Share

02. Anak Baru

Saat ini Lyana sedang mengikat tali sepatunya. Setelah kedua tali sepatunya sudah terikat dengan kencang, Lyana memasukkan ponselnya ke dalam saku roknya. Setelah itu, ia mengambil tasnya yang ia letakkan di atas kasur. Saat Lyana sedang menggendong tasnya, pintu kamarnya yang setengah terbuka diketuk oleh ibunya. Lyana menoleh ke arah pintu.

"Sayang, kamu sudah siap?" tanya Bu Ryana yang memunculkan kepalanya dari balik pintu kamar Lyana.

"Udah kok, Ma," jawab Lyana sembari berjalan menghampiri sang ibu.

"Kalau begitu kita sarapan, yuk? Papa dan Dyana sudah menunggu di bawah," ajak Bu Ryana sembari tersenyum.

"Ayo Ma." Lyana menutup pintu kamarnya. Kemudian, Bu Ryana dan Lyana menuruni anak tangga beriringan. 

"Pagi Pa, pagi Dek," sapa Lyana begitu tiba di ruang makan.

"Pagi Sayang," balas Pak Andra.

"Pagi Kak," balas Dyana.

"Sekarang kan sudah lengkap, ayo kita sarapan," suruh Bu Ryana.

"Lyana, hari ini kamu diantar oleh Pak Didit ya? Papa harus mengantar dan mengurus berkas-berkas perpindahan sekolah Dyana yang masih belum selesai. Kamu tidak apa-apa kan, jika diantar oleh Pak Didit?" tanya Pak Andra di sela-sela makannya. Lyana mendongak dan mengangguk pelan.

"Nggak apa-apa kok, Pa," jawab Lyana yang masih menyunyah roti yang ada di dalam mulutnya sembari tersenyum.

"Ya udah, kalo gitu Lyana berangkat ya, Ma, Pa, Dek," pamit Lyana setelah meneguk setengah gelas susu yang sempat dibuatkan oleh Bu Ryana.

"Iya Sayang, kamu jangan sembarangan jajannya, ya?" pesan Bu Ryana yang diangguki oleh Lyana.

"Oke Ma."

"Hati-hati di jalan ya, Sayang? Maaf Papa tidak bisa antar kamu. Oh ya, Papa hampir lupa. Jangan lupa kamu cari ruang TU saat tiba di sekolah." Kini giliran Pak Andra yang berpesan.

"Iya Pa, nggak apa-apa kok. Kalo gitu Lyana berangkat dulu, ya?" pamit Lyana lagi sambil mencium punggung tangan ayah dan ibunya bergantian kemudian mengelus kepala sang adik.

"Hati-hati Kak," ucap Dyana setengah berteriak dan hanya diacungi jempol sebagai balasan oleh Lyana.

****

Lyana telah tiba di depan sekolahnya. Ia menduga bahwa lima menit lagi bel masuk akan berbunyi. Maka dari itu, Lyana bergegas untuk membuka pintu mobil. Namun ketika ia ingin membuka pintu mobil, Pak Didit membuka suara.

"Non," panggil Pak Didit yang mampu menghentikan aktivitas Lyana.

"Iya Pak?"

"Nanti pulangnya mau dijemput atau bagaimana, Non?" tanya Pak Didit.

"Pak Didit nggak usah jemput Lyana. Nanti Lyana bisa naik angkot atau taksi online aja," tolak Lyana halus.

"Yang benar, Non?" tanya Pak Didit memastikan.

"Iya Pak, benar. Ya udah kalo gitu Lyana masuk dulu ya, Pak? Sebentar lagi bel," pamit Lyana kepada Pak Didit sembari membuka pintu mobil.

"Iya Non, semangat belajarnya ya? Jangan lupa cari ruang TU, Non."

"Oke Pak, siap." Lyana berlari masuk ke dalam gedung sekolahnya. Tiba di parkiran, Lyana mulai kebingungan dalam mencari letak ruang TU. Selain gedung sekolahnya yang sangat luas, murid di SMA Jayakarta cukup banyak, ditambah lagi Lyana sedikit telat datangnya. 

