Pintu gudang yang semula terbuka sudah jadi tertutup, satu tersangka yang mendorong pintu itu hadir dan menanyakan sebuah pertanyaan paling absurd yang pernah Maria dengar.
Maria membalikan badan lengkap dengan mata memicing. Wanita pirang itu melipat tangan didepan dada. “Selain staf dilarang masuk.”
Setau Maria tadi Ares tidak mau turun dari gendongan ayahnya, kenapa sekarang Edgar bisa berkeliaran dengan bebas begini. Memang sudah sekitar tiga puluh menit, namun bukankah tiga puluh menit terlalu singkat untuk mencurahkan rindu?
Pria berambut hitam itu menarik satu sudut bibirnya agar terangkat. “Diijinin yang punya.”
Dasar jelmaan Medusa! Umpat Maria pada Jane dalam hati.
Sekarang Maria benar-benar penasaran dengan apa yang Edgar berikan pada Jane sampai sahabatnya itu mau memaafkan sang uler kangkung ini. Bahkan sekarang terkesan mendukung.
Maria mengangguk acuh
Setelah persetujuan dari Maria tadi pagi, Edgar tak menunda untuk membawa putranya pergi saat café milik Jane memasuki jam operasi.Mengajak putranya itu kerumah untuk bertemu ibu dan bermain hingga siang sebelum memutuskan untuk pergi ke duty free untuk jalan-jalan, kendati Ares bilang kalau dirinya sudah amat bosan dengan tempat perbelanjaan itu karena Maria terlampau sering membawanya kesana.Sudah habis berbelanja, ibu membeli barang-barang yang diinginkannya, dan Ares juga mengambil berkotak-kotak figure motor dan mobil sport yang keren. Dan sekarang mereka tengah duduk dimeja bundar dengan makanan di meja. Mengistirahatkan kaki dan menambah gula darah yang perlahan surut karena lelah.Edgar berceloteh tentang permotoran dengan Ares di pangkuannya, berbincang seru sembari bergurau hingga sesekali tertawa.“Maria kenapa nggak diajak?” tanya ibu tiba-tiba. Wanita berwajah teduh yang tengah duduk diseberang meja sana menatap cucunya d
Keadaan rumah sakit dijam seperti ini memang biasanya sepi, jam berkunjung sudah habis dan hanya tersisa perawat dan juga pendamping pasien yang sesekali berkeliaran.Maria datang sore tadi setelah baru pulang dari café, pulang sebentar untuk mandi dan melakukan beberapa hal. Setelah itu tanpa menunda menggunakan mobil milik ibunya Maria pergi kerumah sakit.Ares sedang bersama Edgar, dan betul bahwa Maria bisa sedikit santai karena hal itu.Sekarang Maria sedang berjalan menuju ruang rawat ayahnya, setelah tadi sempat pergi ke bagian administrasi untuk mengurus beberapa hal yang belum tuntas.Ditengah jalan, dilorong rumah sakit ini Maria berpapasan dengan salah satu suster yang dikenalnya, dia dalah perawat yang biasanya merawat ayah Maria bergantian dengan tiga yang lain.“Mbak Maria!” sapa si perawat dengan ramah, baju berwarna ungu yang dan nametag kebanggaan dipamerkan.Maria yang hari ini memakai pakaian panjang kar
Dan Maria tidak pernah mengatakan bahwa ia setuju.Maria yakin itu serratus persen dan tidak ada kemungkinan barang satu persenpun untuknya menerima ajakan ‘ngedate’ yang ditawarkan oleh Edgar.Memangnya siapa yang akan memikirkan kencan diusia sekarang? hah? Orang gila mana. Maria tentu lebih memilih untuk menghabiskan waktu cuti untuk tiduran mengistirahatkan tubuh atau sekedar meluangkan waktu lebih banyak bermain dengan anaknya.Bukan malah sengaja keluar dengan embel-embel kencan. Dan tentu saja, Edgar memang punya telinga hanya untuk pajangan, terang-terangan Maria sudah menolak tetapi sekarang lelaki yang ramahnya kelewatan ini sudah berada didepan pintu rumah Maria dengan cengiran khasnya.“Kenapa malah belum mandi,” decak Edgar sembari meneliti wajah ngantuk Maria yang masih berbalut piama terusan selutut.Maria bersandar pada pintu, maranya terpaksa terbuka, menyipit guna menyesuaikan diri dengan cahaya. Lalu decak
“Lo kasih anak gue makan apa aja?”Suasana di koridor rumah sakit bangsal anak itu terlihat ramai karena hari masih pagi. Maria memelankan langkah, membalikan badan pada lelaki yang berjalan di belakangnya dengan kepala menunduk.Tangan Maria mengelus pelan punggung Ares yang makin meringsak masuk ke ceruk lehernya, mungkin ikut takut dengan pertanyaan yang Maria ajukan pada ayahnya.Maria tau ada yang tidak beres, bukan hanya demam biasa, terbukti dengan kalimat dokter yang mengatakan kalau Ares mendapat radang tenggorokan.Edgar diam saja.Lelaki itu tak dapat menjawab pertanyaan singkat dari ibu anaknya, jelas, sama saja cari mati kalau menjawabnya.Wanita yang menggunakan piama berlapis cardigan rajut itu memicingkan mata tajam. “Sampe hitungan tiga nggak jawab, gue blender lo.”Edgar sendiri hanya meringis tertahan. Lelaki itu melirik pada anaknya yang masih bersembunyi takut-takut di leher san
