, suami istri itu memang makan bersama. Namun, secara jiwa, mereka makan sendiri-sendiri.Ting! Terdengar suara notifikasi dari ponsel pintar Isaac. Saat lelaki itu melihat siapa yang mengiriminya pesan, senyumnya mengembang."Will you stay with me tomorrow night?" tanya Camilla dalam pesannya. "Maukah kamu menginap bersamaku besok malam?"Isaac mengirimkan emot senyum, yang artinya "Yes.""Good. Aku akan membuatkanmu masakan terlezat sedunia," balas Camilla lagi dengan dibumbuhi emot cium tiga berderet."Kamu paling b
Kehidupan malam terasa begitu lambat dan bayang-bayang pagi tampak begitu jauh dari penglihatan. Di kamarnya, Annastasia berdiam diri di atas kursi. Ia tidak bisa tidur. Oleh karena itu, gadis itu pun memutuskan untuk membuka laci lalu membongkar buku-buku, berharap akan mendapatkan suatu bacaan sebagai pelahap waktunya."Hmmm?" Ann bergumam. "Apa ya?" Ann bermonolog dengan dirinya sendiri. "Wuthering Heights? To Kill A Mockingbird?" Ann menyebutkan judul-judul novel favoritnya, yang sebenarnya sudah ia baca berkali-kali tapi tak pernah membuatnya bosan. "The Lady With The Little Dog," lanjut Ann ketika melihat sampul buku seorang perempuan bergaun putih, berkosase, dengan topi lebar yang dipasang miring dan bunga mawar merah merekah di pinggirannya. Di samping sang perempuan itu, adalah anjing kecil dengan bulu-bulunya yang kasar. Sebuah kalung melingkar di leher sang anjing. Pengait kalung itu bersambung dengan tali panjang yang menjulur sampai ke genggaman sang perempuan.
Petir meledak di langit, menyambar pepohonan. Gemuruh guntur bergolak, menyelimuti suasana diantara mereka. Hujan terus turun menghujani atap rumah, sebagian besar dari hujan yang jatuh itu adalah es."Ann, ish!" Dengan kedua tangannya, Isaac mendorong Ann jauh-jauh, seakan istrinya itu adalah sesuatu yang berpenyakit dan pembawa virus sehingga mesti dijauhi. Ann terdorong, lalu akhirnya bangkit dan berdiri."Ann takut, Abang..." suara Ann, parau. Ia berdiri di sisi ranjang, memandang Isaac dengan nanar."Terus?" tanya Isaac, agak nyolot. Ia mengangkat kepalanya sedikit ke atas. Oh jangan harap adegan ini akan sama seperti di film-film, yang mana sang lelaki akan merentangkan tangannya memeluk sang perempuan. Lalu mereka berdua tertidur bersama dalam kehangatan, di tengah hujan badai yang menderu. Oh tidak. Ini bukan film. Ini kenyataan. Dan kenyatannya, Isaac tak tertarik untuk melakukan adegan romantis tersebut, bahkan ketika ia bebas melakuk