Di depan Lyana terdapat tiga orang siswa laki-laki yang sedang duduk di atas motornya masing-masing sembari bercanda. Lyana mencoba untuk menghampirinya untuk bertanya letak ruang TU.

"Halo, gue mau nanya, boleh?" sapa Lyana sekaligus langsung bertanya. Ketiga laki-laki tadi hanya diam memandangi Lyana dari atas hingga bawah dengan mulut yang hampir terbuka sempurna. Mereka berdua terpesona oleh kecantikan Lyana. Padahal Lyana tidak memakai make up apapun, dan rambutnya hanya dikepang biasa. 

"Halo, kok melamun?" tanya Lyana sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah mereka berdua bergantian. 

"E-eh iya, mau nanya apa?" jawab salah satu dari mereka bertiga kikuk.

"Gue mau nanya, ruang TU di sebelah mana, ya?" Tanya Lyana.

"Ru-ruang TU? Oh, lo lurus aja, nanti ada mading besar lo belok kanan," jawab salah satu dari mereka berdua memberitahu arah menuju ruang TU.

"Oke, terima kasih," balas Lyana sembari tersenyum kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang TU.

Ketiga siswa laki-laki tadi hanya bisa menatap punggung Lyana yang mulai menjauh dan hilang dari pandangan mereka. Mereka sangat terpesona dengan kecantikan Lyana. Baru kali ini mereka melihat ada gadis yang cantiknya natural tanpa make up apapun. Bisa dibilang penampilan Lyana sangatlah sederhana.

"Mimpi apa gue semalam, bisa ketemu bidadari secantik dia?" tanya Revan, salah satu di antara mereka bertiga.

"Mungkin semalam lo mimpi ketiban bulan, Van," jawab teman Revan yang bernama Argha.

"By the way, gue baru ketemu sama itu cewek. Anak baru kah, dia? Kelas berapa dia? Namanya siapa?" tanya Arsha—teman Revan dan Argha, setelah sekian lama menatap punggung Lyana, meski Lyana sudah tidak terlihat lagi dari pandangannya.

"Iya juga ya, sepertinya dia anak baru di sini." Belum saja Arsha menjawab lagi, bel masuk sudah berbunyi nyaring. Mereka bertiga harus segera masuk sebelum didahului oleh guru mata pelajaran pertama di kelas mereka.

****

Sepanjang perjalanan menuju ruang TU, tidak sedikit murid di sana menatap Lyana dengan berbagai tatapan. Bisa dibilang, Lyana menjadi pusat perhatian saat itu. Namun Lyana tidak mau ambil pusing, ia mempercepat langkahnya menuju ruang TU agar ia bisa cepat terlepas dari berbagai tatapan tersebut.

Lyana sudah tiba di depan ruang TU. Ia memberanikan dirinya untuk masuk, tidak lupa memberi salam terlebih dahulu. Di dalam ruang TU, terdapat seorang guru dengan sanggul kecilnya di belakang kepala dan kacamatanya sedang mencari sesuatu di laci nakas. Lyana memberanikan diri untuk menyapanya.

"Selamat pagi, Bu," sapa Lyana yang masih di ambang pintu. Guru yang sedang mencari sesuatu di laci nakas tersebut sontak menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke sumber suara. Guru tersebut memperhatikan Lyana dari atas hingga bawah. Jika boleh jujur, Lyana sangat risih jika diperhatikan seperti itu. 

"Selamat pagi kembali. Maaf, ada apa, ya? Tunggu, saya belum pernah melihat kamu sebelumnya, dan seragam kamu kenapa sama persis seperti seragam SMA Jayakarta?" tanya guru tersebut. Panggil saja Bu Vitha.

"Perkenalkan Bu, nama saya Lyana. Saya murid baru di sekolah ini," jawab Lyana sopan.

"Lyana? Murid baru di sekolah ini?" gumam Bu Vitha yang masih bisa di dengar oleh Lyana. Lyana mengangguk sopan sembari tersenyum.

"Oh iya, saya ingat. Kamu Danica Lyana Ararinda, kan? Anak baru di sekolah ini?" tanya Bu Vitha kembali setelah mengingat semuanya. Lyana lega akhirnya ia tidak perlu menjelaskan siapa dirinya sebenarnya, karena Bu Vitha sudah tau tentangnya. 

