Alya terbangun di tengah malam. Udara dalam kamar rawat terasa hening, hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan dan embusan AC yang konsisten menyapu kulit.Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangannya dalam cahaya temaram dari sudut ruangan.Saat menoleh ke samping, ia mendapati Arka tertidur dalam posisi duduk di kursi yang ada disamping ranjang. Kepalanya sedikit menunduk, bahunya miring karena bersandar terlalu lama di kursi yang keras. Tangan kirinya masih menggenggam ujung selimut Alya, seolah takut sang istri pergi tanpa ia sadari.Alya terpaku, matanya tak lepas dari sosok pria di sebelahnya. Detak jantungnya sedikit berubah. Ia tak pernah menyangka, pria yang dulu hanya ia kenal sebagai aktor layar kaca, kini duduk disisinya. Menjaga dengan cara yang bahkan lebih tulus daripada orang yang dulu mengaku mencintainya.Alya terdiam. Tapi di dalam, ada sesuatu yang tak lagi tenang. Ada sesuatu yang diam-diam tumbuh, merambat, dan kini menyesaki dadany
Waktu terus bergulir. Langit yang semula berwarna biru terang kini telah berubah menjadi jingga. Memamerkan warna keemasan yang indah.Rani sudah sedari tadi pamit pulang. Namun sebelum pulang, ia berbicara lembut berusaha menguatkan sang sahabat."Aku pamit pulang ya, Ly. Cepet sembuh dan tetap tegar ya. Kamu harus ingat kamu nggak sendirian, banyak orang yang sayang sama kamu. Kamu tenang aja, aku bakal berusaha bantu kamu ngelawan si brengsek Rio itu," papar Rani sambil memeluk sahabatnya."Iya makasih, Ran," sahut Alya balas pelukan sang sahabat.Kini Alya sendiri di ruangan. Ia memilih membaca majalah sambil menunggu kedatangan mertuanya.Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Lalu muncullah dari balik pintu pasangan suami istri yang amat sangat dikenal Alya.Yah... mereka adalah Indira dan Raymond, mertua Alya alias orang tua dari suaminya, Arka.Indira melangkah menghampiri Alya. Tanpa banyak bicara ia dengan segera memeluk menantunya itu."Cepet sembuh ya, sayan
“Halo, Ma…” Suara perempuan dewasa terdengar di seberang. Lembut, tapi tegas seperti biasanya. “Alya, sayang. Maaf Mama ganggu. Kamu lagi istirahat, ya?” “Nggak, Ma. Gak apa-apa. Ada apa, ya?” “Mama dengar dari Arka soal kondisimu. Dan… soal video itu.” Suaranya terdengar lebih pelan. “Mama tahu pasti ini berat buat kamu. Tapi Mama gak pengin cuma dengar dari cerita orang. Mama pengin lihat kamu langsung.” Alya terdiam sesaat, kaget. “Maksud Mama… mau ke sini?” “Iya, Nak. Mama dan Papa akan ke rumah sakit sore nanti. Kalau kamu nggak keberatan.” Alya menegakkan tubuh pelan. “Tentu aja enggak, Ma. Aku… aku senang Mama mau datang.” Suara di seberang terdengar sedikit lega. “Terima kasih, ya. Mama cuma ingin kamu tahu… kamu bagian dari keluarga kami. Dan keluarga gak ninggalin satu sama lain saat sedang diserang.” Mata Alya perlahan memanas. “Mama baik banget…” gumamnya nyaris tak terdengar. “Simpan tenaga kamu. Kita ngobrol nanti ya, sayang. Sampai ketemu sore in
Revano menyandarkan tubuh ke kursi, sementara Reyhan tetap sibuk dengan peralatan medisnya. Tak ada kata-kata berlebihan. Tak ada tatapan tajam, hanya gestur-gestur kecil yang tak disadari Alya. Sesekali, sorot mata mereka saling bersinggungan, tapi tidak cukup untuk menciptakan keributan. Alya terlalu sibuk tertawa kecil bersama Rani yang sibuk membuka camilan satu per satu sambil berkomentar dramatis soal rasa. "Ly, kamu tuh gak berubah, ya. Masih suka yang manis-manis kayak gini. Aku kira setelah nikah sama artis kamu bakal doyan makanan hotel bintang lima." "Ah... lebay kamu Ran. Justru makin butuh comfort food kalau hidupmu dipenuhi drama," jawab Alya santai. Revano ikut menimpali. "Setuju. Kadang yang paling sederhana justru yang paling ngangenin." Sementara Reyhan baru saja selesai mencatat hasil tekanan darah Alya di tabletnya. Reyhan menurunkan tabletnya dan menatap Alya. “Tekanan darahmu normal. Tapi kamu tetap harus banyak istirahat dan makan makanan bergiz
Alya menghela napas panjang dan kembali menatap ke luar jendela. Daun-daun di pohon trembesi bergoyang pelan ditiup angin siang yang mulai hangat. Sinar matahari turun membentuk pola di lantai keramik. Tak lama kemudian, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pelan. Nama Rani muncul di ponselnya. Alya langsung meraihnya dan mengangkat tanpa ragu. “Ran?” suaranya terdengar lebih lembut dari tadi. “Ly… are you okay?” suara Rani terdengar penuh empati, lembut tapi khawatir. "Tadi aku lihat potongan video kamu lagi dibahas di mana-mana. Aku tahu pasti kamu lagi down.” Alya menatap jendela, menelan pelan emosi yang bergulung di tenggorokannya. “Gak papa, Ran. Aku masih bisa napas,” jawabnya dengan senyum hambar. “Cuma dunia ini memang kejam, ya.” “Justru karena itu aku mau temenin kamu,” sahut Rani cepat. “Aku bisa ke rumah sakit siang ini, ya? Sekitar jam satu. Aku bawa camilan favorit kamu dan. mungkin sedikit cerita buat ringankan pikiran kamu yang terlalu berat.” Alya tak b
Alya mengira hidupnya akan menjadi tenang. Namun, ia salah. Tak disangka-sangka Rio kembali membuat ulah. Menjatuhkannya lagi lewat masa lalu yang lama ia kubur.Pagi itu, Alya sedang duduk di dekat jendela rumah sakit. Angin pagi yang lembut menyapa pipinya, dan matahari masuk perlahan dari sela tirai. Arka berada di dekatnya sedang mengobrol dengan Kevin, sang manajer.Semua tampak damai, hingga notifikasi dari ponsel Kevin memecah kesunyian."Ly," panggil Kevin dengan suara pelan, "Kamu perlu lihat ini!"Alya menerima tablet dari tangan Kevin. Dan saat ia membuka salah satu tautan video yang tengah viral, wajahnya berubah pucat. Jemarinya refleks melemas.Video itu menampilkan wajah yang sang dikenalnya. Yakni wajahnya saat masih SMA.Dalam video Alya tiba-tiba berteriak, "Maksud kamu apa?"“Cuma ditanya soal keluarga aja langsung baper.”“Ya ampun, Ly... kamu tuh terlalu sensitif. Kita semua juga tahu kamu kan... gak punya siapa-siapa sejak kecil.”“Mungkin emang gak pernah diaja