Setelah seminggu pulang dari rumah sakit, segala aktivitas Anita baik urusan pekerjaan atau urusan hal lain dibatasi oleh Radiga. Pria itu tidak menginginkan putrinya masuk rumah sakit untuk kedua kalinya maka dari itu selain membatasi kegiatan Anita, Radiga juga memutuskan Ivan akan bekerja menjadi sekretaris perempuan itu tanpa menerima penolakan ataupun protes sama sekali.
Saat ini, Radiga sedang berbincang dengan Ivan di ruang tamu sembari menunggu Anita yang masih bersiap-siap di kamarnya. "Inget ya Van, pesen tadi." ujar Radiga akhirnya setelah melihat sang putri kesayangannya turun.
Ivan mengangguk, wajah tegasnya tampak serius. Laki-laki itu adalah anak angkat Radiga yang sejak umur 5 tahun sudah diasuh oleh Radiga dan Talita, saat itu keduanya sudah memiliki Anita yang belum genap berumur setahun. Radiga membawa Ivan dari panti asuhan karena tidak ada yang berniat untuk mengadopsi Ivan karena anak itu memiliki sikap buruk dan suka melawan.
Radiga yang melihat Ivan sendirian merasa iba lalu ia putuskan untuk mengadopsi Ivan sebagai putra sulungnya dan anak laki-laki itu mulai berubah mungkin karena sikap Talita yang lembut dan penyayang. Radiga memang tidak mengutus Ivan sebagai sulung untuk mengurus perusahaan bukan karena pilih kasih atau karena status Ivan sebagai anak angkat tetapi karena ia tahu anak sulungnya itu tidak suka mengurus hal-hal terikat yang tidak laki-laki itu inginkan sama sekali.
Maka dari itu Radiga hanya mengutus Ivan sebagai sekretaris pribadinya dan juga sang putri agar dapat melakukan pekerjaannya tidak terlalu tertekan, tetap bebas dan dapat membantu kedua adiknya. Ivan juga sangat menyukai bidang seni seperti melukis ataupun bermain musik dan laki-laki itu juga memiliki hobi menulis.
"Ngobrolin apa sih? Serius amat sampai aku gak boleh denger pa, mas." Perempuan itu duduk di samping sang papa sembari sibuk memasukkan beberapa kertas dan berkas yang ia bawa turun tadi ke dalam map yang sejak kemarin dibawa oleh Ivan.
"Jadi hari ini ke mana, Tata?" tanya Radiga mengalihkan perhatian Anita ke pembicaraan mereka sebelumnya.
Anita yang mendengar pertanyaan itu menatap sang papa curiga. "Serius pa, mau aku jawab?" kini perempuan itu bertanya balik menghadap sang papa yang hanya memasang senyum hangat.
"Adit mana, pa? Belum selesai juga?"
"Udah, masih ke belakang tadi sama mama kamu gak tau lagi ngapain."
Selang beberapa menit Adit muncul dengan tiga buah paper bag di tangannya. "Mama nyuruh bawa bekal biar jangan sampai telat makan." Selesai laki-laki itu berkata seperti itu tangannya membagikan masing-masing paper bag kepada Ivan dan Anita.
Ivan, Anita dan Adit pamit setelah Talita bergabung bersama mereka. Ivan yang duduk di samping supir sibuk dengan tab di tangannya sementara Anita dan Adit sibuk mengobrol sejak mobil keluar dari gerbang rumah mereka. "Jadi Radila kapan pulang, Dit?" tanya Anita setelah mereka mengobrol panjang membahas proyek Adit yang ada di Bogor selesai.
"Pulang dua minggu lagi, lanjut ke Maluku seminggu untuk bantu tenaga medis di sana." Adit berujar lesu karena Anita membuatnya teringat akan percakapannya dengan Radila malam tadi.
"Yang sabar ya, diperpanjang masa LDR-annya." Bukan Anita yang mengatakan hal itu melainkan Ivan yang sejak tadi tampak sibuk tetapi tetap menyimak pembicaraan kedua saudaranya itu.
"CK, jahat banget si lo mas gak ada kasiannya sama gue." Adit mendengus keras-keras mendengar ejekan yang dilontarkan Ivan untuknya.