"Iya Bu, saya Lyana, anak dari Pak Andra Leksmana."

"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Vitha. Saya adalah wali kelas kamu. Dan karena bel masuk sudah berbunyi sedari tadi, mari ikut saya. Saya akan antar kamu ke kelas," ucap Bu Vitha sebelum berjalan meninggalkan ruang TU diikuti oleh Lyana di belakang.

****

Di lain tempat, tepatnya di kelas 12 IPS-5, terdapat tiga siswi yang sedang tertawa terbahak-bahak yang duduk di barisan dekat pintu masuk melihat teman sekelasnya yang bernama Revan yang diubah penampilannya oleh teman laki-lakinya menjadi penampilan geeky. Revan adalah teman Arsha dan Argha yang tadi berada di parkiran, sekaligus orang yang ditanyai tentang letak ruang TU oleh Lyana. Poninya dibelah menjadi dua, memakai kacamata bulat milik temannya, dan kerah leher seragamnya dikancingi tanpa memakai dasi. Sangat-sangat geeky. Itulah yang membuat ketiga siswi tersebut tertawa terbahak-bahak bahkan hingga mengeluarkan air mata.

"Gila ya si Revan, culun banget digituin. Aduh, sakit perut gue," ucap Chania—salah satu siswi dari ketiga siswi yang tertawa terbahak-bahak tersebut sambil memegangi perutnya.

"Jahat banget sih lo Chan, ngetawain gue sampe segitunya," aduh Revan.

"Gimana nggak ketawa, penampilan lo culun banget, Rev," sambung Christy, teman Chania—salah satu siswi dari ketiga siswi yang tertawa terbahak-bahak juga.

"Benar banget, lo tuh cocok banget Van, kayak gitu," ucap Alisa, teman Chania dan Christy sambil mengelap air matanya yang sempat keluar.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Vitha saat masuk ke dalam kelas. 

Alisa, Chania, dan Christy belum juga berhenti tertawa meski Bu Vitha memasuki kelas. Selain suasana kelas yang berisik dan posisi Alisa, Chania, dan Christy yang membelakangi Bu Vitha, suara Bu Vitha juga terlalu kecil, sehingga sulit untuk di dengar oleh mereka bertiga. 

"Perhatikan sebentar. Hari ini kalian akan mendapatkan teman baru di kelas ini. Silahkan masuk," ucap Bu Vitha kembali bersuara. Sepertinya Bu Vitha belum menyadari keberadaan Alisa, Chania, dan Christy yang sedang tertawa dengan posisi duduk yang membelakanginya, atau memang beliau sengaja membiarkan mereka bertiga tertawa sepuasnya sebelum pelajaran dimulai.

Lyana masuk ke dalam kelas atas perintah Bu Vitha. Saat Lyana masuk, tak sedikit siswa maupun siswi kelas 12 IPS-5 yang terpesona melihat Lyana. Lyana menghampiri Bu Vitha dan berdiri di sampingnya.

"Silahkan perkenalkan dirimu," suruh Bu Vitha.

"Selamat pagi." Tawa Alisa dan Chania berhenti begitu mendengar suara yang sangat familier.

"Suaranya kok familier ya, Sa?" tanya Chania kepada Alisa.

"Iya, gue juga kayak kenal sama suaranya," jawab Alisa.

"Perkenalkan, nama gue Lyana. Gue pindahan dari Jerman. Salam kenal semuanya," ucap Lyana memperkenalkan diri sembari tersenyum. Semua murid di kelas 12 IPS-5 kembali riuh saat melihat Lyana tersenyum. Berbeda dengan Alisa dan Chania. Mereka berdua langsung membelalakkan kedua mata mereka dan membalikkan tubuh mereka cepat saat mengetahui nama dari si pemilik suara.

Alisa dan Chania saling menatap untuk beberapa detik. Setelah itu mereka berdua sontak memanggil Lyana dengan suara lantang.

