Stela terpekur mendengarkan pertanyaan Candra. Hening, bukan karena tak tahu harus menjawab apa? Tapi ingin kembali merenungi dan menyelami hati. Benarkah tidak ada perasaan lebih kepada Vincent?
Perlahan kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak boleh ada perasaan lebih, Can. Gue ini psikiater profesional,” tegasnya kemudian.
Candra mendesah masih menatap lekat Stela. “Jika pak Vincent bukan pasien kamu, apakah kamu akan melihatnya sebagai pria?”
Bola mata Stela terangkat ke atas dengan bibir saling berimpitan. Dia kembali menggelengkan kepala dengan cepat. Menepis sebuah rasa yang menyelinap di hati.
“Kalau memang tidak ada perasaan dengan pak Vincent...” Candra memberi jeda sesaat, sebelum melanjutkan perkataannya. “Masih ada harapan untukku dong?”
Kening Stela berkerut seiringan dengan sorot mata bingung. “Maksudnya apa nih? Gue nggak ngerti. Beneran!”
Candra mengibaskan tang
Mata elang Vincent memandangi netra cokelat milik Stela bergantian. Sebuah senyuman terukir di bibirnya ketika mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi.“Dari cara kamu membalas tadi, jelas ini bukan yang pertama kali kita berciuman. Saya benar, ‘kan?” ujar Vincent kemudian.Stela memejamkan mata lama. “Nggak! Ini baru pertama kali.”“Masa sih?” Vincent tersenyum nakal.“Beneran. Gue ... Saya nggak bohong, Pak.”“Tapi kamu membalasnya, Stela.”“Apa ada alasan untuk nggak membalas ciuman dari pria tampan seperti Bapak?” Saking paniknya Stela sampai mengeluarkan kata-kata seperti itu.Raut wajah Vincent berubah seketika. “Apa maksud kamu?”“Maksudnya ... Saya membalas karena Bapak ganteng, jadi ya kenapa nggak dinikmati aja?” Stela berbohong. Hatinya sakit ketika harus melontarkan kalimat itu.Pega
Stela melihat mata sipit Candra bergantian. Dia menggigit bibir bawah ragu apakah harus mengatakan apa yang sedang dirasakannya atau tidak.“Gue ... Gue merasa bersalah sama Pak Vincent, Can,” ungkap Stela setelah diam beberapa saat.“Kenapa?”“Rasanya gue jahat, karena udah bohongin dia.” Stela menundukkan kepala lesu.“Hanya itu saja? Tidak ada yang lain?”Stela menggelengkan kepala.“Sekarang jujur sama aku, Stela. Anggap aja aku ini kakak kamu atau orang yang bisa kamu percaya.”Gadis itu mengangkat kepala perlahan, lalu melihat Candra dengan kening berkerut.“Kamu beneran nggak ada perasaan apa-apa sama Pak Vincent?” selidiknya.Stela diam, tidak menjawab pertanyaan Candra.“Sekarang kamu ragu, ‘kan?” Candra menarik napas berat, kemudian berkata lagi. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu baik-baik. Jangan sampai menyesal
Perlahan kepala Stela mundur ke belakang setelah pagutan bibir terlepas. Mata cokelatnya terbuka dan memandangi wajah Vincent yang tidak lagi meringis kesakitan. Sebuah senyum getir tergambar di parasnya.“Maafkan saya, Pak. Saya hanya ingin buat Bapak tenang,” ucap Stela galau di tengah perasaan yang campur aduk.Tangan Vincent terangkat ke atas, membelai lembut rambut Stela. Apa yang telah dilakukan gadis itu mampu menyita perhatiannya dari foto yang sempat membuat kepalanya sakit.“Apa yang kamu lakukan tadi menunjukkan hubungan kita bukan sebatas pasien dan psikiater, Stela.”Stela mengalihkan pandangan ke arah foto Kirania yang terjatuh di lantai. Dia beringsut, lalu mengambil foto itu dan menyembunyikannya di saku celana jeans. Khawatir jika Vincent melihatnya lagi.“Masa sih, Pak?” Stela tersenyum awkward.“Buktinya kamu peluk dan cium saya barusan.”“Itu karena say
Dengan langkah gontai, Stela menyusuri lorong rumah sakit. Kepalanya tertunduk sehingga mata memandangi marmer yang tersusun menutupi lantai. Pupus sudah harapannya melakukan terapi recall a past event yang menurutnya efektif mengembalikan ingatan Vincent.Bruuk!Tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Stela segera menegakkan pandangan dan melihat seorang pria dengan rambut pendek tertata rapi, sedang melihatnya dengan kening berkerut.“Mbak Stela?” sapa pria itu.“Pak Bastian Ervin?”Mata Stela membulat saat melihat Bastian ada di rumah sakit. Pria itu tidak sendirian, ada seorang pria lagi bersamanya. Dari penampilan rapi dengan setelan jas mewah, sudah bisa ditebak yang disampingnya itu adalah asisten pribadinya.“Sedang apa di sini, Mbak Stela?” tanya Bastian tersenyum ramah seperti biasa.Stela kembali mengalihkan penglihatan kepada Bastian, kemudian tersenyum renyah.“Saya b