Seakan teringat sesuatu senyum Adit mengembang lebar. "Eh, bukannya lo sekarang jomblo ya, mas?" tanya laki-laki itu tersenyum menang.
Ivan yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum masam, sialan dari mana bocah ini tau. batinnya tak terima dihina seperti itu apalagi melihat senyum Adit yang semakin lebar dari kaca spion tengah mobil.
"Sudah-sudah jangan saling mengejek." Anita berujar menghentikan perdebatan yang takkan usai jika ia tidak turun tangan. "Pak Raman aja santai yang sudah halal, kalian malah sibuk mengejek bukannya banyak berdoa supaya cepat halal." tambah Anita yang langsung membuat keduanya bungkam.
Ivan kembali sibuk dengan tabnya sementara Adit memilih menghidupkan ponselnya untuk mengecek sesuatu. Pemberhentian pertama mereka sampai di Perusahaan Raisl Group, Adit turun setelah pamit kepada kedua saudaranya.
"Kadang dia ngeluh sama gue, Ta." celetuk Ivan setelah mobil yang membawa mereka kembali melaju.
Alis Anita terangkat bingung. "Ngeluh gimana, mas?" tanya perempuan itu penasaran karena Ivan jarang bercerita seperti ini.
"Kenapa enggak elo aja yang ngurus perusahaan tapi setelah ngomong gitu dia kayak mikirin sesuatu terus senyum ke gue, mbak gue yang cantik itu gak boleh capek." cerita Ivan.
Anita yang mendengar itu tersenyum. Udah dewasa kamu, dek. batin Anita tersenyum senang. "Terus tanggepan kamu gimana, mas?"
Ivan yang mendengar itu menghentikan kegiatan menggeser tabnya lalu menghadap ke kursi belakang tepatnya menghadap Anita. "Ya gimana lagi selain senyum bangga bahwa pemikiran Adit udah dewasa dan sudah mulai ikhlas untuk ngurus perusahaan, bukan karena pemaksaan papa lagi dan dia juga udah gak berisik soal kenapa bukan gue aja yang ngurus, kenapa harus dia."
Anita mengangguk. "Kamu mau ke cabang ya, mas?" tanya perempuan itu baru sadar sejak tadi Ivan sedang sibuk dengan beberapa berkas.
"Iya, tadi papa pesen harus ke cabang ada beberapa hal harus dicek secara langsung di sana. Tata, bisa sendirikan?" tanya Ivan tanpa melihat, masih sibuk menyusun berkas yang ada di pangkuannya.
Anita yang mendengar pertanyaan itu tersenyum. "Bisa dong, mas. Apa sih yang gak Tata bisa." ujar perempuan itu membuat Ivan tersenyum mendengarnya.
Mobil sampai di tempat lokasi proyek yang sedang Anita kerjakan sebelum perempuan itu turun Ivan mengatakan sesuatu. "Nanti makan siang bareng. Ada beberapa hal yang mau dibicarain."
Anita mengangguk. "Iya, aku tunggu. Mas, kabari aja kalau sudah sampai tempat proyek."
Anita menunggu mobil itu melaju pergi lalu melangkah ke area pembangunan, perempuan itu tidak sengaja melihat Gibran yang baru saja turun dari mobilnya dan laki-laki itu juga melihat dirinya. "Eh, Anita tunggu." Gibran sedikit berlari menyusul Anita yang ingin melanjutkan langkahnya.
Anita menghentikan langkahnya. "Ada apa, bang? Ada hal urgen?"
"Gak ada, Nit. Kemarin pak Renaldi pesen ke saya hari ini kamu harus follow up semuanya ke kantor pusat." Gibran berujar sembari berjalan di samping Anita menuju rest room untuk meletakkan barang-barang yang mereka bawa.
"Wah bersyukur banget aku hari ini bawa map yang lumayan berat ini kalau ternyata memang diperlukan." Anita tersenyum lalu meletakkan map di atas meja rapat lalu menduduki salah satu kursi.