"LYANA." Suara Alisa dan Chania membuat seisi kelas 12 IPS-5 termasuk Lyana menoleh ke arah mereka dan menatapnya heran. Berbeda dengan Lyana yang menatap Alisa dan Chania terkejut, bahagia, dan tidak percaya. Detik berikutnya, Alisa dan Chania berdiri dan berlari menghampiri Lyana dan memeluknya erat.

"Akhirnya kita bisa satu sekolah dan sekelas lagi," ucap Chania senang.

"Kalian saling kenal?" Pertanyaan tersebut mampu membuat Lyana, Alisa, dan Chania melepaskan pelukannya dan menoleh ke sang wali kelas.

"Tentu. Lyana adalah sahabat kecil kami dari kelas satu SD, Bu," jawab Chania senang.

"Wahh, luar biasa. Cukup lama juga ya, usia persahabatan kalian. Usia anak saya saja belum sampai segitu," ucap Bu Vitha sembari terkekeh pelan.

"Maaf Bu, kami boleh duduk kan?" tanya Lyana hati-hati.

"Oh ya, silahkan. Kamu bebas mau duduk di mana saja, dan kebetulan ada beberapa kursi yang kosong." 

"Terima kasih Bu." Lyana, Alisa, dan Chania berjalan menghampiri tempat duduk mereka masing-masing. Saat mereka bertiga ingin mendudukkan bokong mereka ke kursi, Bu Vitha kembali bersuara.

"Baiklah, sekarang kita lanjutkan pembelajaran minggu lalu," ucap Bu Vitha yang mampu membuat Alisa, Chania dan seisi kelas menatap Bu Vitha terkejut.

"Lho Bu, bukannya di jam pertama hari ini para guru rapat, ya?" bantah Chania.

"Rapatnya ditunda nanti siang setelah istirahat pertama. Silahkan kalian duduk dan keluarkan alat tulis kalian," suruh Bu Vitha. Chania hanya pasrah kemudian ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku serta alat tulisnya.

****

Bel istirahat pertama telah berbunyi. Namun Lyana Alisa, Chania, dan Christy enggan untuk keluar kelas. Mereka akan menghabiskan waktu istirahat pertamanya untuk bertukar cerita.

Chania dan Christy memutar posisi bangku yang ada di depan Alisa dan Lyana menghadap ke arah mereka, kemudian duduk manis di sana.

"Gue masih nggak nyangka Ly, kita bisa sekelas lagi," ucap Alisa tersenyum senang.

"Iya gue juga. Om Andra memang terthe best deh, tau banget apa yang bisa buat kita bahagia," sambung Chania.

"Gue juga nggak nyangka akan satu sekolah, bahkan sekelas sama kalian. Gue senang banget." 

"Oh iya Ly, kenalin ini Christy. Dia teman kita dari kelas sepuluh," ucap Chania memperkenalkan Christy kepada Lyana. "Ty, ini Lyana, sahabat kita yang selalu kita ceritain ke lo," lanjut Chania memperkenalkan Lyana kepada Christy.

"Halo, gue Christy," ucap Christy memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Lyana tersenyum dan menerima uluran tangan Christy.

"Salam kenal, gue Lyana. Lo bisa panggil gue Ly, atau Lya, tapi jangan Lyan," balas Lyana yang diakhiri kekehan kecil.

"Kenapa gue nggak boleh panggil lo Lyan?" tanya Christy kebingungan.

"Karena Lyan adalah panggilan kesayangan seseorang untuk Lyana," jawab Chania sambil merangkul bahu Christy.

"Chan, nggak usah dijelasin juga," protes Lyana. Chania terkekeh sambil melepas rangkulannya dari bahu Christy.

"Nggak apa-apa kali, Ly. Sekarang Christy udah jadi bagian dari kita." 

"Tapi gue malu." 

"Ly, pipi lo merah," aduh Alisa sambil memperhatikan pipi Lyana. Dengan cepat Lyana menutupi kedua pipinya menggunakan kedua tangannya.

"Alisa dipercaya." Chania tertawa lepas melihat ekspresi Lyana saat ini. Mereka menghabiskan waktu istirahat mereka hanya di kelas sembari bercerita dan bercanda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status