Beberapa bulan kemudianSejak pertemuan dengan dokter ahli saraf Vincent, tak banyak yang dilakukan oleh Stela. Dia hanya bisa mengawasi pria itu dan memikirkan cara bagaimana agar ingatannya kembali. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membawa Vincent ke Inggris.Stela berusaha menjaga jarak dengan Vincent, khawatir pria itu kembali merasakan kedekatan mereka sebelumnya. Beruntung dia tidak menceritakan tentang kejadian beberapa bulan lalu di video. Gadis itu juga bersikap sewajarnya, karena tak ingin Vincent curiga.“Udah rapi ini. Gue cabut sekarang ah,” gumam Stela setelah memutar tubuh di depan cermin. Sore ini ada janji menonton film dengan Garry.Ketika membuka pintu, dia melihat Candra berdiri di depan kamarnya.“Astaga! Bikin kaget aja lo,” celetuk Stela terkejut.“Sorry. Aku baru mau ketuk pintu, ternyata kamu udah buka pintu duluan,” balas Candra sambil melihat Stela dari atas ke ba
Stela menggenggam erat kedua daun tangannya yang saling bertautan di atas paha. Dia mencoba mencerna perkataan dari Widya.“Kalau gitu gampang, kamu bisa menikah dengan Vincent.” Kalimat itu berputar di memory-nya berulang-ulang.Widya masih mengamati reaksi dari Stela. Wanita paruh baya itu membiarkannya berpikir beberapa saat. Tahu bahwa Stela pasti shock dengan perkataannya.“Kenapa harus menikah? Saya hanya ingin membawa Pak Vincent liburan ke London saja, Bu.” Stela bersuara setelah diam beberapa menit.Widya tersenyum penuh kelembutan. Dia masih memandang wajah Stela yang menunduk.“Dengar, Stela. Kamu harus mengawasi Vincent selama 24 jam. Tidak mungkin kalian tidur terpisah karena kondisi Vincent yang butuh seseorang untuk mengingatkan di mana ia berada nanti.” Widya menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya.“Kamu tidak mau tidur dengan yang bukan mahram, bukan
Stela meregangkan tubuh di kasur, setelah akhirnya bisa memejamkan mata selama tiga jam. Sejak tadi malam, ia masih memikirkan perkataan Widya tentang pernikahan dengan Vincent. Jika sudah dikaitkan dengan kontrak, tentu sulit baginya untuk menolak.Gadis itu menarik selimut lagi menutupi seluruh tubuh dengan mata terpejam. Bibirnya bergerak-gerak tidak jelas, entah sedang mengatakan apa. Barangkali kalimat-kalimat umpatan atas ketidak berdayaannya.“Gue harus ngomong lagi sama Bu Widya pagi ini. Vincent juga belum tentu setuju dengan perjodohan ini, ‘kan?” gumamnya setelah mengubah posisi menjadi duduk, sehingga selimut turun.Tak lama kemudian, Stela menghempaskan lagi tubuhnya di kasur sambil meronta ketika ingat Vincent pasti tidak akan menolak perjodohan ini. Dia tahu persis pria itu mencintainya, meski saat ini bersikap dingin.Setidaknya itulah yang diamati selama ini. Meski Vincent tidak ingat dengan kejadian-kejadian sebelumnya,
“Mama saya sahabat Ibu?” tanya Stela lirih.Sulit baginya untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana bisa seorang wanita kaya raya berteman dengan orang biasa seperti ibunya?“Maaf tidak mengatakannya saat kita bertemu pertama kali, Stela.” Widya menatap Stela penuh kelembutan. “Ada beberapa hal yang ingin saya pastikan terlebih dahulu, sebelum mengungkapkan yang sebenarnya.Stela memilih diam dan menunggu Widya menceritakan semuanya.“Saya dan Sherly, Mama kamu, bersahabat dari SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dia satu-satunya sahabat yang selalu ada untuk saya.” Senyuman terukir di wajah Widya saat mengenang kebersamaan dengan Sherly, Ibu Stela.“Dulu kami pernah berjanji. Jika dia memiliki anak laki-laki dan saya memiliki anak perempuan atau sebaliknya, kami ingin menjodohkan mereka.”Gadis itu masih menegakkan radar agar bisa menangkap apa yang disiarkan oleh Widya dengan baik.&ld