Hujan turun ringan di luar jendela, membasahi taman kecil di halaman rumah sakit. Di dalam kamar rawat inap, suasana terasa tenang.Risa tertidur dengan infus menancap di lengan kirinya, tubuhnya tampak lebih kurus, namun napasnya teratur. Di sebelah ranjang, Alya duduk dengan selimut tipis di pangkuan, membaca pelan sambil sesekali melirik jam.Pintu kamar terbuka perlahan.“Permisi…” suara itu lembut, familiar.Alya mengangkat kepala dan tersenyum tipis. “Reyhan.”Dokter muda itu masuk dengan map observasi di tangan dan senyum Santai, “Gimana kondisi pasien kesayangan malam ini?”“Masih tidur,” jawab Alya pelan. “Tadi sempat demam, tapi udah turun habis dikompres.”Reyhan mendekat dan memeriksa grafik infus, lalu memeriksa denyut nadi Risa dengan hati-hati. Tak lama, Risa membuka matanya perlahan dan mendengus kecil.“Dokter Reyhan… shift malam lagi ya? Kamu nggak bosen lihat muka aku terus?” tanya Risa saat menyadari kehadiran dokter tampan itu.Reyhan tertawa pelan, “Jujur? Bosen
Alya menatap layar ponselnya, alisnya berkerut. Naskah Revan terbuka di depannya.Kata-kata yang tertulis dalam naskah itu tampak menusuk. Alya merasa kata-katanya terlalu tajam untuk sekadar fiksi.“Cerita yang paling menyakitkan datang dari tempat yang paling kamu anggap aman." Itu kata-kata yang tertulis dalam naskah yang ditulis Revan.Alya merasa ada sesuatu yang mengganggunya.Lalu, ia membaca lagi dengan lebih teliti. Matanya menyusuri setiap kata seperti detektif yang memeriksa TKP."Luka yang sama akan berdarah lagi jika kau terus menyentuhnya. Pengkhianatan selalu datang dari orang yang kau percaya."Alya merasa gaya tulisan Revan tampak terlalu personal dalam pilihan katanya.Bukan sekadar metafora sastra, tapi seperti bekas luka yang dituangkan ke dalam huruf.Alya merasa mengenal gaya tulisan itu. Bahkan, terlalu mengenalnya.Dia menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran yang tak mungkin itu.Tapi entah mengapa tulisan Revan itu, malah membuat pikiran melayang ke s
Beberapa jam kemudian....Di kamar kos kecil daerah Tebet, Rio duduk di depan laptop.Jari-jarinya menari di atas papan ketik. Di dinding seberangnya, foto-foto Alya dan Risa terpampang tapi, dipetakan dengan catatan dan benang penghubung.Wajahnya terpampang di layar sebuah halaman blog penulis yang dikelolanya dengan teliti selama dua tahun terakhir.Anehnya, bukan nama Rio yang terpampang di sana. Tapi justru nama Revan Kai yang terpampang di sanaRio bukan orang baru dalam dunia tulis. Ia pernah menjadi asisten editor di sebuah penerbit, sebelum dipecat karena dituduh mencuri naskah dan memanipulasi data penulis.Kemudian hidupnya hancur. Namanya tercoreng.Bahkan Alya, satu-satunya orang yang ia pikir akan membelanya, malah memilih menjauh.Namun dari kehancuran itulah lahirlah Revan Kai —nama pena yang Rio gunakan untuk menerbitkan karya-karyanya.Ia mempelajari psikologi pembaca. Ia tahu bagaimana menyusun kisah sedih yang terasa nyata.Ia tahu cara menyentuh sisi rapuh peremp
Ketegangan di co-working space di Kuningan Jakarta terasa mencekam. Ruangan modern yang biasanya dipenuhi pekerja kreatif, kini berubah menjadi arena senyap penuh ketegangan. Rio —yang selama ini menyamar sebagai Revan, duduk dikursi tengah ruangan. Rahangnya mengeras dan matanya liar menatap sekeliling di balik masker dan topi. Di tangannya, sebuah map naskah terbuka. Tapi bukan naskah yang ia lihat, melainkan satu halaman besar bertuliskan, kami tahu siapa kamu. Jari-jarinya mengepal pelan, dingin. Ia sadar, ini bukan sekedar ancaman. Ini bukti bahwa keberadaannya terendus. Rio mencoba tenang. Ia duduk dengan tegak dan menatap ruangan yang terlalu rapi untuk dibiarkan tanpa pengawasan. Dibalik kaca satu arah, Rey memantau Rio dengan tatapan tajam. Rey kemudian memberi isyarat pada dua anggota timnya yang menyamar sebagai staf kantor. Mereka bergerak mendekati Rio secara alami seolah ingin menawarkan kopi. Tapi gerakan mereka penuh perhitungan. Rio menyadari bahwa
Sudah hampir seminggu Alya tenggelam dalam proyek penyuntingan novel thriller dari kantor lamanya. Klien kali ini adalah seorang penulis baru, menggunakan nama pena D.R.—misterius dan agak tertutup. Naskahnya gelap dan intens, tetapi sangat rapi dan membuat penasaran.Alya beberapa kali harus berdiskusi langsung lewat Zoom dengan perwakilan tim penulis—seorang pria bernama Revan. Dalam pertemuan online, Revan selalu mengenakan masker medis dan topi, dengan alasan sedang dalam pemulihan sakit paru. Sikapnya tenang, sopan, tapi Alya merasa... aneh.Setiap kali Revan berbicara, ada nada suara yang mengusik ingatannya. Seolah ia pernah mendengar suara itu, di masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam.Suatu malam, setelah sesi diskusi, Alya keluar dari ruang kerja dan menemukan Arka sedang duduk di balkon dengan laptop di pangkuannya.“Kamu belum tidur?” tanya Alya, duduk di sebelahnya.“Belum. Deadline sinopsis dua episode lagi.” Arka melirik sekilas, lalu menutup laptop. “Proyek kamu gi
Keesokan harinya, Alya terbangun lebih pagi dari biasanya. Ia merasa sedikit lebih tenang, walau bayang-bayang suara lelaki misterius di minimarket itu terus menghantui pikirannya.Agar bisa mengalihkan pikirannya, Alya pun memutuskan untuk kembali kerja dan meneriwa proyek lagi sebagai editor lepas.Namun, sebelum itu ia harus terlebih dahulu meminta izin pada Arka. Walaupun pernikahan mereka hanya kontrak, tapi sudah sewajarnya ia meminta izin pada suaminya.Suatu malam, saat mereka duduk Santai di ruang Tengah sambil menonton drama yang sedang hits, Alya membuka suara.“Ka… aku ditawari proyek penyuntingan naskah dari kantor lama,” katanya pelan. “Editor senior ngontak aku tadi siang. Mereka lagi kekurangan editor untuk novel thriller yang harus selesai bulan depan.”Arka menoleh, “Kamu mau ambil?”Alya mengangguk, “Aku butuh distraksi. Pingin sibuk lagi. Biar nggak terlalu banyak pikiran, Dan… aku ingin merasa berguna lagi.”Arka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi kamu k