"Sebenernya mulai besok kamu gak ke sini lagi juga gak masalah, Nit. Proyek sudah tahap finishing kok, biar asisten kamu aja yang handle." ujar Gibran yang sudah duduk di seberang Anita, laki-laki itu menghidupkan laptopnya untuk menuliskan report yang harus ia selesaikan dan kirimkan hari ini juga.
Anita menghentikan aktivitas membaca dokumennya lalu mendongak melihat Gibran. "Lagi gak ngusir saya kan, bang?" tanya Anita dengan wajah serius.
Gibran yang mendengar itu mendongak cepat hampir keseleo leher laki-laki kalau saja tidak hati-hati. "Pertanyaan kamu kok seperti itu?"
"Habisnya saya merasa seperti sedang diusir."
Gibran terdiam mendengar pernyataan itu lalu memandang ke arah lain, tidak sanggup melihat wajah Anita yang baginya adalah penenag yang ampuh untuk dirinya. Ya, memang saya sedang mencoba mengusir kamu dari hati dan pikiran saya, Nit. batin Gibran ingin sekali berteriak memberitahu Anita yang sebenarnya ada di dalam hatinya tapi ia tidak memiliki keberanian sebesar itu untuk hanya sekadar bergumam saja.
☁️☁️☁️
Minggu menjadi hari liburnya aktifitas dan seluruh kegiatan yang diwajibkan atau lebih dikenal dengan hari leha-leha, Anita dan Talita sudah ada di dapur dibantu dengan Adit dan Mbak ART rumah mereka. Adit sedang membantu memotongi wortel membantu sang kakak, sementara sang ibu sedang mengecek rasa masakan yang dibumbui oleh sang putri barusan. "Mas Ivan udah bangun, Dit?" tanya sang ibu, pasalnya sang sulung tidur setelah sholat subuh hingga sekarang sudah hampir pukul setengah delapan. "Udah, ma. Udah gabung kok sama Mas GIbran sama papa di halaman belakang." ujar Adit masih fokus dengan kegiatan memotong dan mengupasnya. "Kamu sendiri kok gak ikutan?" tanya Anita melihat adiknya yang lebih memilih sibuk membantu mereka di dapur, tidak ikut bermain bulu tangkis di belakang rumah. "Enggak, mbak. Capek nanti aku mau jalan sama anak gadis orang." ujar Adit tersenyum sumringah. "Ada aja alasan kamu itu, bilang aja males." ujar Anita menyindir sang adik dengan senyuman menge
Tepat puku jam 11 malam Anita dan Gibran masuk ke dalam kamar setelah selesai membereskan beberapa barang di taman belakang membantu Ivan, Adit dan sepupu-sepupu perempua itu yang lain. Anita mendudukkan dirinya di sofa single tempat biasa ia membaca buku, sementara Gibran masih berdiri di depan meja rias perempuan itu."Mau mas dulu atau Tata yang bersihkan badan?" tanya Gibran melepas jam tangannya lalu meletakan di atas meja rias wanita itu."Mas dulu aja, Tata masih kepengen duduk. Pegel banget pinggangnya." ujar perempuan itu melepas sendal yang hanya setinggi 3 cm."Ya sudah kalau begitu, mas duluan yang mandi." ujar Gibran melangkah menuju kamar mandi lalu tiba-tiba langkahnya terhenti."Mas sebentar, handuknya belum." ujar perempuan itu buru-buru bangkit melangkah menuju lemari sudut yang berisi selimut, handuk, seprai dan barang-barang lainnya kecuali pakaian."Ini mas." ujar Anita mengangsurkan handuk putih kepada Gibran yang diterima dengan baik oleh laki-laki itu."Terima