Demam Ares sudah turun, namun anak lucu itu belum teringin bicara dan hanya mengatakan beberapa patah kata saja. Lebih banyak tidur, karena Maria memang tidak mengijinkannya. Bahkan untuk melihat Dash Maria tidak beri ijin.Maria juga sudah memberitahu Jane kalau besok ia tidak akan datang ke cafe.Sekarang sudah pukul sembilan malam, Maria baru saja terjaga, ia tak sengaja ikut terlelap saat menemani Ares. Tanpa tunggu lama wanita berusia tiga puluh tahun itu segera bangkit setelah mengecek suhu tubuh putranya, keluar kamar dan menuju kamar mandi dengan satu handuk ditangan.Maria melakukan ritual mandi secara lengkap karena tidak ada kesibukan menanti, lulur tubuh beraroma mawar dan juga masker wajah dipakai bersamaan, menyiramkan air hangat memakai sabun, dan mandi malam yang memakan waktu setidaknya satu jam akhirnya selesai.Dengan handuk terlilit dibadan Maria melangkah keluar, meraih satu handuk lagi untuk membungkus rambutnya yang basah.&l
Dan sepertinya jika api sudah bersambut, akan sulit untuk dipadamkan.Begitu juga dengan kelalaian Maria dalam menahan diri, dirinya yang tergoda dan menyambut malah justru mematik api yang diciptakan Edgar menjadi lebih besar.Jangan salahkan, Maria wanita yang amat normal, ia sudah lebih dari tiga tahun tidak melakukan kontak fisik khusus dengan seorang pria. Jadi, tidak perlu dijelaskan terang-terangan pun akan terlihat bahwa Maria mendamba.Ciuman lembut itu kian liar. Suara kecap mengudara di seluruh sudut ruangan.Maria mendongak dengan mulut terbuka, Edgar dengan mudah membuat wanita itu duduk dipangkuannya. Dua tangan wanita berambut pirang itu bertenger di pundak lelakinya.“Let’s stop!” kata Maria ketika Edgar mendekat lagi, mengecup ringan dagu dan sudut bibirnya, menghantarkan segenap remang, membuat darah sang wanita berdesir. Apalagi dengan tangan lelaki tampan ini yang tidak bisa diam dan merayap kemana-mana.
Detik berlalu, tak terasa satu pekan sudah terlewati. Diantara derap langkah manusia dan juga kebisingan para mulut berbicara ini, Maria duduk dengan satu mangkuk ditangan, wanita berambut pirang itu melamun, pandangan matanya kosong, banyak permasalahan bergelayut di dalam kepalanya. “Kesambet arwah duda semok, amin,” celetuk Jane yang baru datang, yang seketika menyadarkan Maria dari lemunannya. Maria melirik sekilas. Tajam, lalu decak sebal keluar dari belah bibirnya. “Duda boleh, semok apalagi, yang penting idup.” “Lo ngelamun mulu belakangan, kenapa sih?” tanya Jane lagi, wanita yang mempunyai mata kucing itu keheranan. Menanyakan tentang perilaku aneh Maria yang belakangan berubah. Sering melamun dan seperti orang yang tidak punya semangat hidup. Maria sendiri tak menjawab.Hanya menunduk dan mengaduk mangkuk makan siang Ares di tangannya. Mendongak, menemukan pemandangan Ares yang tengah bermain dengan anak Jane di sana.
Hari ini Maria tidak jadi pergi.Kamal bilang di telephone, kalau sepupu Maria itu mendapat sebuah jadwal meeting mendadak dan mengganti pertemuan dengan Maria di hari ulang tahun Ares besok.Maria iyakan saja, dan berhubung sudah cuti, Maria memanfaatkan waktu luang ini untuk menghias rumah khas pesta anak-anak. Maria dan Ares sudah beli sendiri kemarin sore, memilih hiasan berwarna merah dan biru, balon-balon, dan bahkan sudah pesan kue.Wanita yang menggunakan hotpants juga hoodie putih itu juga sudah meminjam tangga dari tetangga sebelah, rambut pirangnya dicepol tinggi agar tidak menganggu sementara ia mulai membuka balon-balon dari plastiknya.“Habis hias-hias, nanti ke hospital tengokin kakek ya," kata Maria pada Ares yang sedang selonjoran di atas karpet disamping Maria. "Ares udah lama nggak tengokin kakek kan? kangen nggak?”Ares yang sedari tadi sibuk dengan rakitan Lego yang sudah dari kemarin digeluti itu membalas tanpa men