Selesai menemani Ivan makan, Anita yang ingin kembali pergi ke kamarnya tidak jadi karena ia kedatangan tamu tidak diundang. Anita dan sang tamu duduk di ruang tamu rumahnya dan jangan lupa ada Adit yang duduk tak jauh dari mereka dengan tatapan tajam dan mengawasi."Ada apa, bang?" tanya Anita. Tamunya adalah Habib, laki-laki itu tiba-tiba datang setelah diberitahukan oleh salah satu sepupu laki-laki Anita yang sedang duduk di depan teras rumahnya."Gak ada apa-apa, Ta." ujar Habib.Anita yang mendengar itu sedikit terdiam, jika bertemu tidak memiliki kepentingan atau suatu hal yang akan dibahas kenapa harus bertemu? apalagi ini Habib Darmawangsa, laki-laki memiliki sejuta jadwal penting yang harus segera dikerjakan. "Berarti gak ada yang mau diomongin, bang?" tanya wanita itu melihat Habib tidak minat.Habib terdiam mendengar itu, laki-laki itu tampak bimbang dalam diamnya. Ia bingung ingin mengutarakannya bagaimana perasaannya tapi jika ia tidak berbicara jujur maka ia akan kehilan
Habib yang melihat benda asing di atas meja ruang keluarganya, berjalan mendekati benda itu dan ternyata itu adalah sebuah undangan. Anita & Gibran Nama yang menghiasi depan undangan itu, undangan putih biru itu memiliki desain yang cantik dan simpel. Anita sekali desain ini, batin Habib melihat undangan itu karena teringat sosok Anita.Laki-laki itu menghembuskan napasnya lalu kembali meletakkan undangan itu di atas meja, ada beban berat yang baru saja menambah di pundaknya yaitu beban penyesalan, rasa penyesalan yang masih setia menghantuinya sampai saat ini.Bisakah ia mulai belajar ikhlas? Mengikhlaskan semuanya tentang Anita dan dirinya dulu? Memang benar apa yang dikatakan Adit tempo hari bahwa dia adalah seorang laki-laki yang tidak tahu terima kasih karena telah menyakiti Anita padahal perempuan itu yang membantunya keluar dari kelamnya dunianya dulu setelah ditinggal pergi oleh Gina begitu saja. Ia harus belajar untuk mengikhlaskan Anita yang bukan lagi miliknya atas segala
Seluruh keluarga Anita sudah berkumpul di ruang tamu dengan tambahan Gibran karena laki-laki itu sudah berada di rumah Anita sebelum jam makan malam dimulai. "Kemarin surat dinas dari perusahaan sudah keluar, pa." ujar Gibran membuka percakapan melihat ke arah Radiga dengan wajah serius. "Dinasnya dapat di luar kota, kalau sesuai dengan jadwal yang tertera harusnya sebulan lagi baru berangkat tapi karena ada beberapa problem di cabang yang harus Gibran selesaikan segera, dinasnya dipercepat seminggu lagi dan Gibran harus berangkat." ujar laki-laki itu. Anita dan sekeluarga tampak diam setelah mendengar penjelasan Gibran. "Jadi gimana, nak? Bukannya pernikahan kalian 2 minggu lagi akan dilaksanakan?" tanya Talita yang menanggapi lebih dulu dari pada yang lain, ia melihat calon menantunya yang seperti terperangkap dalam kebimbangan. Gibran menghela napas pelan. "Gibran mau tanya pendapat mama sama papa, bagusnya gimana? Apakah pernikahannya kami diundu
Jam di ruang tamu kediaman Radiga sudah hampir menuju ke angka 12 malam, tapi ruangan itu masih ramai. Hampir pukul 11, Habib datang dengan keadaan lusuh dan berantakan. Sudah hampir satu jam lamanya laki-laki itu berada di ruang tamu bersama seluruh keluarga Anita dan termasuk wanita itu juga. "Jadi sebenarnya, hal yang nak Habib mau itu apa? Bukannya hubungan kalian sudah selesai semenjak nak Habib lebih memilih Gina daripada anak papa." ujar Radiga bertanya, pria paruh baya itu sudah mulai bosan melihat pemuda yang sudah berhasil menyakiti hati sang putri dengan kejamnya. "Gak mungkin, lo balikkan lagi sama mbak Anita, gak mungkin banget!" protes Adit, laki-laki itu tampak sekali tidak suka dengan kehadiran Habib di rumahnya. Habib melihat ke arah Anita yang tidak mengeluarkan suaranya sedikit pun, wanita itu sekarang tampak lebih cantik menurut Habib. Apakah itu hanya perasaan Habib saja karena ketika bersama dulu, Habib tidak benar-benar melihat Anita da